Setahun 96 Kasus Intoleransi
Penilaian Kontras tentang HAM
JAKARTA – Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla ( Jokowi-JK) telah berusia lebih dari setahun. Namun, potret kebebasan beragama dinilai masih saja suram. Itulah kesimpulan yang disampaikan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) dalam catatan akhir tahunnya.
Kontras mencatat, sepanjang 2015 ada 96 peristiwa praktik intoleransi dan pembatasan kebebasan beragama. Kejadian terbanyak berlangsung di Jawa Barat (18 peristiwa), DKI Jakarta dan Banten (11), serta Aceh (9). ”Daerah-daerah tersebut menjadi wilayah yang kerap membangun sentimen antitoleransi,” ujar Koordinator Kontras Haris Azhar di Jakarta kemarin (26/12).
Kejadian-kejadian intoleransi kerap diikuti tragedi memilukan. Misalnya kejadian di Tolikara, Papua; dan Aceh Singkil. Haris mengatakan, tindakan tersebut bahkan dipicu kebijakan-kebijakan pembubaran yang dilakukan perangkat daerah. Misalnya yang terjadi di Aceh Singkil: bupati mengeluarkan larangan ibadah Natal di gereja yang beberapa bulan lalu diserang.
”Alih-alih memperbaiki jaminan perlindungan, malah mengeluarkan kebijakan yang meneruskan pengekangan kebebasan beribadah,” ucapnya. Di Tolikara polisi juga tidak bisa mengantisipasi tindakan pelarangan terhadap ibadah yang akan dilakukan umat Islam.
Catatan kelabu kebebasan beragama itu menambah daftar panjang pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi sepanjang 2015. Kontras sendiri setahun ini menerima langsung 62 pengaduan publik atas kasus-kasus yang memiliki dimensi pelanggaran hak-hak sipil dan politik.
Pelanggaran tersebut menyangkut hak atas hidup (termasuk pada isu penyiksaan), pembunuhan kilat tanpa proses hukum, serta penangkapan dan penahanan sewenang-wenang. Salah satu yang cukup memalukan adalah kriminalisasi terhadap 49 aktivis antikorupsi. Ada juga pembubaran pembunuhan secara keji terhadap tokoh yang menolak tambang pasir di Lumajang, Salim Kancil.
Haris mengungkapkan, pada 2015 juga ada kasus yang mengagetkan dunia dan melukai rakyat Indonesia. ” Yakni kasus meninggalnya 12 orang akibat asap yang muncul dari corong bisnis sawit di berbagai provinsi di Sumatera dan Kalimantan. Itu juga bagian dari pelanggaran hak hidup,” tegasnya.
Menurut Haris, pemerintah tak serius dalam menangani perkara tersebut. Untung, hujan datang dan mengatasi situasi asap itu. ”Praktik tadi diperparah dengan bermunculannya aturan, kebijakan, dan rencana-rencana pemerintah yang justru menunjukkan sikap anti-HAM,” paparnya.
Haris mencontohkan ketidakjelasan rencana penyelesaian kasus- kasus pelanggaran HAM masa lalu. Sampai saat ini Presiden Jokowi tidak bersikap dan memberikan arahan yang jelas.( gun/ c9/ end)