Kebutuhan Perumahan Bersubsidi Masih Tinggi
GRESIK – Dengan upah minimum kabupaten tertinggi di Jawa Timur, sekitar 45 ribu pekerja industri di Kota Giri belum punya tempat tinggal sendiri. Mereka sangat membutuhkan rumah bersubsidi. Sebab, lahan kini semakin sempit.
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Gresik mencatat, kini ada sekitar 90 ribu pekerja di sektor industri manufaktur. Mereka adalah pekerja di level produksi. Upah mereka rata-rata sekitar Rp 3 juta per bulan. Namun, baru separo yang punya rumah sendiri. Yang lain masih mengontrak, indekos, atau menumpang tempat tinggal.
Menurut pengamat properti Koko Wijayanto, masalah perumahan tersebut harus menjadi perhatian pemerintah. Pemerintah dan pengembang perlu duduk bersama. Misalnya, memikirkan dan menyiapkan alternatif lahan untuk perumahan bersubsidi. Sebab, lahan untuk rumah bersubsidi nyaris tidak ada.
’’ Kalaupun ada, sebagian besar ada di kawasan pinggiran. Misalnya, Balongpanggang dan Sidayu,’’ ujar lulusan Universitas Gadjah Mada ( UGM) itu kemarin.
Sebenarnya, lanjut Koko, banyak kalangan lain yang butuh rumah bersubsidi. Bukan hanya kalangan pekerja produksi industri. Tetapi juga pegawai tidak tetap di badan usaha milik negara (BUMN).
Masalahnya ialah menipisnya lahan. Pengusaha properti pun ’’pusing’’ menyiapkan perumahan bersubsidi itu. Lebih- lebih, saat ini banyak pengembang baru yang bermunculan. Perizinan pun dimudahkan. Cukup satu pintu. Pengembang yang bergerak dalam pengadaan rumah bersubsidi mengincar jenis rumah alternatif.
Apa itu? Rumah tipe 30/60. Yaitu, rumah seluas 30 meter persegi yang berdiri di atas lahan seluas 60 meter persegi. Kalangan pekerja pun mulai menggandrungi tipe rumah jenis tersebut.
’’ Rumah minimalis ini menjadi solusi atas menipisnya luas tanah dan tingginya permintaan rumah murah,’’ jelas Koko yang juga direktur utama pengembang PT Nanos itu.
Bukan hanya penyediaan lahan dan rumah. Pengembang pun memikirkan alternatif cara pembayaran. Yakni, menurunkan cicilan uang muka. Misalnya, dari 10 persen menjadi 5 persen.
Koko menuturkan, problem pengusaha properti kian kompleks. Mereka juga terbebani kenaikan harga pasir. ’’ Tahun lalu kami bisa membangun 60 rumah dalam setahun. Tahun ini hanya bisa 40,’’ paparnya.
Koko berharap pemkab lebih aktif bergerak untuk mengatasi kebutuhan rumah bersubsidi dan menipisnya lahan. Yang bisa dilakukan, antara lain, meningkatkan dan menambah infrastruktur di kawasan pinggiran. Termasuk sarana dan trayek angkutan penunjangnya. ’’Itu penting untuk daerah-daerah yang memungkinkan dibangun perumahan,’’ kata Koko. (hen/c15/roz)