Tata Ulang Ribuan Perda
Kemendagri Didorong Intensif Dampingi Daerah
JAKARTA – Kementerian Dalam Negeri berencana membatalkan ratusan peraturan daerah (perda) yang dinilai bermasalah. Langkah tersebut mendapatkan apresiasi. Namun, Kemendagri diminta juga menyediakan solusi. Yakni, pendampingan bagi tim hukum di daerah agar tidak salah lagi dalam membuat peraturan.
Saat ini, Kemendagri sedang memelototi seluruh peraturan maupun surat edaran yang telah dibuat pemda selama 15 tahun terakhir. Sebab, cukup banyak perda yang bertabrakan dengan aturan di atasnya sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum.
Hasil evaluasi sementara, ditemukan 1.501 perda bermasalah dalam kurun waktu 2010– 2014. Tolok ukurnya, perda tersebut bertentangan dengan ketentuan perundangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, atau kesusilaan. ’’Termasuk di dalam kepentingan umum itu adalah diskriminasi terhadap suku, agama dan kepercayaan, ras, antargolongan, serta gender,’’ terang Mendagri Tjahjo Kumolo kemarin (25/12).
Bahkan, pada tiga bulan pertama masa pemerintahan Presiden Jokowi, ditemukan 100 perda yang dinyatakan bermasalah. Perda-perda tersebut sudah diklarifikasi Kemendagri ke tiap-tiap daerah dan bakal diputuskan dibatalkan atau direvisi.
Sebagai contoh, tahun ini Kemendagri sudah membatalkan sejumlah ketentuan dalam perda Provinsi Jabar mengenai penyelenggaraan ketenagakerjaan. Kemudian, pembatalan peraturan gubernur (pergub) Kalimantan Selatan mengenai hibah dan bantuan sosial.
Tjahjo menjelaskan, ada beberapa penyebab timbulnya perda-perda bermasalah atau ’’mengalami disharmoni’’. Di antaranya, perda dibentuk dalam kurun waktu berbeda, sehingga pejabat yang membentuk peraturannya pun berganti-ganti karena masa jabatan ataupun mutasi.
’’Penyebab lainnya, pendekatan sektoral lebih kuat dibandingkan pendekatan sistem,’’ lanjut mantan Sekjen PDIP tersebut. Pem-
Provinsi
Kabupaten
Kota
Total: 407
Provinsi
Kabupaten
Kota
Total: 351
Provinsi
Kabupaten bentukan aturan yang melibatkan banyak instansi, lanjut dia, sering kali lemah dalam hal koordinasi. Selain itu, metode baku yang mampu mengikat lembaga pembuat regulasi di daerah memang belum mantap.
Akibatnya, aturan yang dibuat menjadi sulit dilaksanakan. Saat hendak dilaksanakan, muncul perbedaan penafsiran. Aturan yang disharmoni itu juga bisa menimbulkan ketidakpastian hukum karena bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi. ’’Sebuah perda harus sejalan dengan aturan yang lebih tinggi, tidak boleh bertentangan,’’ tegasnya.
Direktur Eksekutif Komite Pelaksana Pemantau Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jeweng mengapresiasi langkah Kemendagri tersebut. Menurut dia, sudah seharusnya perda-perda yang bermasalah itu dibatalkan. Daerah tidak bisa semaunya membuat aturan dengan mengatasnamakan otonomi daerah.
Dia mengakui, pembatalan perda itu memang akan sangat merugikan daerah. Sebab, proses pembuatan perda memerlukan waktu dan biaya yang besar. ’’Dalam hitungan kasar, biaya pembuatan tiap perda itu bisa ratusan juta rupiah. Apalagi, bila ada studi banding,’’ terangnya. Meski begitu, pem-
Kota
Total: 173
Provinsi
Kabupaten
Kota
Total: 215
Provinsi
Kabupaten
Kota
Total: 355 batalan tersebut tetap diperlukan untuk memberikan pelajaran kepada daerah agar membuat regulasi secara benar sehingga tidak sampai dibatalkan Kemendagri.
Robert menuturkan, pada kenyataannya, memang banyak perda yang merugikan masyarakat dan memberatkan dunia usaha. Dalam kondisi itu, butuh ketegasan dari pusat untuk membatalkan perda tersebut. ’’Tidak bisa kita berharap pada pemda dan DPRD untuk mengubah. Hampir tidak ada itu,’’ lanjutnya. Pemda tentu akan berupaya agar regulasi yang dibuatnya tetap dijalankan.
Namun, dia meminta pemerintah pusat, melalui Kemendagri, tidak lepas tangan setelah membatalkan perda. Kemendagri harus menerjunkan tim untuk membina daerah tersebut agar perda berikutnya tidak lagi bermasalah dan dibatalkan. Idealnya, sebelum dibatalkan, ada penguatan kapasitas bagi tim hukum pemda dalam membuat regulasi.
’’Fasilitasi pembinaan daerah itulah yang saat ini belum banyak dilakukan pemerintah pusat,’’ ucapnya. Apabila hal itu sudah dilakukan, langkah selanjutnya barulah pengawasan yang berujung pada pembatalan perda bermasalah. (byu/c17/pri)