Peletak Dasar Sepak Bola Modern yang Merana di Usia Senja
Sepak bola modern bertumpu kepada hasil dan mengesampingkan proses. Waktu menjadi musuh dan menyingkirkan mereka yang genius. Di Indonesia, Sinyo Aliandoe adalah salah seorang pelatih yang menjadi musuh sang waktu.
AQWAM F. HANIFAN,
SINYO Aliandoe adalah sosok yang langka. Pria asal Nusa Tenggara Timur (NTT) itu adalah pesepak bola yang pernah dididik langsung oleh Toni Pogacnik. Pogacnik merupakan pelatih genius asal Yu- goslavia yang didatangkan Presiden Soekarno pada 1960-an.
Pada periode itulah, pola dan tak- tik sepak bola modern mulai masuk secara masif. Mulai formasi 4-2-4, formasi W-M, cattenacio, hingga slingerback. Sebagai gelandang bertahan, Sinyo harus berpikir ekstra
Sinyo tidak hanya berpikir soal posisinya sebagai orang pertama yang membendung alur serangan lawan. Tetapi, dia juga harus mencari solusi untuk membantu penyerangan. Karir Sinyo sebagai pemain mandek pada akhir 1960-an. Patah kaki menjadi penyebabnya.
Dia pun meniti karir sebagai pelatih muda bersama Persija Jakarta –tim yang membesarkannya sebagai pemain. Bersama tim berjuluk Macan Kemayoran itu, Sinyo mampu menyabet gelar juara dua musim beruntun.
Saat meniti karir pelatih, Sinyo membawa sebuah taktik baru. Hal itu diceritakan Kadir Jusuf, seorang football pundit kenamaan Indonesia dekade 1980-an.
Kala itu, pada 1973, Sinyo dikirim oleh Manajer Persija F.H. Hutasoit ke Manchester United, Inggris, untuk menuntut ilmu. ’’Sekembali ke tanah air, Sinyo memopulerkan taktik offside dengan moving out secara block,’’ ucap Kadir.
’’Sebelum itu di Indonesia hanya mengenal offside sebagai jebakan semata. Jadi, tanpa keluar secara serentak melalui satu unit, sekaligus melakukan pressing terhadap lawan,’’ paparnya. Atas dasar itulah, Sinyo kemudian lekat dengan julukan Bapak Offside Indonesia.
Di tangan Sinyo, jebakan offside dijadikan bagian dalam taktik penguasaan bola. Saat membawa Persija kembali jayajayanya, tim ibu kota itu saat bertahan memang identik dengan pressing football. Skema tersebut dibawa saat dia menangani klub Galatama, Tunas Inti dan Jayakarta.
Kelebihan dari seorang Sinyo adalah kegeniusannya bertutur dalam dunia literasi. Taktik sepak bola yang rumit bisa dia jabarkan dengan mudah dan dituliskan dalam kolom khusus di berbagai media nasional.
Dalam satu tulisannya, dia memaparkan cara kerja total football buatan Rhinus Michael dengan analogi yang gampang dicerna. ’’Setidaknya apa yang saya lakukan pun tidak terlepas dari total football ini. Inti football setidaknya ada pada pressing,” papar Sinyol dalam salah satu tulisannya.
Prestasi itu yang membuat dia sering keluar masuk sebagai pelatih tim nasional. Sinyo-lah yang membangun fondasi timnas saat Indonesia hampir lolos ke Olimpiade 1976. Sayangnya, dia tidak pernah bisa menuai hasil dari apa yang dibangun. Bahkan, karena gagal dan kalah oleh Korea Utara, dia dan Wiel Coerver pun didepak.
Sepuluh tahun kemudian, tepatnya 1986, Sinyo membuat Indonesia hampir lolos ke Piala Dunia. Tetapi, Indonesia gagal setelah disingkirkan Korea Selatan. Tidak tahan oleh cacian publik dan media, PSSI pun memecat dia.
Siapa sangka, apa yang dibangun Sinyo itu menjadi fondasi tim Indonesia saat menjuarai SEA Games 1987. Ya, Bertje Matulapelwa, yang dahulu merupakan asisten Sinyo, hanya meneruskan proyek Sinyo. Pemain-pemain besar, mulai Bambang Nurdiansyah, Rully Nere, Zulkarnain Lubis, Herry Kiswanto, hingga Ferrel Raymond Hattu, dia poles dengan tekun.
Nah, setelah menghabiskan hampir seluruh hidupnya di se- pak bola, kemarin (18/11) Sinyo tutup usia. Sinyo meninggal dalam usia 75 tahun. Senja hidupnya dihabiskan dengan penyakit kekurangan daya ingat yang lazim diidap orang lanjut usia.
Tahun lalu Sinyo pernah membuat heboh. Sebab, dia hilang seminggu. Ternyata, dia lupa jalan untuk pulang ke rumah. ’’Bapak memang sering mengeluh jantungnya sakit. Ingatannya pun sudah pikun,’’ ucap sang anak, Theo.
Kepergian Sinyo membuat sepak bola Indonesia berduka. Terutama keluarga besar Persija Jakarta dan Arema Malang. Di dua klub tersebut Sinyo pernah melatih. Ucapan belasungkawa pun mengalir di ruang duka Rumah Sakit St Carolus. Di antaranya, dari Sekjen PSSI Azwan Karim serta Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi.
’’Beliau merupakan legenda sepak bola Indonesia yang patut dikenang. Beliau merupakan salah satu pelatih terbaik yang pernah dimiliki Indonesia,’’ ucap Imam.
Ya, Sinyo memang pantas dikenang. Sebab, sebagaimana yang pernah diucapkan mendiang Bertje Matulapelwa, Sinyo adalah sosok yang berpendirian keras. Dia tidak mau diintervensi. Karena itu pula, dia sering berseberangan dengan pihak-pihak yang ingin meraih prestasi dengan cara instan.
Sastrawan Amerika Latin Eduardo Galeano dalam bukunya, Soccer in The Sun and Shadow, mendeskripsikan kata ’’pelatih’’ dengan makna yang asyik. ’’Seorang pelatih adalah mereka yang percaya bahwa sepak bola adalah sains dan lapangan adalah labolatoriumnya. Mereka genius seperti Albert Einstein dan halus seperti Sigmund Freud.’’
’’Namun, hal itu tak cukup bagi pemilik klub dan fans. Mereka ingin pekerjaan yang penuh dengan keberuntungan seperti yang didapat Maria sang Perawan, dikombinasikan dengan kegigihan seorang Mahatma Gandhi.’’
Dan selama berkarir sebagai pelatih timnas, keberuntungan itu memang tidak selalu mendatangi Sinyo hingga akhir hayatnya.... (*/c4/bas)