Jawa Pos

Ketika Presiden Marah

-

PADA 16 November 2015, Wakil Presiden Jusuf Kalla melaporkan bahwa Presiden Joko Widodo terkejut dan marah. Konon, beliau marah karena ulah unsur pimpinan DPR yang mencatut nama presiden dalam urusan Freeport. Sejak lama kita mengenal Jokowi adalah tokoh yang santun, semringah, gampang mengumbar tawa, dan lugas. Kini kita mendapat berita Jokowi marah.

Konstitusi tidak melarang presiden marah. Kita pun mengerti jika presiden marah berdalih kepentinga­n bangsa-negara dan kehormatan pejabat. Wajah kalem dan tawa bernada itu berubah menjadi ekspresi kemarahan.

Dulu Jokowi jarang diceritaka­n marah saat memimpin Solo dan Jakarta. Kemarahan bisa muncul karena ada hal-hal yang keterlalua­n. Jokowi suka bercakap dalam mengatasi pelbagai perkara atau bersikap untuk realitas politik. Kebiasaan itu bisa menguak kejawaan dan kemauan jadi teladan. Nalar kekuasaan Jawa memungkink­an penguasa marah, tetapi memerlukan kesesuaian perkara, tempat, waktu, dan pilihan bahasa.

Marah itu representa­si kekuasaan. Sejarah di Jawa turut dipengaruh­i marah para raja yang berkaitan dengan politik, ekonomi, agama, seks, dan militer. Marah itu manusiawi, tetapi memiliki seribu arti saat dimunculka­n di panggung kekuasaan. Jokowi mungkin pernah belajar Wulangreh, Wedhatama, Jayengbaya, Nitisastra, atau Sanasunu untuk menjadikan diri sebagai manusia bijak dan pemimpin yang pandai mengolah rasa.

Teks-teks sastra klasik Jawa sering bermuatan petuah atau ’’piwulang’’ mengenai karakter manusia. Jokowi mungkin meresapi ajaran-ajaran dalam ’’sastra piwulang’’ agar tak gampang marah atau bertindak gegabah dalam mengurusi seribu perkara di Indonesia.

Berita tentang Jokowi marah bisa membuat kita terkejut, meski menganggap itu wajar. Presiden tanpa marah malah tidak lazim. Presidenpr­esiden di Indonesia pernah marah, sejak Soekarno sampai SBY. Apakah Jokowi juga pernah mempelajar­i cara marah para presiden terdahulu? Semoga Jokowi mengetahui ekspresi kemarahan para presiden masa lalu, tetapi tidak harus meneladani. Jangan jadikan marah sebagai keteladana­n absolut!

Kita memiliki ingatan Soekarno marah karena demonstras­i kaum perempuan terkait dengan poligami. Soekarno jadi sasaran perlawanan atas lakon-lakon asmara Soekarno. Para tokoh gerakan perempuan mengingink­an Soekarno mawas diri, tidak berlaku sebagai presiden yang memuja asmaranism­e bercap poligami. Presiden marah dan ber- usaha memberikan penjelasan, meski sulit dipahami.

Pada 1960-an, Soekarno juga marah dalam situasi politik yang panas. Kemarahan berakibat ke pembubaran partai politik, pemenjaraa­n tokoh, serta pemberedel­an pers. Soekarno tentu marah saat mendapat ejekan dan tuduhan dari para mahasiswa. Demonstras­i pada hari-hari menjelang malapetaka 1965 gampang membuat Soekarno marah. Para mahasiswa diajak bercakap agar mereka tidak mengumbar ejekan dalam orasi, poster, atau coretan di mobil para pejabat.

Soekarno pernah mendapat tuntutan: ’’Stop import istri!’’ Para menteri juga dituduh ’’tukang kawin’’. Di rumah Hartini, terdapat coretancor­etan berisi serangan politik dan seks. Soekarno marah!

So Hok Gie dalam catatan harian bertanggal 25 Januari 1965 menceritak­an pertemuan para mahasiswa dengan Soekarno. Gie menulis kemarahan Soekarno: ’’Kau tahu apa jang dilakukan oleh mahasiswa-mahasiswa di rumah Ibu Hartini? Kau tahu rumah Ibu Hartini ditjoret-tjoret ’Lonte Agung’, ’Gerwani Agung’, dan lain-lainnja? Kau tahu apa artinja lonte? Hartini adalah isteriku dan aku adalah bapakmu. Jadi, dia djuga ibumu. Inikah jang dilakukan seorang anak terhadap ibunja?’’

Gie menganggap Soekarno marah sekali. Dia tak ingin menghujat atau menimpakan kesalahan mutlak pada Soekarno. Gie malah mengakui: ’’Aku jakin bahwa Bung Karno adalah manusia jang baik dan tragis hidupnja. Mungkin ia pernah membuat kesalahank­esalahan politik jang besar, akan tetapi salah satu sebabnja adalah pembantu-pembantunj­a sendiri.’’ Indonesia pada masa 1960-an dilanda kemarahan yang berakibat malapetaka berdarah dan pergantian kekuasaan.

Pada masa Orde Baru, kita memiliki ingatan-ingatan tentang Soeharto marah. Kita menilai kemarahan beliau khas penguasa Jawa dan militerist­ik. Para pejabat, pengusaha, seniman, dan wartawan sangat mengerti risiko jika membuat Soeharto marah.

Di mata para sahabat, Soeharto tentu tidak dianggap pemarah. Buku berjudul Diantara Para Sahabat: Pak Harto 70 Tahun (1991) terbitan Cipta Lamtoro Gung Persada tidak berisi kesaksian Soeharto itu pemarah. Umar Wirahadiku­suma menganggap beliau tenang, sabar, dan ulet. J.B. Sumarlin memuji, Soeharto adalah tokoh arif, bijaksana, dan rendah hati. Soepardjo Roestam memastikan Soeharto itu arif, tenang, dan tegas. Soeharto bukan pemarah.

Sebelum Jokowi tampil sebagai presiden, kita sempat mendapat berita dan cerita SBY marah. Selama sepuluh tahun SBY menunaikan misi membangun Indonesia. Beliau terlihat ganteng dan santun. Anggapan itu bisa sejenak berubah saat mengetahui SBY marah terkait dengan urusan serangan politik, fitnah, dan tuduhan-tuduhan sembarang. Buku berjudul Selalu Ada Pilihan (2014) garapan SBY menjadi dokumentas­i saat-saat dia marah, meski tidak dijelaskan secara gamblang dan utuh.

Kini kita mengetahui dari laporan Jusuf Kalla bahwa Jokowi marah. Kita berharap Jokowi marah sebagai representa­si kemarahan Indonesia. Marah itu perlu jika menentukan kedaulatan dan kesejahter­aan Indonesia. Kita mendukung Jokowi marah, tetapi harus dibuktikan dengan kerja merampungk­an masalah Freeport. Begitu. (*)

BANDUNG MAWARDI *

*) Pengelola Jagat Abjad Solo

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia