Pungutan BBM Bebani Konsumen
Tidak Jelas, Dasar Hukum Dana Ketahanan Energi
JAKARTA – Rencana pemerintah me mungut dana ketahanan energi dari penjualan bahan bakar minyak (BBM) mulai dipersoalkan banyak kalangan. Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia ( YLKI) Su daryatmo menyayangkan keputusan pemerintah yang memungut dana dari se tiap liter BBM yang di- beli rakyat tersebut.
Menurut dia, legalitas pungutan itu harus dipertanyakan. ’’Apa dasar hukumnya sehingga rakyat kecil harus menanggung dana itu?’’ ujarnya kemarin (24/12).
Di negara- negara lain, kata Sudaryatmo, dana untuk pengembangan energi terbarukan diberikan pemerintah dalam bentuk insentif bagi pelaku usaha. Insentif tersebut otomatis dinikmati jika ada investasi di sektor energi terbarukan
”Sebaliknya, energi fosil diberi disinsentif, bukannya malah disubsidi seperti di negara kita. Ini sikap yang bertolak belakang.”
YLKI meminta pemerintah lebih transparan dalam pengelolaan dana ketahanan energi. Sebab, nilai dana tersebut sangat besar sehingga rawan disalahgunakan. ”Targettarget pengembangan energi terbarukan kita sampai sekarang nggak jelas. Ini tiba-tiba ada dana untuk program tersebut. Yang mengelola siapa? Bisa-bisa malah menguap untuk hal lain,” tuturnya.
Sudaryatmo menilai, pungutan dana ketahanan energi dari pembelian BBM membuktikan bahwa pemerintah tidak memiliki roadmap yang jelas atas pengembangan energi terbarukan. Akibatnya, rakyat terbebani, sedangkan pemerintah tidak membuat langkah strategis untuk meringankan beban rakyat. ”Menurunkan tarif angkutan umum dan harga barang-barang saja tidak bisa,” ujarnya.
Rencana pemerintah tersebut, tampaknya, juga tidak bakal melenggang mulus dalam pembahasan di parlemen. Kardaya Warnika, ketua Komisi VII DPR yang membidangi sektor energi, menilai payung hukum pasal 30 UU No 30/2007 tentang Energi yang digunakan pemerintah sebagai dasar pungutan dana ketahanan energi tidaklah tepat. Sebab, pungutan harus diatur tersendiri dalam bentuk pajak atau penerimaan negara bukan pajak (PNBP). ”Konsep pungutan pemerintah belum jelas,” katanya.
Pasal 30 UU Energi mengatur tentang kegiatan penelitian dan pengembangan ( research and development). Dalam ayat 2 disebutkan, pendanaan bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), APB daerah, dan dana swasta.
Pasal 30 ayat 3 mengatur, pengembangan dan pemanfaatan hasil penelitian tentang energi baru dan energi terbarukan dibiayai dari pendapatan negara yang berasal dari energi tak terbarukan.
Menurut mantan kepala BP Migas yang kini menjadi politikus Partai Gerindra tersebut, pemerintah harus membuat landasan hukum yang kuat sebelum melakukan pungutan. Apalagi pungutan itu berkaitan langsung dengan BBM yang dikonsumsi masyarakat.
Rencana pemerintah untuk menerbitkan peraturan presiden atau peraturan menteri sebagai landasan hukum juga dinilai tidak kuat. ”Ini menyangkut uang rakyat yang jumlahnya besar. Jadi, harus dengan undang-undang,” tegasnya.
Sebelumnya, Menteri ESDM Sudirman Said mengungkapkan, masih akan dibuatkan payung hukum dalam bentuk peraturan presiden atau peraturan menteri untuk pelaksanaan pemungutan dana ketahanan energi tersebut. Dia juga mengakui belum ada mekanisme penganggarannya. ” Yang jelas, secara prinsip sudah disetujui,” ujarnya Rabu malam (23/12).
Apakah dana ketahanan energi akan masuk dalam APBN? Sudirman menyebutkan, pihaknya akan menjelaskan kepada DPR bahwa selain dana reguler, Kementerian ESDM akan mengurus dana yang dikelola langsung. ”Nanti kami jelaskan penggunaannya untuk apa saja,” katanya.
Sudirman mengklaim, rencana pemungutan dana ketahanan energi sudah berulang-ulang dibahas di level pemerintah dan parlemen, tetapi hingga saat ini belum pernah direalisasikan. Padahal, rencana tersebut sudah diatur pula dalam kebijakan energi nasional (KEN). ”Karena itu, bukan hanya konsep, harus direalisasikan,” tegasnya.
Sudirman menjelaskan, dana ketahanan energi akan digunakan untuk membangun infrastruktur energi terbarukan serta membiayai riset penelitian dan pengembangan energi terbarukan, termasuk menyubsidi tarif listrik dari energi terbarukan yang saat ini harganya belum kompetitif. ”Bisa juga untuk pengembangan infrastruktur energi di wilayah (Indonesia) timur yang masih kurang,” jelasnya.
Kementerian ESDM mengestimasi dana ketahanan energi yang bisa dikumpulkan per tahun berkisar Rp 15 triliun. Dana itu berasal dari pungutan Rp 300 per liter untuk solar yang konsumsinya tahun depan diperkirakan mencapai 16 juta kiloliter serta Rp 200 per liter untuk premium dan bahan bakar tertentu lainnya yang konsumsinya diperkirakan mencapai 51 juta kiloliter.
Berdasar proyeksi Pertamina, total konsumsi BBM pada 2015 mencapai 65,8 juta kiloliter. Namun, seiring dengan perlambatan ekonomi hingga akhir tahun ini, proyeksi tersebut diturunkan menjadi sekitar 62,5 juta kiloliter. Dengan pertumbuhan ekonomi 2016 yang diproyeksikan lebih tinggi daripada tahun ini, total konsumsi BBM 2016 diperkirakan 67 juta kiloliter.
Pengamat energi yang juga Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies (Iress) Marwan Batubara menambahkan, pemerintah memang harus menjelaskan rencana pemungutan dana ketahanan energi dengan detail. Sebab, hingga saat ini masih banyak ketidakjelasan yang menyertainya. ”Aturan mainnya harus jelas dulu. Kalau tata kelola tidak jelas, rawan terjadi KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme, Red),” ungkapnya.
Menurut dia, tata kelola dana pungutan harus benar-benar transparan, mulai mekanisme pemungutan, penyimpanan, penggunaan, hingga pengawasan. (wir/owi/c5/end)