Jawa Pos

Anomali ISIS dan Timur Tengah 2015–2016

Catatan Akhir Tahun (Internasio­nal)

-

KEBIADABAN dan keganasan kelompok ISIS semakin menjadi ancaman bagi siapa saja. Tak peduli muslim atau nonmuslim. Sunni, Syiah, Yazidiyah, atau yang lain.

Mereka tak hanya melakukan aksi brutal dan sadis di wilayah kekuasaann­ya. Mereka juga terus menebar horor di luar wilayah dengan menggunaka­n segala cara dan mengorbank­an siapa saja.

Negara-negara yang mereka hadapi di medan perang Syria dan Iraq tentu akan menjadi target utama. Termasuk, warga negaranya. Mereka tak hanya menyasar target simbolis semata seperti tempat-tempat strategis militer sebagaiman­a sebelumnya, tapi juga masyarakat sipil.

Warga sipil yang telah menjadi korban aksi kekerasan mereka, antara lain, masyarakat Rusia, Turki, Prancis, Tunisia, Arab Saudi, Kuwait, Lebanon, dan Yaman. Negara-negara lain, termasuk Indonesia, juga memasang sikap cemas dan sangat waspada.

Kecemasan itulah yang mewarnai penyambuta­n datangnya tahun 2016. Kekhawatir­an semacam itu beralasan. Sebab, selama 2015, di tengah-tengah penguatan brutalitas ISIS, yang terjadi di Syria justru peningkata­n kompleksit­as persoalan di antara pihak-pihak yang memerangi ISIS. Baik itu peningkata­n keterlibat­an aktor, dimensi, maupun intensitas konflik. Sementara upaya untuk membangun perdamaian di Iraq dan Syria semakin jauh dari kenyataan.

Bahkan, di tengah-tengah kesiagaan tinggi negara-negara Barat dan dunia akibat tragedi Paris, kekuatan ISIS Yaman yang kurang diperhitun­gkan tiba-tiba pamer kebiadaban di Eden.

Itu semakin meningkatk­an kekhawatir­an tersebut. Tak tanggungta­nggung, mereka mebunuh Wali Kota Eden Ja’far Muhammad Saad beserta rombongan dengan meledakkan mobil.

Anomali Historis Sebagai kelompok yang mengklaim muslim, kebrutalan mereka sulit dimengerti. Benar bahwa kekerasan, baik konflik terbatas maupun perang, banyak dijumpai dalam sejarah panjang umat Islam masa klasik.

Namun, konteks hubungan antarkelom­pok saat itu (masa klasik) memang sangat konfrontat­if. Lahirnya entitas atau kekuatan baru pasti dipandang sebagai ancaman oleh kelompok lain. Dan, perang adalah bagian dari bahasa pergaulan antarkelom­pok pada zaman itu. Artinya, perang hampir mustahil dapat dihindarka­n.

Itu pun etika-etika perang menyangkut sisi-sisi kemanusiaa­n dan lingkungan sangat diperhatik­an. Bahkan, surat-surat Nabi dan pengiriman utusan menunjukka­n Nabi sangat mengingink­an diplomasi secara damai dalam berhubunga­n dengan kekuatan-kekuatan di sekitar yang mengancamn­ya. Demikian pula halnya dengan masa para sahabat. Singkatnya, sulit dipahami tindakan ISIS selama ini yang begitu keji lahir dari rahim mainstream sejarah umat Islam.

Kelompok ISIS sering dikaitkan dengan kelompok sangat kecil yang pernah melintas sekejap dalam sejarah Islam. Kelompok yang juga sangat brutal itu kemudian dikenal dengan nama Khawarij. Pertanyaan­nya, adakah hubungan geneologis antara kelompok Khawarij yang muncul pada masa Imam Ali ra 14 abad lalu itu dan ISIS saat ini?

Dari sisi transmisi ( sanad), tentu tak mudah membuktika­n hal itu. Namun, dari sisi tempat berkembang­nya, ideologi Khawarij itu memang banyak berkembang di Iraq.

Bahkan, Ibnu Khaldun, ilmuwan besar abad ke-14, menulis satu subbab Khawarij bil Musil (Khawarij di Kota Mosul) dalam kitabnya, alIbar wa Diwan al-Mubtada’ wal Khabar fi Ayyami al-Arab wal Ajami wal Barbar wan ’asharahum min dwawil sulthani al-Akbar.

Entah ada yang berkaitan atau tidak, Kota Mosul di Iraq Utara saat ini memang menjadi ’’ibu kota’’ negara teror ISIS. Dan kebetulan, Abu Bakar al-Baghdadi, sang khalifah ISIS, juga berasal dari wilayah tersebut.

Namun, tentu terlalu gegabah untuk menyatakan bahwa kelompok ISIS yang menyebar horor di manamana saat ini memiliki transmisi langsung ke kelompok Khawarij klasik itu karena alasan tersebut.

Kelompok yang sering dikaitkan dengan Khawarij klasik itu justru ’’Khawarij di Aljazair’’, yakni dinasti Rustumiyah(761–909 M) yang terjepit dengan dua dinasti berbeda aliran. Yakni, Idrisiyah yang beraliran Syiah di Maroko (788–974 M) dan Aghlabiyya­h yang Sunni di Tunisia (800–900-an M). Kelompok lain yang dikait-kaitkan adalah sebagian penganut Ibadhiyah di Oman, kendati yang ini dikenal telah moderat.

Namun, dari sisi perilaku, kelompok Khawarij klasik itu memang sangat dekat dengan kelompok ISIS sekarang ini. Sumber-sumber sejarah klasik menyebutka­n, mereka adalah orang yang sangat keras dan kasar. Mereka mengafirka­n semua orang di luar kelompokny­a.

Bahkan, Imam Ali pun mereka kafirkan. Kata mereka, la hukma illa lillah, tak ada hukum kecuali milik Allah. Sementara itu, Imam Ali bertahkim kepada manusia dalam perselisih­annya dengan Muawiyah karena itu Imam Ali harus dikafirkan dan diperangi.

Dari karakter itu, kelompok ISIS yang menebar teror saat ini memiliki kemiripan dengan Khawarij yang pernah berkembang pada masa Imam Ali. Namun, tampaknya, kelompok ISIS jauh lebih keji dalam melakukan tindakan-tindakan biadabnya.

Jika Khawarij klasik bersikap demikian karena picik dalam pandangan keagamaann­ya dan tak terdidik, ISIS rupanya memiliki latar belakang yang lebih kompleks sesuai dengan kompleksit­as zaman ini.

Kelompok itu, tampaknya, masih menjadi sumber ancaman yang paling dikhawatir­kan pada 2016. Bukan hanya oleh masyarakat Timur Tengah, tetapi juga dunia pada umumnya. (*)

*Pemerhati Timur Tengah dan Dunia Islam, Koordinato­r S-2 dan S-3 Kajian Timur Tengah Pascasarja­na UIN Sunan Kalijaga, Jogjakarta.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia