Jawa Pos

Mereka Sadis Sekali, Rasanya Pengin Tak Suduk

Kehilangan anak semata wayang membuat air mata Tjindar Prihatin tidak bisa mengering. Apalagi, anaknya tewas secara mengenaska­n. Perempuan yang kini hidup sebatang kara itu bertekad mengawal sidang sampai para pembunuh anaknya mendapat balasan setimpal.

-

RUANG sidang Sari 2 Pengadilan Negeri (PN) Surabaya seakan menjadi saksi bisu kesedihan Tjindar. Perempuan 55 tahun itu tidak pernah sekali pun absen menghadiri sidang kasus pembunuhan anaknya, Aditya Wahyu Budi Hartanto. Setiap mengikuti sidang, air matanya meleleh. Ingatan tentang Adit yang dibunuh secara keji pada Selasa dini hari lalu (2/6) sangat menyiksa batinnya.

Seperti rutinitas yang tidak terjadwal, Tjindar mendatangi PN Surabaya setiap Senin dan Kamis. Dia ingin melihat dari dekat wajahwajah terdakwa yang telah mengambil nyawa anaknya. Jauh hari sebelum berkas perkara tiga pelaku pembunuhan itu dilimpahka­n, Tjindar mondar-mandir di pengadilan. Dia ingin tahu ruangan yang akan digunakan untuk sidang.

Sejak itulah, perempuan yang bernama awal Raden Roro tersebut menjadi penunggu setia ruang sidang. Meski sidang belum dimulai, dia sudah menunggu di depan ruangan yang berada di pengadilan bagian belakang.

Saat terdengar raungan sirene kendaraan pengangkut tahanan tiba dari Medaeng, Tjindar bergegas masuk ke ruangan dan duduk di barisan paling depan. Padahal, belum ada jaksa maupun hakim di ruangan tersebut

Saat tiga terdakwa pembunuh anaknya memasuki ruang sidang, air mata Tjindar perlahan meleleh. ”Saya enggak bisa bayangkan. Mereka sadis sekali,” ucapnya dengan napas tersengal.

Hadir dalam sidang selalu membuat hati Tjindar terkoyak. Sejak awal sidang sampai menjelang putusan, yang didengar adalah cerita tentang bagaimana anak kesayangan­nya dihabisi dengan cara yang sangat sadis. Salah satu adegan yang membuat hatinya teriris adalah keterangan ketika anaknya dihajar beramai-ramai. Saat tubuh Adit tergolek di atas aspal, puluhan anggota geng motor menghujani kepalanya dengan paving dan batu.

Pada saat itulah, Tjindar tidak bisa menahan diri. Dia berteriak sembari menyebut istigfar. Hakim membiarkan saja Tjindar bergelut dengan kepedihann­ya. ”Kasihan anak saya, kasihan si Adit,” kata Tjindar sembari mengusap air matanya.

Kendati hatinya tersayat, Tjindar tetap memberanik­an diri hadir dalam setiap sidang. Bagi dia, cara itu menjadi satu-satunya yang bisa dilakukan untuk memperjuan­gkan keadilan bagi anaknya. Dia bertekad mengawal jalannya sidang sampai selesai.

Sejak kasus itu terjadi pada 2 Juni 2015, Tjindar berusaha menutup diri. Awak media yang ingin mewawancar­ainya selalu ditolak. Beberapa kerabat dekat dan teman kampus Adit di Unair mengajukan diri sebagai juru bicaranya. Tjindar mengatakan tidak kuasa menahan kepedihan ketika harus terus mengenang nasib anaknya.

Tapi, dia merasa berutang jika tidak memantau perkembang­an sidang. Karena itu, Tjindar selalu datang setiap sidang yang dilaksanak­an dua kali dalam seminggu tersebut. ”Apa lagi yang bisa saya lakukan. Cuma ini,” ujarnya.

Keteguhan hati Tjindar menyedot simpati banyak kalangan. Keluarga dan koleganya di berbagai kota datang silih berganti. Mereka menemani Tjindar mengikuti sidang. Mereka pula yang selalu menenangka­n Tjindar saat terbawa emosi. Teman-teman kuliah Adit pun rajin menemani Tjindar mengikuti sidang.

Tjindar mengaku tidak bisa menahan emosi ketika melihat pelaku pembunuhan dari dekat. Beberapa kali dia berusaha melampiask­an kekesalan dengan memukul dan mencubit terdakwa. Hanya, hal itu juga tidak bisa menghapus kesedihann­ya. ”Rasanya pengin tak suduk (tusuk, Red) saja. Saya enggak masalah nanti berurusan sama hukum. Saya enggak punya tanggungan lagi. Saya putus asa. Biar saya mati enggak apa-apa,” ucapnya.

Tjindar memang pantas emosional. Sebab, dia sangat mencintai Adit. Tjindar bahkan menggambar­kan Adit sebagai emas dalam keluargany­a. Meski sudah lama menikah dengan almarhum Susanto pada 1982, Tjindar belum juga diberi momongan. Adit baru menghiasi rumah tangganya setelah sepuluh tahun menikah. Karena itu, mereka memperlaku­kan Adit dengan sangat istimewa. ”Semua yang diinginkan selalu saya penuhi. Tapi, dia tidak manja,” ujarnya sambil mengenang.

Kesedihan datang pada 2008. Ketika itu, Susanto dipanggil Yang Mahakuasa. Sejak itulah, Tjindar hidup berdua dengan Adit. Rasa sayangnya semakin besar terhadap Adit yang saat itu menjadi satusatuny­a teman hidup. Namun, petaka akhirnya merenggut kebahagiaa­n Tjindar. Dia kembali merasakan kehilangan orang yang paling disayangin­ya. Nyawa Adit direnggut gerombolan geng motor saat anaknya pulang kerja menjelang subuh.

Kepedihan begitu terasa pada 4 November 2015. Ketika di rumah seorang diri, dia teringat kejutan yang dibuat Adit saat berulang tahun pada 2014. Pada tengah malam, mendadak dia dibangunka­n dalam kondisi rumah gelap gulita. Tiba-tiba Adit datang sambil membawa kue tar dan mengucapka­n selamat ulang tahun.

Pada ulang tahun ke-55 belum lama ini, Tjindar tidak melakukan apa pun. Dia hanya termenung sendiri di kamar anaknya semalam suntuk. Lembaran memori bersama anaknya sengaja dihadirkan lagi untuk membasuh kerinduan. Dia menatap fotofoto yang masih tergantung rapi di dinding kamar.

Saat ini Tjindar tidak lagi tidur di kamarnya. Dia memilih menempati kamar Adit. Sebelum mata terpejam, gambar Adit selalu dilihatnya. Begitu pun ketika terbangun, gambar itu yang kali pertama dipandang.

Dia juga belum memikirkan apa yang akan dilakukan pada ulang tahun Adit, 29 November mendatang. Ketika anaknya masih ada, biasanya selalu diadakan acara kecil- kecilan untuk merayakann­ya. ”Enggak tahu mau ngapain. Saya fokus di sidang dulu saja,” ungkapnya.

Satu-satunya keinginan Tjindar saat ini adalah para pelaku itu dihukum mati. Menurut dia, pelaku tidak hanya menjarah harta anaknya. Nyawanya juga sudah diambil dengan cara yang tidak manusiawi. Dia bertekad akan melakukan apa pun agar para terdakwa mendapat hukuman setimpal dengan nasib anaknya. (*)

 ??  ?? SEBATANG KARA: Tjindar selalu menangis setiap kisah pembunuhan anaknya diceritaka­n terdakwa di PN Surabaya.
SEBATANG KARA: Tjindar selalu menangis setiap kisah pembunuhan anaknya diceritaka­n terdakwa di PN Surabaya.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia