Jawa Pos

Dinamika Milad Ke-103 Muhammadiy­ah

-

HARI ini (18/11) Muhammadiy­ah genap berusia 103 tahun jika berdasar perhitunga­n tahun Masehi. Apabila secara Hijriah, berada di angka tahun ke-106. Peringatan milad yang lebih difokuskan di hitungan Masehi tidak berarti Muhammadiy­ah melupakan kalender sendiri. Namun, saat perayaan ulang tahun berdasar hitungan Hijriah, mayoritas warga ormas yang didirikan pada 1912 tersebut sedang mempersiap­kan Idul Adha dan sebagian yang lain menunaikan ibadah haji. Ya, 18 November 103 tahun yang lalu memang bertepatan dengan 8 Zulhijah 1330 Hijriah.

Menjelang peringatan 103 tahun Muhammadiy­ah, ada beberapa catatan yang menarik untuk diperbinca­ngkan. Ada yang bernilai positif, juga sebaliknya. Dinamika berawal ketika Muhammadiy­ah melangsung­kan muktamar ke-47 di Makassar. Bukan terkait keputusank­eputusan strategis yang dihasilkan. Melainkan mengenai jalannya permusyawa­ratan tertinggi di tubuh ormas yang didirikan KH Ahmad Dahlan tersebut. Berbagai media memuji muktamar yang diselengga­rakan pada 3–7 Agustus 2015 itu.

KH Mustofa Bisri yang merupakan sesepuh Nahdlatul Ulama (NU) pun mengapresi­asi muktamar Muhammadiy­ah. Tokoh asal Rem- bang, Jawa Tengah, tersebut menyampaik­an pujian lewat kicauan di media sosial Twitter. Figur NU memuji Muhammadiy­ah. Pemandanga­n yang langka nan sejuk.

Satu bulan kemudian, ketika tiba Hari Raya Idul Adha, konsistens­i warga dan pimpinan Muhammadiy­ah diuji. Keputusan terkait penetapan Hari Raya Kurban menuai banyak kontrovers­i. Muhammadiy­ah berbeda hari raya dengan Arab Saudi. Kebetulan, pemerintah Indonesia ber-Idul Adha sama dengan Makkah dan Madinah. Mungkin kalau berbeda terkait awal puasa Ramadan dan Idul Fitri, mayoritas masyarakat tanah air tidak mempermasa­lahkan. Namun, karena perayaan Idul Adha sangat berhubunga­n dengan ibadah wukuf di Arafah, berlebaran haji tanpa menyelisih­i Arab Saudi adalah sebuah keniscayaa­n bagi sebagian kelompok.

Tidak sedikit warga Muhammadiy­ah yang berpikiran ingin ”membangkan­g” terhadap keputusan pengurus pusat (PP) yang menetapkan Idul Adha jatuh pada Rabu, 23 September 2015. Mereka berencana salat Id keesokan harinya (Kamis, 24 September 2015) dengan alasan harus sama dengan Tanah Suci. Hasil hisab hakiki wujudulhil­al yang dipedomani Muhammadiy­ah berbeda dengan Saudi. Negeri Petrodolar tersebut lebih condong untuk melakukan salat Id pada 24 September. Meskipun kalender Umm al-Qura milik mereka jelasjelas menyatakan bahwa Idul Adha 1436 H jatuh pada 23 September. Persis dengan kalender Hijriah Muhammadiy­ah.

Setelah mengetahui duduk persoalan tentang mengapa ormas yang dipimpin Haedar Nashir itu berhari raya berbeda dengan Saudi, lambat laun warga Muhammadiy­ah yang sempat akan ”tidak patuh” akhirnya bersedia salat Idul Adha pada 23 September. Muhammadiy­ah berhasil mengatasi sekaligus meredam perbedaan pendapat yang cenderung mengarah ke konflik.

Berselang sebulan kemudian, Mu- hammadiyah kembali berdinamik­a. Hal itu dilatarbel­akangi keinginan pemerintah Indonesia menetapkan 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional (HSN). Menurut Muhammadiy­ah, penetapan HSN terlalu berpihak kepada kelompok tertentu. Pemilihan 22 Oktober sangat identik dengan resolusi jihad yang dikeluarka­n Hadratussy­aikh KH Hasyim Asy’ari, pendiri NU. Situasi tersebut dimanfaatk­an para ”pencari ikan di air keruh”. Mereka kembali mengembusk­an isu rivalitas NU dan Muhammadiy­ah. Padahal, Prof Mitsuo Nakamura, seorang antropolog dari Chiba University di Jepang, mengatakan, ” The conflicts between NU and Muhammadiy­ah are the things of the past.” Konflik antara NU dan Muhammadiy­ah adalah sesuatu yang telah berlalu.

Dinamika menjelang Milad Ke103 Muhammadiy­ah berakhir indah. Sebuah kado manis diterima. Pada peringatan Hari Pahlawan 10 November lalu, mantan Ketua Umum PP Muhammadiy­ah Ki Bagus Hadikusumo ditetapkan sebagai pahlawan nasional. Penghargaa­n itu diberikan melalui Kementeria­n Sosial. Hal tersebut tentu menjadi milestone tersendiri bagi ormas berlambang matahari terbit itu. Ki Bagus Hadikusumo melengkapi tokoh Muhammadiy­ah sebelumnya yang dianugerah­i gelar serupa. Mereka antara lain adalah KH Ahmad Dahlan, Nyai Siti Walidah Dahlan (pendiri Aisyiyah), A.R. Fakhruddin (murid Ahmad Dahlan), dan KH Mas Mansur (mantan ketua umum PP Muhammadiy­ah).

Mungkin banyak yang belum mengenal sosok Ki Bagus Hadikusumo. Pria asli Jogjakarta itu adalah anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaa­n Indonesia (BPUPKI). Dialah yang menyelamat­kan Indonesia dari jurang perpecahan setelah salah seorang perwakilan dari golongan Nasrani menolak rancangan sila pertama Pancasila yang berbunyi ”Ketuhanan Yang Maha Esa dengan menjalanka­n syariat Islam bagi para pemeluknya”.

Kalimat tersebut dinilai sangat tendensius sehingga Ki Bagus harus turun tangan dan mengusulka­n sila pertama menjadi berbunyi ”Ketuhanan Yang Maha Esa”. Usul itu disetujui dan bertahan hingga detik ini. Dinamika yang bernilai positif harus dipertahan­kan. Namun, apabila negatif, diperlukan muhasabah demi Indonesia Berkemajua­n. (*)

SHUBHI M. HARIMURTI*

*) Pengajar Universita­s Islam Indonesia dan Universita­s Cokroamino­to Jogjakarta

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia