Jawa Pos

Menghina Pertanda Teman

-

SEMAKIN tua, semakin sulit bertemu teman. Semakin sulit pula mendefinis­ikan apa itu teman…

Mencari teman, saya pikir sama seperti mencari jodoh. Kalau saat sekolah atau kuliah tidak punya pacar, apalagi tidak pernah punya pacar, maka seseorang akan semakin sulit mencari pasangan setelah dia lepas dari dunia pendidikan

Semakin jauh dari sekolah, semakin sulit…

Kalau di sekolah/kampus, kan pilihannya banyak. Ada macam apa saja, model apa saja, gaya apa saja. Setiap hari bisa dipantau, bisa dipelajari habit dan lain-lainnya.

Tinggal pintar-pintar kita memilah-milah yang mana ingin dijadikan pacar, lalu ’’tembak’’. Gagal? Ya coba yang lain…

Kalau sudah lewat masa sekolah? Option- nya semakin sulit. Semakin terpisah-pisah segmentasi­nya.

Kalau mau cari pacar di tempat dugem, kesan atau jadinya begini. Mau cari pacar di tempat ibadah, kesan atau jadinya begitu. Dan lain sebagainya…

Dan ternyata, mencari teman tidak kalah susah setelah kita selesai sekolah/kuliah. Selama beberapa tahun, teman-teman kita ya masih sama dengan yang waktu sekolah/ kuliah. Setelah semua jadi makin sibuk, intensitas pertemuan menjadi semakin sedikit dan sedikit.

Katanya, friends itu forever. Tapi, kenyataann­ya, makin banyak teman yang makin jauh di mata sekaligus di hati. Kalau sudah begitu, mungkin definisiny­a bukan lagi ’’teman’’. Melainkan ’’teman saya dulu’’.

Agar tetap punya banyak teman, atau tetap punya teman dalam jumlah yang ideal/optimal (terlalu banyak teman juga buat apa?), memang ada beberapa cara.

Mencari teman bisa lewat lingkungan tempat kita tinggal. Repotnya, karena kita makin sibuk, belum tentu lingkungan itu memberikan peluang bagi para tetangga untuk menjadi teman.

Ironisnya, walau bangsa kita ini mengklaim diri sebagai bangsa yang ramah dan mengutamak­an umum dan kebersamaa­n di atas individu, rumah-rumahnya makin lama malah makin seperti benteng. Pagarmakin­tinggi, makinsolid, makin tertutup. Apalagi di perumahanp­erumahan di kota-kota besar. Saya pribadi paling anti hal ini. Rumah saya satu-satunya yang tanpa pagar di kompleks saya.

Mencari teman juga bisa lewat tempat bekerja. Namun, alangkah susahnya ketika ada conflict of interest antara pertemanan dan pekerjaan.

Kemudian, kalau kita punya hobi dan kesukaan, ada lagi jalur komunitas. Kita hobi apa, maka teman-temannya ya dari lingkungan itu.

Kadang cocok, lalu benar-benar menjadi pertemanan.

Kadang cocoknya sebentar, lalu kemudian jadi berhenti sendiri atau malah bermusuhan.

Pada akhirnya, bertemu waktu kecil, waktu muda, atau waktu tua, pertemanan tetap harus melewati ujian-ujian.

Semakin tua usia pertemuann­ya, maka kita mungkin makin bijak dalam menyikapi kekurangan/ kelemahan/kelakuan teman baru itu. Di sisi lain, semakin minimal juga waktu kita untuk memikirkan­nya karena adanya pekerjaan dan/atau keluarga.

Kalau sudah begini, apa itu definisi ’’teman’’?

Kalau kita mencari-cari, ada begitu banyak ungkapan/kutipan tentang pertemanan. Rata-rata manis-manis dan sering dijadikan status. Walau rata-rata sebenarnya juga sekadar manis, belum tentu realistis dan praktis. Misalnya: ’’ Teman yang baik adalah teman di saat senang maupun susah.’’

Ini termasuk yang sangat sulit penerapann­ya. Kalau teman itu butuh bayar utang Rp 100 juta, dan kita hanya punya Rp 100 juta di bank, lalu kita bisa apa? Saya rasa, ucapan ’’Saya doakan semoga badai segera berlalu’’ tidaklah cukup untuk membuktika­n diri sebagai teman sejati.

’’ Teman yang baik siap membela apabila yang lain menyudutka­n.’’

Ini patut dipertanya­kan. Kalau kita memang punya kekurangan/ kesalahan, dan itu membuat orang lain menghindar­i kita, maka teman yang membela itu justru aneh. Atau malah dia punya agenda tertentu?

Setelah dipikir-pikir, saya mungkin tidak mau terlalu memusingka­n apa itu definisi teman yang sebenarnya.

At the end of the day, kita harus bisa memikirkan diri sendiri, membuat diri sendiri lebih baik, sehingga semaksimal mungkin tidak bergantung pada orang lain.

Tapi, bukan berarti jadi selfish. Kalau memang sedang kesusahan, dan ternyata ada yang membantu tanpa pamrih, kita patut bersyukur sebesar-besarnya, bukan?

Dan kalau ada yang kesusahan, dan kita bisa sedikit atau banyak membantu, ya tentu kita bisa berpartisi­pasi dalam berbagai cara. Tidak hanya lewat ucapan ’’Saya doakan semoga lebih baik ya…’’ Dan harus tanpa pamrih. Kebetulan, akhir pekan lalu, saya baru saja merayakan ulang tahun keempat komunitas hobi saya di Jogjakarta.

Kebanyakan di antara kami baru bertemu ya gara-gara punya hobi sama. Ada yang sesama direktur, ada yang manajer, ada yang pegawai, bahkan ada yang usaha tambal ban di pinggir jalan. Benarbenar semua kalangan dari berbagai latar belakang.

Lucu juga ya tergabung dalam sebuah komunitas. Kadang, rasanya seperti anak-anak lagi. Saya menyebut perkumpula­n kami seperti ’’TK ketemu tua’’.

Dalam empat tahun perjalanan komunitas kami, tidak selamanya ada kecocokan. Ada yang keluar, ada yang pindah, dan lain sebagainya. Ada yang pernah berantem dengan satu sama lain, gondokgond­okan. Ada yang kemudian berbaikan, walau ada pula yang entah sekarang kabarnya seperti apa.

Untuk menjaga komunitas ini, kami benar-benar harus ’’tahan’’ terhadap satu sama lain. Baik itu ulahnya, kekurangan­nya, kemauannya, dan lain-lain.

Belajar dari hidup berkomunit­as ini, mungkin ada satu kutipan yang sayaanggap­palingcoco­kuntukmend­efinisikan apa itu teman yang sebenarnya. Kutipan ini saya temukan secara online. Tidak muluk, tidak di awang-awang. Sangat menginjak bumi, sangat praktis, sangat realistis. Bunyinya: ’’ Real friends don’t get offended when you insult them. They smile and call you something even more offensive.’’ Artinya: ’’ Teman sejati tidak akan tersinggun­g ketika kita menghujat atau menghina mereka. Justru mereka akan tersenyum, lalu membalas menghujat dan menghina kita dengan kata-kata yang lebih pedas…’’ (*)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia