Kuncinya Senyum dan Sapa ke Sesama Warga
Pemeluk Kristen dan Islam di Palalangon erat bergotong royong dalam berbagai aktivitas keseharian. Mulai menjaga gereja dan mengamankan salat Id sampai pesta panen. Penghormatan kepada tradisi Sunda juga jadi tali pengikat keharmonisan.
SEBUAH pohon cemara imitasi terletak dekat mimbar. Di tengah misa pada Minggu pagi lalu (20/12), hanya pohon itulah yang menjadi penanda paling kuat bahwa Natal segera datang.
Selebihnya adalah kekhusyukan beribadah dalam balutan kesederhanaan di Gereja Kristen Pasundan (GKP). Sesederhana lanskap di sekitarnya: Kampung Palalangon yang terletak sekitar 20 kilometer dari pusat Kota Cianjur, Jawa Barat.
Kedamaian yang tertangkap di dalam gereja juga bisa dengan gampang ditemukan di sekujur kampung di Desa Kertajaya, Kecamatan Cikarang, tersebut. ”Kami semua bersaudara di sini, tanpa melihat apa agamanya,” ujar Yunarta Jamur, salah seorang anggota Majelis Gereja GKP Palalangon, kepada Jawa Pos
Di tengah kian menggejalanya aksi intoleransi di tanah air, yang diungkapkan Yanuar itu terdengar sangat menyejukkan. Setidaknya tenggang rasa dan sikap saling menghormati antar pemeluk agama yang dahulu menjadi salah satu ciri khas Indonesia masih bertahan di sana. Lebih dari satu abad bahkan.
Warga Kampung Palalangon yang 99 persen pemeluk Kristen hidup damai di tengah Cianjur yang dikenal sebagai wilayah santri. Menerapkan syariat Islam, dari 1,9 juta penduduk Cianjur, 98 persen di antaranya merupakan muslim. Moto kabupaten yang dikenal sebagai penghasil beras berkualitas itu Gerbang Marhamah atau Gerakan Membangun Masyarakat Berakhlakul Karimah.
Palalangon juga satu-satunya kampung di wilayah Desa Kertajaya yang mayoritas warganya Kristen. Toh, tak pernah ada gesekan berarti antar pemeluk agama di kampung berpenduduk 1.117 jiwa tersebut.
Pemeluk Kristen dan Islam di Palalangon maupun di kampung-kampung lain di Desa Kertajaya dan desa tetangganya, Sindangjaya, erat bergandengan tangan dalam keseharian. ”Beberapa hari lalu kami mengadakan baksos (bakti sosial) pengobatan, kami mengundang mereka (warga non-Kristen, Red) juga. Berkat yang ada di gereja pun harus dibagikan kepada masyarakat, bukan hanya kaum seiman,” jelasnya.
Yunarta menuturkan, saat Natal tiba, tanpa diminta, para anggota Banser NU setempat selalu menawarkan ikut menjaga gereja. Giliran pas Hari Raya Idul Adha, seperti dituturkan Ismail Soleh, ustad Masjid Nurul Hidayah yang tak jauh dari Gereja Palalangon, warga Kristen turut membantu penyembelihan hewan kurban. Juga, dalam pengamanan salat Id.
”Kalau pas ada kebaktian, yang banyak jualan di sekitar gereja juga warga muslim. Perbedaan itu bukan musuh, tapi kekayaan dan kekuatan,” kata Ismail.
Momen lain perekat keharmonisan di wilayah tersebut adalah saat agenda rutin GKP Palalangon dalam memperingati hari jadinya pada 17 Agustus. Bersama dengan para pemuka agama desa, mereka menggelar pesta panen.
Pesta tersebut menjadi sebuah bagian dalam mengucapkan syukur atas alam dan berkat yang telah diberikan. Pesta itu pun mengundang para kiai, ustad, dan dewan pengurus masjid (DPM) setempat.
Toleransi di Palalangon itu menenteramkan hati. Sebab, Setara, lembaga pemerhati hak asasi manusia, pernah melansir data yang menyebutkan, sepanjang Januari–Juni 2015, terjadi 116 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/ berkeyakinan dengan 136 tindakan.
Yunarta maupun Ismail sepakat, kunci toleransi di kampung mereka tak mulukmuluk. Hanya terletak pada kemampuan mengondisikan diri dan melihat situasi yang ada di sekitar. Bahwa saudara tak hanya yang seiman, tetapi lintas iman.
”Sederhananya, kami ini modalnya senyum dan sapa saja ketika bertemu sesama warga,” kata Yunarta.
Mengutip Arsip Indonesia, keberadaan orang-orang Kristen di wilayah Cianjur bermula dari adanya permintaan pemerintah Hindia Belanda kepada Bupati Cianjur Raden Prawiradireja II (1862–1910) pada 1901. Mereka meminta bupati Cianjur ke-10 itu menyediakan lahan kosong untuk komunitas Kristen pribumi yang ada dalam bimbingan NZV (Nederlandsche Zendings Vereeniging), sebuah perkabaran misi Injil dari Belanda.
Bupati Raden Prawiradireja II lantas memberikan wewenang kepada salah seorang wedananya yang bernama Sabri. Sabri kemudian mengajak B.M. Alkema dengan tujuh pengikutnya bergerak ke timur Cianjur. Mereka menyusuri aliran Sungai Cisokan dan kemudian aliran Sungai Citarum.
Saat mendekati kawasan yang disebut sebagai Leuwi Kuya (Lubuk Kura-Kura), tibatiba salah seorang di antara rombongan itu terperosok masuk ke sebuah jurang.
Di tempat itulah akhirnya para warga Sunda pemeluk Kristen yang sebelumnya kerap menjadi korban persekusi di tempat asal akhirnya bermukim dan mendirikan gereja. Di tempat itu pula mereka lantas bisa hidup damai, berdampingan dengan pemeluk agama lain, sampai kini, 113 tahun berselang.
Sama-sama kuat memegang teguh tradisi Sunda juga menjadi tali pengikat keharmonisan lainnya di Palalangon. Palalangon itu sendiri adalah kata dalam bahasa Sunda yang berarti menara. Bahasa Sunda pun sering diselipkan dalam tata acara kebaktian di GKP.
Misalnya, diselipkan dalam salah satu lagu di antara sekian banyak lagu yang dinyanyikan. Penghormatan terhadap tradisi juga diwujudkan warga kampung dengan mempertahankan marga. Di antaranya adalah Jamur, Markasan, Djiun, Rifai, dan Kalla.
Meski demikian, tidak berarti tak ada kelompok yang berusaha memecah kekompakan warga lintas agama di kampung tersebut. Pada 1998 ada sekelompok orang yang berkeliling kampung dengan meneriakkan yel-yel provokatif anti-Kristen. Mereka juga bermaksud menyerang gereja.
Namun, dengan segera, para pemeluk Islam di kampung itu dan kampung sekitarnya maju membela saudara-saudara mereka. Bahkan, ada pemuka muslim yang ketika itu dengan lantang menantang, jika para perusuh tak mundur, dia rela mati demi membela ketenteraman kampung.
Para perusuh akhirnya mundur teratur. ”Belakangan diketahui ternyata tak ada satu pun di antara mereka yang warga desa setempat atau desa sekitarnya,” kata Ismail.
Komunikasi dan koordinasi pun segera dilakukan antar pemuka agama di wilayah tersebut. Ikrar persatuan pun terlahir secara nonformal. Pengalaman itu juga mengajarkan pentingnya fungsi majelis gereja di tingkat desa. ”Terbentuknya tidak diketahui kapan, ini juga dorongan dari pemerintah dalam mendorong komunikasi antarumat beragama,” jelas Yunarta.
Barangkali, itu salah satu kunci sehingga toleransi antar pemeluk agama terjaga di Cianjur. Para anggota majelis gereja sering duduk bersama dengan MUI (Majelis Ulama Indonesia) untuk menyelesaikan masalah-masalah yang biasa muncul di masyarakat. Forum sejenis di tingkat kecamatan adalah Badan Kerja Sama Antar Gereja dan di level kabupaten ada Forum Keagamaan Umat Beragama.
Forum komunikasi itu kian dirasa penting karena seiring berjalannya waktu, Kampung Palalangon dan sekitarnya mulai dibanjiri pendatang. Ada yang Toraja, Manado, Batak, Sangir, dan Tionghoa. Karena itu pula, perayaan Natal tahun ini dirancang untuk menunjukkan keberagaman etnis tersebut.
Pada Minggu pagi lalu itu, geliat persiapan Natal memang belum terlalu terlihat di Palalangon. Tapi, barangkali, bukan itu yang terpenting. Keberhasilan menjaga keharmonisan selama lebih dari seabad adalah kado Natal yang lebih indah dari apa pun. (*/c10/ttg)