Usul Pisahkan Pengadil dan Pemutus Perkara
JAKARTA – Persidangan Setya Novanto memberikan banyak ’’pelajaran’’. Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Jimly Asshiddiqie sebagai salah seorang pionir perubahan badan kehormatan menjadi Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) angkat bicara.
Menurut dia, cara kerja MKD dalam mengadili dugaan pelanggaran etik anggota dewan cenderung tidak sehat. Sebab, seluruh anggota MKD yang berjumlah 17 orang menjadi hakim.
Jimly mengingatkan, iklim di MKD tetap politis. Idealnya, penegak etik harus dibagi dua. Sebaiknya, 17 anggota MKD tidak menjadi hakim, tetapi cukup menjadi juri. ’’Dia tidak boleh ngomong. Hanya boleh mendengar, lalu menilai bersalah atau tidak,’’ katanya di Jakarta kemarin (24/12).
Lantas, siapa yang menjadi hakim? Menurut Jimly, ide MKD membuat panel bisa menjadi jalan keluar. Panel tidak perlu dibuat pada saat akhir, melainkan sejak awal. Panel itulah majelis hakim yang bertugas memeriksa fakta dan bukti. ’’Anggota MKD menjadi juri saja yang memutus bersalah atau tidak,’’ lanjut mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut.
Apabila 17 anggota MKD yang bertindak sebagai juri memutus seorang anggota dewan bersalah, nanti hakim menentukan sanksinya. Dengan sistem semacam itu, sidang MKD akan berjalan lebih sehat. Fakta dan bukti bisa diperiksa dengan lebih objektif. Sebab, panel yang dibentuk MKD melibatkan pihak luar. ’’Putusan tetap di tangan MKD setelah mendengar dan mengikuti sidang,’’ tegas Jimly.
Kondisi MKD saat mengadili Setya Novanto, lanjut dia, cenderung tidak sehat. MKD bertanya dan memeriksa saksi, lalu MKD pula yang memutuskan. ’’Suasananya jadi kayak pansus,’’ tuturnya.
Saat ini tim panel baru dibentuk bila MKD dipastikan menangani kasus pelanggaran kode etik yang bersifat berat dan berdampak pada sanksi pemberhentian. (byu/c5/pri)