Ketika Jadi Tamu di Negeri Sendiri
POLEMIK menjamurnya tenaga kerja asing (TKA) belum lagi surut, Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri justru telah menerbitkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) No 35 Tahun 2015 yang memicu kontroversi. Sebab, dalam regulasi baru itu, pemerintah justru melonggarkan aturan mengenai rasio perbandingan TKA dengan tenaga kerja dalam negeri (TKDN).
Model 1 berbanding 10, yang berarti satu TKA berbanding dengan 10 (TKDN), kini telah ditiadakan dalam Permenaker No 35/2015 tentang Tata Cara Penggunaan TKA tersebut. Kian menjadi sorotan karena dalam regulasi baru yang merevisi Permenaker No 16/2015 itu usul publik terkait dengan kewajiban kemampuan berbahasa Indonesia bagi TKA juga tidak diakomodasi. Kewajiban tersebut sudah dihilangkan dalam Permenaker No 16/2015.
Polemik menjamurnya TKA seharusnya menjadi modal dasar bagi pemerintah untuk melakukan perubahan peraturan yang responsif. Sekaligus mencerminkan keinginan publik (sosiologis). Namun, rupanya, kritik tersebut tidak diindahkan pemerintah.
Kritik publik atas menjamurnya TKA di Indonesia tidak terlepas dari, salah satunya, ketiadaan kewajiban berbahasa Indonesia tadi. Implikasi hilangnya kewajiban tersebut tentu memiliki dampak turunan yang cukup fatal.
Sayang, kritik publik tersebut justru dijawab dengan peraturan yang jauh lebih membahayakan bagi pekerja domestik. Yakni, hilangnya pengaturan rasio antara TKA dan TKDN tadi. Permenaker No 35 Langgar Norma Hukum
Penghapusan rasio TKA dan TKDN itu dapat dipastikan akan semakin membuat TKA menjamur di tanah air. Argumentasi pemerintah bahwa penghapusan tersebut memudahkan alih teknologi dan pengetahuan kepada TKDN menunjukkan kerancuan logika. Jangankan melakukan alih teknologi dan pengetahuan, TKA justru akan mendominasi seluruh bagian di pekerjaan.
Alih teknologi dan pengetahuan menjadi norma yang mutlak tersedia dalam aturan hukum. Sebab, amanat pasal 45 ayat (1) huruf a UU No 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan mewajibkan TKA melakukan alih pengetahuan dan alih teknologi terhadap TKDN.
Bila disandingkan dengan Permenaker No 35/2015, norma itu tentu tidak sinkron dan akan merepotkan di lapangan. Bagaimana mungkin TKA bisa melakukan alih teknologi dan alih pengetahuan bila mereka tidak bisa berbahasa Indonesia dan komposisi TKA tidak diatur? Padahal, alih pengetahuan dan teknologi tersebut dimaksudkan agar TKDN kita mampu berdiri setara dengan TKA.
Bukan sekadar persoalan teknis di lapangan. Bahasa Indonesia adalah bahasa negara sebagaimana amanat konstitusi dalam pasal 36 UUD 1945. Lebih dari itu, dalam pasal 33 ayat (1) dan (2) UU No 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan disebutkan, bahasa Indonesia wajib digunakan dalam komunikasi resmi lingkungan kerja swasta dan pemerintah.
Karena itu, bagi yang belum bisa menggunakan bahasa Indonesia, hukumnya wajib mengikuti pembelajaran. Berbagai aturan perundangundangan tersebut menempatkan bahasa Indonesia menjadi hal yang elementer. Jadi, dari sisi yuridis, sosiologis, dan filosofis, peniadaan kemampuan berbahasa Indonesia bagi TKA melanggar norma hukum di atasnya. Siapa Tuan di Negeri Indonesia?
Permenaker No 35 Tahun 2015 menyimpan semangat liberalisasi sektor ketenegakerjaan. Sulit dimengerti bila peraturan itu dimaksudkan untuk memproteksi TKDN.
Peraturan tersebut tentu juga mencoreng semangat adiluhung yang dijanjikan pemerintahan Presiden Joko Widodo dengan Nawacita-nya. Serta sejumlah janji politiknya seperti membuka 10 juta lapangan pekerjaan.
Jangankan merumuskan peta jalan untuk menunaikan Nawacita, pemerintah justru membuka keran selebar-lebarnya terhadap TKA untuk bekerja di tanah air. Apalagi bila menengok di lapangan, tidak sedikit TKA yang bekerja di sektor yang tidak membutuhkan skill khusus. Alias sektor yang selama ini menjadi lahan TKDN tamatan SD atau SMP.
Belum lagi masalah minimnya pengawas yang dimiliki dinas tenaga kerja (disnaker). Contohnya, data pada 2013. Di DKI Jakarta, dengan total 30 ribu perusahaan, hanya tersedia 60 pengawas. Minimnya ketersediaan pengawas di disnaker di setiap provinsi tentu akan menyulitkan pengawasan.
Memang, bila membandingkan jumlah TKA pada 2014 dengan tahun sebelumnya, secara kuantitas menurun tipis. Berdasar data Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA), pada 2014 ada 68.762 TKA di Indonesia, sedangkan setahun sebelumnya 68.957 orang.
Namun, angka tersebut muncul sebelum terbitnya Permenaker No 16 Tahun 2015. Dengan kata lain, angka tersebut merupakan dampak pemberlakuan Permenaker No 12 Tahun 2013 yang salah satu syaratnya mewajibkan TKA mampu berbahasa Indonesia.
Patut digarisbawahi, berbahasa Indonesia bukan sekadar menjadi syarat an sich yang tidak memiliki nilai filosofis. Sebab, berbahasa Indonesia juga menyimpan sisi kebanggaan sekaligus marwah negeri ini pada tempatnya.
Pemegang otoritas semestinya memiliki sensitivitas yang tinggi. Yakni, membandingkan dengan para TKI kita yang akan berangkat ke luar negeri yang harus bersusah payah belajar bahasa sesuai dengan negara yang dituju.
Kalau di negeri sendiri kita tidak punya wibawa, apalagi di negeri orang lain. Fakta bahwa pekerja kita menjadi tamu di negeri sendiri dan para pekerja Tiongkok menjadi tuan di negeri kita menjadi sisi paradoksal Nawacita.
Di atas semua itu, pemerintah juga harus menyiapkan secara serius sumber daya manusia (SDM) Indonesia. Dengan demikian, kita mampu memiliki daya saing yang unggul, khususnya dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang berlaku mulai tahun depan. Dan ingat, tahun depan itu tinggal kurang satu setengah bulan lagi. (*) * Anggota Komisi IX DPR RI/Fraksi PPP