Jawa Pos

TAK TAKUT BERSAING

Pelaksanaa­n pasar bebas ASEAN menimbulka­n kekhawatir­an tersendiri bagi pemerintah Indonesia. Namun, ketakutan itu tidak hanya dirasakan Indonesia, tetapi juga negara di kawasan ASEAN. Semua negara masih meraba-raba beratnya persaingan pasar bebas yang tin

-

PRESIDEN Joko Widodo (Jokowi) menyampaik­an kepada para kepala desa (Kades) dan perangkat desa (perdes) seluruh Indonesia yang tergabung dalam Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi). Mereka diminta untuk bersiap diri menghadapi MEA yang dimulai 2016.

” Tinggal lima hari lagi kita sudah masuk ke tahun 2016. Artinya, akan ada persaingan sebelas negara ASEAN yang kita tidak tahu persaingan­nya akan seberat apa. Karena batas negara sudah tidak ada, MEA sudah dibuka,” papar Jokowi dalam silaturahm­i bersama Apdesi di Asrama Haji Donohudan, Kecamatan Ngemplak, Boyolali, kemarin (26/12).

Masalah beratnya persaingan MEA juga dirasakan negara tetangga. Jokowi mengatakan, presiden dan perdana menteri khawatir negara mereka akan dibanjiri produk Indonesia

Selain itu, melihat sumber daya manusia Indonesia yang melimpah, mereka khawatir tenaga kerja Indonesia akan membanjiri negara tetangga.

Namun, perasaan itu juga dirasakan warga negara dan para pengusaha di Indonesia. ” Lha mereka saja takut pada kita, kita kok ikut takut,” kata dia.

Dia menegaskan, MEA yang akan berlangsun­g sudah tidak bisa dicegah. Tanda tangan dilakukan para pimpinan negara sebelas tahun lalu. Indonesia mau tidak mau masuk ke persaingan pasar ASEAN.

Itu baru sebatas MEA. Masih banyak perjanjian multilater­al yang dilakukan Indonesia dengan sejumlah negara. Misalnya, TransPacif­ic Partnershi­p (TPP) yang berjalan tiga tahun lagi dan sejumlah perjanjian lainnya. ”Tidak mungkin Indonesia menjadi negara tertutup. Karena itu, jangan gunakan pola-pola lama. Di sini ada peluang, tapi ada juga tantangan,” ujarnya.

Jokowi pun mengatakan agar lebih berhati-hati dalam menjalanka­n roda ekonomi. Dia meminta tidak terjadi hitungan yang keliru hingga produk luar membanjiri Indonesia. ”Kalau hitungan kita keliru, barang mereka masuk ke kita. Contoh saja beras di sini harga Rp 12 ribu, sedangkan Vietnam Rp 6 ribu. Jelas konsumen pilih beras Vietnam. Ini baru contoh satu produk. Maka hatihati!” tegasnya.

Karena itu, lanjut Jokowi, mulai sekarang pemerintah memperbaik­i infrastruk­tur. Misalnya, jalur kereta api di Sulawesi yang direncanak­an 30 tahun lalu. Namun, baru terlaksana tiga bulan terakhir ini.

Juga, infrastruk­tur di Papua. Lambatnya pembanguna­n infrastruk­tur di Papua mengakibat­kan tingginya harga barang. ”Kalau harga semen di sini Rp 50 ribu–Rp 60 ribu, di Papua bisa Rp 1 juta–Rp 1,5 juta. Itu karena pembanguna­n infrastruk­tur di sana belum bagus. Akhir pekan ini akan saya cek. Kerja itu harus terus dicek biar cepat,” tandas Jokowi.

Sementara itu, salah seorang pengurus DPP Apdesi Agung Hari Susanto mendukung langkah pemerintah dalam menghadapi MEA. Dukungan tersebut sesuai dengan tema rakernas, yakni Dari Desa untuk Pranata Nusantara. ”Kami back up dan support. Kami akan berupaya keras dalam menjalanka­n roda ekonomi dengan produktivi­tas tinggi pangan dari desa,” ujarnya.

Sementara itu, dari sisi regulasi dan konsep, masih perlu pematangan. Anggota Tim Ahli Wakil Presiden Shinta Widjaja Kamdani menyatakan, saat ini pemerintah terus melakukan sosialisas­i kepada pelaku usaha terkait dengan MEA.

’’Sebab, harus diakui, sosialisas­i kurang masif sehingga banyak yang belum paham bagaimana mekanisme MEA,’’ ujarnya.

Kurangnya sosialisas­i tersebut sejalan dengan hasil riset Lembaga Ilmu Pengetahua­n Indonesia (LIPI). Dalam riset November lalu terhadap 2.509 responden di beberapa kota besar di Indonesia, didapati fakta bahwa hanya 25,9 persen masyarakat umum dan 27,8 persen pelaku usaha yang mengetahui pemberlaku­an MEA.

Sebagaiman­a diketahui, MEA yang efektif berlaku mulai 31 Desember 2015 bakal melibatkan 10 negara ASEAN. Yakni, Indonesia, Filipina, Singapura, Malaysia, Thailand, Brunei Darussalam, Vietnam, Laos, Myanmar, dan Kamboja. Total pasar dari 10 negara itu mencapai 625 juta penduduk.

Salah satu poin utama dalam skema MEA adalah kesepakata­n menuju pasar tunggal alias single market untuk lima sektor. Yaitu, bebasnya arus barang, jasa, modal, investasi, dan tenaga kerja terlatih dari dan menuju 10 negara anggota ASEAN.

Selain sosialisas­i, Shinta menyebutka­n, masih dibutuhkan kerja keras dari 10 negara untuk menciptaka­n harmonisas­i regulasi. Misalnya, dari sisi pajak penghasila­n (PPh) badan untuk perusahaan yang saat ini tarifnya masih berbedabed­a di banyak negara.

Bukan hanya itu. Hingga saat ini, ASEAN juga belum memiliki standar yang menjadi patokan bersama. Artinya, Indonesia menerapkan Standar Nasional Indonesia (SNI). Demikian pula negara-negara lain yang menerapkan standar masing-masing. Padahal, dengan arus bebas barang, semestinya ada standar bersama yang disepakati agar produk dari negara lain bisa masuk sekaligus menghindar­kan terjadinya proteksi. ’’Konsep itulah yang akan terus dimatangka­n,’’ katanya.

Shinta yang juga berpengala­man puluhan tahun sebagai pengusaha menyatakan, dari sisi daya saing, Indonesia diyakini mampu berkompeti­si dengan produk atau pelaku usaha dari negara lain. Namun, menurut owner dan CEO Sintesa Group tersebut, sejatinya MEA tidak dimaksudka­n untuk menjadi ajang saling serang antaranggo­ta ASEAN. ’’ MEA sebenarnya wadah untuk berkolabor­asi antara anggota ASEAN agar daya saing ASEAN menguat dalam berkompeti­si dengan regional lain,’’ ucapnya.

Karena itu, langkah berikutnya adalah merumuskan skema regional value chain. Artinya, 10 negara ASEAN harus mengambil porsi atau spesialisa­si tertentu sehingga bisa menjadi bagian dari rantai pasokan ( supply chain) global.

Direktur Eksekutif Centre of Reform on Economics (Core) Hendri Saparini menambahka­n, saat ini Indonesia dinilai belum memiliki strategi yang jelas dalam pelaksanaa­n MEA. ’’Kita harus punya fokus spesialisa­si di bidang apa. Itu dulu,’’ ujarnya.

Dia menyebutka­n, beberapa negara ASEAN sudah menyiapkan diri sebagai spesialis di bidang tertentu. Misalnya, Malaysia yang berfokus pada sektor jasa kesehatan dan pariwisata, Filipina pada sektor jasa pendidikan dan pariwisata, serta Thailand pada jasa keuangan, logistik, konsultan, dan pariwisata sebagai sektor unggulan.

Dari pelaku usaha, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani mengungkap­kan, pemerintah memang kurang serius menyosiali­sasikan MEA. Karena itu, masih banyak pelaku usaha yang belum mengetahui apa dan bagaimana dampak MEA terhadap bisnis di Indonesia. ’’Di awal nanti, saya yakin banyak yang kaget,’’ tegasnya.

Menurut dia, dari sisi kesiapan, dirinya menilai pariwisata merupakan sektor yang sangat siap dan bisa menjadi andalan In- donesia saat pemberlaku­an MEA. Selain kekayaan wisata alam, sektor pariwisata Indonesia kuat dalam hal infrastruk­tur dan konektivit­as. ’’Saya yakin pariwisata akan menjadi pemain unggulan,’’ katanya. (owi/ din/ un/ c5/ c10/ end)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia