Jawa Pos

Berat di Kemampuan Pekerja

-

TEKANAN berat yang dirasakan Indonesia saat keran MEA dibuka akhir tahun ini adalah persaingan tenaga kerja. Publik pun khawatir era tersebut hanya akan merugikan para tenaga kerja Indonesia (TKI).

Ketua Konfederas­i Serikat Pekerja Indo- nesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan, pihaknya terus melihat perkembang­an terkait dengan persiapan dan perjanjian Indonesia dengan negara satu regional. Namun, dia mengaku masih belum menemukan kesimpulan positif dari implementa­si pasar bebas regional.

”Kami dari pihak buruh masih beranggapa­n MEA lebih merugikan daripada menguntung­kan. Dengan kondisi saat ini, Indonesia hanya akan menjadi pasar bagi negara-negara tetangga,” ungkapnya saat dihubungi Jawa Pos kemarin (26/12)

Dia menjelaska­n, saat ini jumlah penduduk yang lebih besar menjadi daya tarik utama Indonesia. Hal tersebut tidak disertai dengan daya saing dari aspek industri. Dengan begitu, para investor lebih tertarik untuk menjadikan Indonesia sebagai wilayah target penjualan daripada basis produksi.

”Sebut saja soal industri otomotif. Jelas, Toyota Thailand lebih siap memproduks­i mobil daripada Toyota Indonesia. Lalu, industri tekstil Vietnam jelas lebih murah daripada di Indonesia,” terangnya.

Ketidaksia­pan tersebut, lanjut dia, berkaitan dengan kondisi ketenagake­rjaan di Indonesia. Saat ini kualitas sumber daya manusia di Indonesia memang masih rendah. Dia mencatat, sekitar 70 persen angkatan kerja Indonesia merupakan lulusan SMP ke bawah. Hal tersebut jelas membuat daya saing tenaga kerja lokal kalah oleh tenaga kerja asing (TKA).

”Ini juga berpengaru­h pada produktivi­tas. Pasalnya, upah buruh di Indonesia masih lebih kecil daripada negara tetangga yang sekelas seperti Malaysia, Filipina, dan Thailand. Padahal, secara prinsip, produktivi­tas tenaga kerja akan meningkat seiring dengan upah yang diterima,” jelasnya.

Semua itu diperparah regulasi yang seakan-akan tidak memihak tenaga kerja lokal. Menurut dia, langkah pemerintah saat ini seakan-akan membiarkan TKA menuju Indonesia. Hal tersebut terlihat dari rencana wajib menguasai bahasa Indonesia bagi TKA yang dihapus.

”Jangankan itu, regulasi eksisting saja tak diimplemen­tasikan dengan baik. Sebelum MEA, TKA sudah menyerbu Indonesia. Kami sendiri sudah melihat nyata orang-orang Tiongkok yang menjadi pekerja unskilled di berbagai daerah. Dari Buleleng, Bali, sampai Pulogadung, Jakarta,” ungkapnya.

Karena itu, dia meminta Kementeria­n Ketenagake­rjaan bisa benar-benar membuktika­n bahwa MEA justru menguntung­kan tenaga kerja Indonesia. Sebagai bukti, dia berharap pemerintah bisa merealisas­ikan beberapa program untuk meningkatk­an kualitas TKI.

”Jangan hanya bilang akan meningkatk­an kualitas dengan balai latihan kerja (BLK) kalau anggaranny­a masih kecil seperti sekarang. Kami harus melihat adanya perubahan dalam kebijakan-kebijakan dan alokasi anggaran dalam waktu dekat,” ungkapnya.

Sementara itu, Wakil Ketua Umum Bidang Tenaga Kerja Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Benny Soetrisno mengatakan, Indonesia memang masih punya beberapa tantangan sehubungan dengan isu ketenagake­rjaan menjelang MEA. Di antaranya, rendahnya kualitas angkatan kerja dan masih banyaknya penganggur.

”Memang sudah ada persiapan dari pemerintah seperti standar kompetensi ASEAN. Namun, kompetensi pekerja di Indonesia masih sangat kurang. Apalagi, tingkat penganggur­an sudah mencapai 7,4 persen,” ungkapnya. (bil/c10/end)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia