Petahana Bisa Perang dengan Parlemen
Partai Pendukung Tidak Mayoritas
JAKARTA – Kemenangan calon petahana di 96 daerah pada pilkada serentak 2015 bisa memantik masalah baru. Mereka berpotensi bersitegang dengan DPRD. Terutama mereka yang diusung partai atau gabungan partai yang bukan mayoritas di DPRD. Padahal, kekuatan lobi eksekutif harus kuat untuk menghadapi parlemen.
Berdasar indeks ENPP ( the effective number of parliamentary parties), sejumlah daerah memiliki potensi pertentangan dengan parlemen. Khususnya di daerah yang nilai indeksnya tinggi. Sebab, kebanyakan koalisi yang dibangun petahana bukan pemilik kursi mayoritas di parlemen.
Peneliti Perludem Fadli Ramadhanil menuturkan, koalisi minimalis para petahana menyulitkan mereka untuk mengambil keputusan. Kebijakan-kebijakan pemerintah daerah yang memerlukan anggaran harus mendapat dukungan DPRD. Namun, di sisi lain, partai yang mendukung sang petahana tidak mayoritas.
Contohnya adalah Zumi Zola di Jambi dan Tri Rismaharini di Surabaya. Dua daerah itu mencatat indeks ENPP masingmasing 9 dan 7,1. Itu berarti, tingkat fragmentasi politik di daerah tersebut tinggi. ’’Ada banyak partai di luar pendukung yang bisa memengaruhi pengambilan keputusan di DPRD,’’ kata Fadli.
Namun, tidak berarti setiap kebijakan yang diusulkan pemda bakal deadlock di DPRD. ’’Koalisi yang terjadi antarpartai politik di daerah cenderung cair dan sebagian besar terjadi di saat proses pemerintahan sudah berlangsung,’’ ujar Fadli. Apalagi, tidak jarang ada aspek transaksional yang dimanfaatkan ek- sekutif untuk memuluskan kebijakannya di meja dewan.
Politik transaksional itulah yang harus dihindari apabila ingin menciptakan pemerintahan yang efektif. Apabila konsep yang diusung petahana berkualitas dan ada iktikad baik untuk melaksanakan program yang dijanjikan, bukan tidak mungkin peta dukungan di parlemen akan berubah.
Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini menuturkan, terpilihnya petahana bisa dikatakan sebagai bentuk kepercayaan masyarakat. Dari 144 daerah yang pilkadanya diikuti petahana, 96 paslon memenangi kompetisi.
Dari 96 pemenang itu, 21 paslon merupakan duet tetap periode sebelumnya.
’’Secara sederhana, dapat diartikan bahwa pemilih masih menghendaki kepala daerah tersebut untuk kembali memimpin daerahnya,’’ ujar Titi.
Pertanyaannya, apakah kehendak pemilih itu merupakan hasil kinerja di periode sebelumnya atau sebatas efek daya pikat strategi pemenangan petahana saat kampanye? Apabila keterpilihan itu memang hasil kinerja, berarti pemilih sukses memberikan reward and punishment kepada para petahana. (byu/c10/ca)