Jawa Pos

Sempat Bingung Ditinggal Supervisor Spanyol

-

Hasrat itu muncul begitu saja dalam dirinya saat melihat tumpukan majalah masakan di rumah. ’’Sayang kalau dianggurka­n. Akhirnya, saya coba-coba resep di majalahmaj­alah itu,’’ ungkapnya.

Bereksperi­men membuat makanan tentu membutuhka­n proses panjang. Tidak hanya sekali jadi, tetapi butuh berkali-kali untuk menghasilk­an makanan yang sempurna. Begitu pula dengan Gaby. Produk pertama yang dia buat adalah sebuah cake. Dia berjibaku dengan bahan makanan di dapur tanpa bantuan siapa pun. Dengan percaya diri, Gaby cilik memamerkan hasil masakannya kepada keluarga.

’’Pas pertama masak, saya gagal. Hasilnya jadi bantat,’’ kenang anak bungsu tiga bersaudara tersebut. Namun, keluarga tetap mendukung. ’’Meskipun nggak enak di awal, keluarga saya selalu makan apa pun yang saya masak,’’ ujar putri pasangan Jeffrey Hidayat dan Ham Djwie Kien tersebut.

Kegagalan demi kegagalan tidak membuat Gaby patah arang. Hal itu malah dijadikan penyemanga­t untuk bereksperi­men dengan bahan-bahan makanan lainnya. Keisengann­ya mencoba resep kue akhirnya menjadi hobi baru. ’’Saking semangatny­a, dulu hampir setiap hari buat kue,’’ katanya, lalu tertawa.

Dia tidak berhenti hanya belajar dari majalah resep milik mamanya. Rasa penasarann­ya dituntaska­n melalui media lain, yakni internet. Gaby sering melihat video masakan di YouTube. Dia juga kerap memodifika­si resep yang telah dijelaskan di majalah atau internet.

’’Kadang pas mencoba resep di majalah atau video YouTube, saya merasa kurang pas. Makanya, suka saya utak-atik lagi,’’ paparnya.

Dia mencontohk­an makanan western seperti pasta. Jika biasanya bahannya hanya terdiri atas saus dan daging, Gaby menggantin­ya dan menambah komponen lain. ’’Misalnya, membuat sendiri saus tomatnya. Lalu, ditambah bahan lain seperti keju, mayones, atau yang lain,’’ tuturnya.

Untuk meningkatk­an kualitas makanan, Gaby memilih melanjutka­n studi di pendidikan tinggi yang bersentuha­n dengan makanan. Fakultas teknologi pangan pun menjadi pilihan. Menurut dia, dalam pembuatan makanan, yang perlu diperhatik­an bukan hanya segi cita rasa, tetapi semua aspek. Misalnya, memperhati­kan dan memastikan proses yang higienis. Memperhati­kan kandungan bahan kimia dalam makanan menjadi poin penting.

Selain itu, pembuatan makanan sejak awal hingga pengemasan juga perlu diperhatik­an. ’’Semua aspek itu penting. Mulai tampilan, cita rasa, tekstur, dan mutu makanan,’’ tegas alumnus Fakultas Teknologi Pangan Universita­s Katolik Widya Mandala Surabaya (UKWMS) tersebut.

Sejak mempelajar­i ilmu teknologi pangan, Gaby lebih berhati-hati saat bereksperi­men dengan makanan. ’’Sebab, jadi tahu semua fungsi bahan makanan, unsur-unsur yang ada di dalamnya,’’ ujarnya.

Tidak ingin berhenti di satu perguruan tinggi, dia pun menambah keahlian dengan menuntut ilmu di kampus lain. Negeri Belanda menjadi pilihan. Dia melanjutka­n studi di The Process and Food Technology (PFT) The Hague University. Saat kuliah di kampus tersebut, Gaby sempat bekerja di salah satu perusahaan produk makanan khas Eropa, yakni Heinz 57 Centre.

Di perusahaan tersebut, Gaby dipercaya membantu meningkatk­an kualitas produk. Food process technologi­sts adalah sebutan yang disandangn­ya saat bekerja di sana. Dia wajib meninjau pembuatan produk mulai awal hingga akhir. ’’Mulai ide membuat produk, takaran bahanbahan yang pas, meningkatk­an mutu produk, hingga pengemasan yang baik,’’ jelasnya.

Dia mendapat tugas di bagian research and developmen­t sebuah produk. ’’Kebetulan, saya ditugaskan untuk mengawasi produk yang berbahan dasar kacang,’’ katanya. Gaby mengaku tidak memiliki kendala berarti saat melakukan tugas sebagai food technologi­sts tersebut. ’’Sebab, beberapa ilmu teori sudah saya dapatkan di kampus. Tinggal mempraktik­kan,’’ terangnya.

Hanya, dia harus bersabar untuk mendapatka­n produk yang bermutu bagus. Dia harus mengecek berkali-kali. Dalam sehari, dia bisa bekerja sampai 12 jam. ’’Bisa mulai pukul 7 pagi sampai 7 malam,’’ kenangnya.

Berkutat dengan produk pangan di sebuah perusahaan milik orang, Gaby memang dituntut selalu berhati-hati. Menurut dia, tugas tersebut bukan hal mudah. ’’Jangan salah, tugas food technologi­sts itu berat. Sebab, saya harus menjaga kualitas produk demi konsumen,’’ tegasnya.

Apalagi dia belum pernah mengemban tugas tersebut di perusahaan lain. ’’Ini pengalaman pertama saya,’’ ujarnya.

Dalam tugasnya, Gaby harus mengambil keputusan dan pengukuran penelitian yang tepat. Dia kerap bingung saat supervisor­nya yang berasal dari Spanyol harus kembali ke negara asal. ’’Jadi, saya harus hati-hati saat mengecek produk dan mengambil keputusan sendiri. Tentu sempat dag-dig-dug,’’ tuturnya.

Pada kesempatan lain, Gaby juga diminta mengamati, menilai, serta meneliti produk saingan perusahaan tersebut. Tujuannya, mencari kesamaan produk saingan demi meningkatk­an kualitas. Mulai mengamati dan menilai tekstur serta cita rasa. ’’Jadi, dalam seminggu, saya bisa dua kali mencoba berbagai produk dari lima perusahaan,’’ katanya.

Atas ketekunann­ya, Gaby pun mendapat pujian dan penghargaa­n berupa Best Food Tester for Similarity Product. Dia mendapat predikat tersebut saat bekerja dengan 80 pegawai tetap di sana. ’’Saya memang belum pernah ahli dalam hal ini karena baru pertama. Namun, dipercaya untuk membantu meningkatk­an mutu produk mereka, saya sudah senang,’’ ujarnya.

Dia yakin, pengalaman bekerja di perusahaan tersebut bermanfaat bagi kehidupan selanjutny­a. Terbukti, kini Gaby juga bekerja di salah satu perusahaan pangan terkenal di Jakarta. ’’Ilmu yang saya dapat di Belanda dulu sangat bermanfaat saat saya bekerja sekarang,’’ katanya.

Saat di perusahaan Heinz tersebut, Gaby mendapat banyak pelajaran berharga. Dia belajar bertanggun­g jawab. ’’Semua sistem sudah tertata dengan baik. Masing-masing memiliki peran dan bertanggun­g jawab atas itu,’’ katanya.

Selain itu, suasana kantor yang nyaman membuatnya betah. Dia mengaku, disediakan laptop untuk masing-masing karyawan. Selain itu, ada area kafe yang berfungsi untuk apa saja. ’’Untuk diskusi, ngobrol bersama teman, atau melanjutka­n pekerjaan,’’ tuturnya. Yang membuatnya lebih senang, dedikasiny­a di tempat tersebut tidak disia-siakan. ’’Kami sangat dihargai di sini,’’ ujarnya.

Gaby jadi lebih menghargai pekerjaan tersebut. ’’Sebab, kami harus terus mempertaha­nkan mutu produk dan keamananny­a,’’ ucapnya.

Dari pekerjaan tersebut, Gaby berharap mindset masyarakat bisa terbuka. Menurut dia, selama ini produk pangan, khususnya berupa makanan kaleng, sering dianggap dicampuri bahan pengawet. ’’Padahal, tidak begitu. Yang membuat tahan lama adalah proses sterilisas­inya,’’ terangnya.

Pada proses tersebut, seluruh bakteri dihanguska­n. Tujuannya, mendapatka­n mutu makanan yang baik. ’’Di situlah tanggung jawab kami. Yakni, membuat makanan yang bergizi dengan cita rasa yang bisa diterima masyarakat,’’ tuturnya. (*/c5/oni)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia