Orang Tua Pegang Kendali
Anak tunggal sering diidentikkan dengan karakter manja, egois, dan Anggapan tersebut sejatinya tak bisa digeneralisasi. Banyak faktor yang membuat anak tunggal memang seperti itu atau malah jauh sekali dari sifat-sifat tersebut. Patahkan Stigma Karakte
bossy.
Dari sisi psikologis, ada teori Alfred Adler (1964) yang mengklasifikasikan kepribadian anak berdasar urutan lahir. Yaitu, anak sulung, tengah, bungsu, dan tunggal.
Namun, beberapa studi terbaru hingga 2015 menyatakan, tidak ada perbedaan signifikan antara karakter anak sulung, tengah, bungsu, maupun tunggal. ” Yang lebih berperan dalam pembentukan karakter anak adalah pola asuh orang tua,” papar Saskhya Aulia Prima.
Termasuk untuk anak tunggal. Anak tunggal sering dikaitkan dengan egosentris dan ketergantungan. Padahal, itu tidak berlaku secara general. Lantas, bagaimana pola asuh yang ideal untuk anak tunggal?
Psikolog dari Klinik TigaGenerasi, Jakarta, yang akrab disapa Saski tersebut memberikan penjelasan. Mitosnya, anak tunggal itu manja dan sangat bergantung pada orang tua. Karakter tersebut umumnya terbentuk karena orang tua memperlakukan anak satu-satunya dengan overprotektif. Juga, ortu selalu mengambil alih segala hal yang berkaitan dengan si anak.
Idealnya, orang tua tetap memberikan tanggung jawab sesuai dengan usianya. ”Misalnya, melatih anak untuk mencopot sepatu sendiri, bukan ortu yang melakukan,” ujar Saski.
Anak diajari untuk merapikan mainan setelah selesai, membawa tas sendiri. Itu merupakan cara untuk melatih tanggung jawab sejak dini. Serta, anak tidak selalu bergantung pada orang tua.
Mitos berikutnya, anak tunggal itu egois dan cenderung melawan, kurang bisa mengontrol emosi. Untuk mencegah terbentuknya karakter seperti itu, orang tua harus memiliki dan • Biarkan anak
mengeksplorasi diri. • Dorong untuk berinteraksi. • Memberikan tanggung jawab
sesuai usia. • Menerapkan
konsekuensi.
dan • Menjadi overprotektif. • Membatasi hal yang ingin
dilakukan anak. • Mengambil alih tanggung jawab
pribadi anak. • Memenuhi segala keinginan
anak dengan mudah. • Memiliki ekspektasi yang tidak
realistis. disiplin menerapkannya. Contohnya, jam tidur. Apabila itu tidak dipatuhi, ada konsekuensi. Ajarkan juga kepada anak untuk memiliki rasa hormat kepada orang yang lebih tua, menyayangi yang sebaya. ”Misalnya, mengucapkan tolong dan terima kasih saat minta bantuan,” tutur Saski.
Mitos selanjutnya, anak tunggal sulit bersosialisasi. Hal tersebut bisa diatasi dengan mengenalkan anak kepada lingkungan sosial sejak dini. Indikator untuk anak usia TK (5–6 tahun) adalah mau berbagi.
Sejak usia 2 tahun atau bahkan lebih kecil dari itu, anak sudah mulai bertemu orang baru. Itu menjadi perkenalan awal bagi dia. Apalagi, sekarang banyak orang tua yang memasukkan anaknya ke pada usia 3–4 tahun. Bisa juga, mengikuti kelas Orang tua bisa mendorong sang anak. Ajak anak berbaur dengan teman-teman sebaya.
Bila terlihat menyendiri dan tidak terbiasa dengan suasana ramai, bimbinglah si kecil untuk berinteraksi dengan teman. ”Contoh simpelnya, berbagi giliran main ayunan. Juga, berbagi atensi orang tua,” papar Saski. Dengan begitu, anak mengenal konsep berbagi, bukan hanya materiil, tapi juga nonmateriil.
Mitos berikutnya, anak tunggal punya karakter yang mudah menyerah. Itu sering terbentuk karena orang tua selalu memenuhi keinginan sang anak dengan mudah. Sebaiknya, sejak dini orang tua mengajari anak untuk menahan kesenangan. Ketika si kecil ingin memiliki mainan baru, misalnya, jangan selalu dipenuhi saat itu juga.
Ajarkan untuk menabung. Banyak manfaat yang didapat. ”Anak berlatih mengendalikan emosi, bahwa tidak semua keinginannya bisa terpenuhi dengan mudah,” papar psikolog alumnus Universitas Indonesia itu.
Efeknya, ketika dia masuk usia sekolah serta menghadapi tantangan dalam perjalanan hidup, terbentuk karakter untuk tidak mudah menyerah. ”Sebab, bila terbiasa mendapat segala sesuatu dengan mudah tanpa usaha, anak cenderung kurang kuat menghadapi tantangan,” lanjut Saski. (nor/c10/ayi)