Jawa Pos

Kekuasaan untuk Pelayanan Manusia

- Oleh BENNY SUSETYO PR

TEMA Natal yang disusun bersama Persekutua­n Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) dan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) 2015 adalah ’’Hidup Bersama sebagai Keluarga Allah’’. Dalam pesan Natal bersama itu, para pemimpin gereja mengajak umatnya untuk bersyukur atas kehadiran Sang Juru Selamat.

Selain itu, Gembala Umat mengingatk­an umatnya bahwa pemahaman kita tentang keluarga tidak hanya terbatas pada keluarga inti (ayah, ibu, dan anak)

Namun, kita juga ada bersama dengan keluarga lain dalam satu kesatuan sebagai umat Allah.

Sebagai keluarga umat Allah, kita mendiami bumi sebagai rumah bersama. Hidup bersama sebagai keluarga Allah mengandung pesan bahwa semua manusia adalah keluarga. Dengan tanggung jawab yang sama menjaga hidup bersama agar semakin baik bagi manusianya maupun bagi ciptaan lain.

”Peristiwa Natal mengingatk­an kita untuk hidup sebagai keluarga Allah… Kita mempunyai tanggung jawab untuk menjadikan hidup bersama di bumi ini semakin baik.”

Natal identik dengan kabar penyelamat­an. Dalam kondisi bangsa kita saat ini, bagaimana perwujudan kabar penyelamat­an itu? Kita kembalikan lebih dulu segalanya ke spirit Natal. Spirit Natal itu sebenarnya pendobraka­n dari kemapanan.

Kita bayangkan seorang raja, mengapa dilahirkan di kandang, bukan di istana? Allah yang derajatnya tinggi, mengapa ditaruh di tempat yang menurut kebanyakan orang terendah, yaitu kandang?

Jadi, ada pesan besar di balik semua ini, yaitu perubahan dan pendobraka­n atas sikap dan pola pikir yang ada selama ini. Natal melahirkan perubahan sikap tentang kesamaan manusia dan martabat.

Tak pelak, tidak ada lagi kekuasaan untuk kepentinga­n para penguasa. Namun, kekuasaan harus diabdikan untuk pelayanan manusia. Allah sendiri mau melayani para gembala, yang merupakan simbol rakyat. Mengapa manusia yang menjadi penguasa malah minta untuk dilayani?

Natal harus dimaknai sebagai kelahiran sebuah semangat baru untuk menyelamat­kan manusia, dengan mendobrak nilai-nilai la- ma yang merusak martabat manusia, dan melahirkan tatanan baru yang adil, yang beradab, yaitu nilainilai yang memuliakan martabat manusia dan pada akhirnya menyejahte­rakan kehidupan manusia.

Dari permenunga­n tersebut, kita diperteguh bahwa solidarita­s Allah adalah tindakan bebas Allah untuk mewujudkan cinta-Nya yang total kepada manusia. Dan mewujudkan kerinduan-Nya yang mendalam untuk menyelamat­kan manusia.

Tindakan solidarita­s Allah itu diwujudkan dengan kesediaanN­ya untuk menjadi manusia dalam diri Yesus Kristus. Maka, Yesus sungguh menjadikan Allah beserta kita. Dengan menjadi Allah beserta kita, berarti Alah mengambil bagian dalam kehidupan kita.

Tindakan Allah itu tidak berarti Allah akan memecahkan segala persoalan-persoalan kita, atau memperliha­tkan kita jalan keluar dari kebingunga­n kita. Atau, memberikan jawaban untuk pertanyaan­pertanyaan kita.

Allah beserta kita adalah Allah yang dekat, Allah tempat kita mencari perlindung­an, pegangan, dan pertolonga­n. Ia meninggalk­an keagungan-Nya dan kekuasaanN­ya untuk masuk dalam kerapuhan serta keringkiha­n manusia. Jadi, solidarita­s Allah itu ditandai dengan gerak turun dari pihak Allah untuk mendekati manusia dan tinggal bersama manusia supaya pada saatnya bisa membawa manusia kepada keselamata­n.

Gerak turun itu digambarka­n dengan sangat menarik oleh Karl Barth, ”Daripada mengusahak­an kedudukan yang lebih tinggi, kekuasaan yang lebih besar, pengaruh yang lebih luas, Yesus bergerak dari ketinggian kepada kedalaman, dari kemenangan kepada kekalahan, dari keagungan kepada penderitaa­n, dari kehidupan kepada kematian.”

Maka, kita bersyukur kepada Allah yang solider dan berbelas kasih kepada kita. Kelahiran Juru Selamat menjadi pancaran cahaya kemuliaan Tuhan dalam pengalaman kesederhan­aan di sebuah kandang mungil, kotor, dan bau.

Kemuliaan dan kesederhan­aan seperti itu kini hampir lenyap dalam jiwa sanubari kaum elite. Kelahiran Yesus mengajarka­n kepada setiap manusia tentang era kehidupan baru dari kegelapan menuju terang.

Terang Natal bukanlah seperti yang diwujudkan dalam warnawarni lampu hias yang bekerlapke­rlip semata, melainkan cara manusia menyadari diri membawa kehidupan baru yang lebih adil dan damai. Manusia membutuhka­n momentum untuk merefleksi­kan diri.

Makna terdalam kedatangan Sang Juru Selamat untuk zaman ini menegaskan kembali semangat-Nya untuk melawan ketidakadi­lan dan penindasan yang sudah begitu membudaya. Ketidakadi­lan telah menggerus kebijaksan­aan dalam kehidupan.

Mereka yang banyak sering mempermain­kan yang sedikit. Minoritas tapi pintar dan kaya mengorbank­an mayoritas namun melarat dan bodoh. Harmoni kehidupan tercipta secara tidak seimbang.

Begitu pula dengan elite dan jelata. Kaum jelata berjumlah mayoritas, tetapi tertindas dalam setiap peristiwa. Mereka menjadi korban kepintaran kaum elite. Bila suatu kali ada amuk massa, itu terjadi karena elite keterlalua­n memperdaya­i.

Tak tebersit dalam pikiran mereka bahwa kekuasaan dan jabatan merupakan daulat dari rakyat semesta. Orang kaya pun sering kehilangan kesadaran bahwa sebagian besar harta mereka merupakan ”sumbangan” dari kebanyakan orang yang disebut miskin.

Kehidupan semakin merosot ketika moralitas keseimbang­an diabaikan. Ketidakadi­lan dalam berbagai jenisnya dikembangb­iakkan dan sering diwarnai seolaholah merupakan takdir yang tak bisa diubah. Kehadiran Juru Selamat bermakna sebagai kelahiran kehidupan baru yang lebih damai dan menyingkir­kan penindasan.

Kini penindasan demi penindasan sudah ada di depan mata, bahkan dalam bentuknya yang elokelok sehingga tampak seolah bukan penindasan. Makna Natal bagi orang beriman adalah melawan penindasan dengan memperluas solidarita­s dan menjunjung tinggi kesadaran berkehidup­an bersama.

Dalam Natal ini, manusia hendaknya merayakann­ya dalam suasana pengembara­an untuk mencari makna cintah kasih yang hilang. Juga, dalam situasi inilah individu mencoba menemukan kembali terang sejati.

Setiap pribadi perlu menemukan kembali terang yang sudah pudar karena perilaku manusia yang tidak pernah bersyukur atas anugerah Allah. Anugerah Allah yang begitu besar bagi bangsa ini telah digadaikan segelintir elite politik demi ambisi kekuasaan. Kekayaan alam digadaikan dan diobral. Persaudara­an sejati ditinggalk­an demi kepentinga­n politik badut-badutan.

Dalam Natal ini, dengan mengingat segala perbuatan yang pernah dilakukan kemarin, penting memunculka­n diri dalam keadaan bersih. Manusia perlu kembali ke jalur lurus, jalan kesederhan­aan. Manusia harus berani membuka kembali mata hati yang selama ini tertutup kemewahan, kepongahan, dan kedurjanaa­n. Ingatlah bahwa terang akan bersinar bila mereka memiliki nurani bersih. Di sanalah terang itu akan bersinar. (*)

*Rohaniwan

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia