Meniup Trompet Kehampaan
BARIS- baris puisi tersebut mengucur deras dari tebing-tebing batin Ahmad Nurullah, di awal sebuah puisinya yang berjudul lan Desember. Dalam baris-baris puisi itu, bisa kausimak sekaligus kaurasakan sendiri betapa gigil kengerian sekaligus gamblang keputusasaan Nurullah pada makhluk bernama waktu, lebih-lebih pada sepenggal momen di dalamnya yang seringkali kausebut tahun baru.
Waktu, seru Nurullah dengan getar batin yang tandas, memang Tapi, pada saat yang sama, ia juga kepedihan. Bukankah dari tahun ke tahun kau masih saja hidup di sebuah negeri yang bermuram durja? Bukankah kemakmuran dan keadilan masih menjadi mimpi malam hari yang entah kapan menjadi kenyataan?
Dan, di bawah atap langit dunia yang sama, tiap saat dapat kausaksikan kepedihan-kepedihan itu: mereka yang tak berdosa mati siasia digempur bom dalam peperangan demi peperangan, mereka yang dijarah tanahnya lalu terusir dari negerinya sendiri, atau mereka yang miskin dan kelaparan, berikut kepedihan-kepedihan kemanusiaan lainnya.
Pada pengujung 2015, dan pada awal 2016 ini, sejarahmu sebagai sebuah bangsa pun masih saja sejarah kepedihan. Hampir tiap hari kausaksikan dengan mata telanjang keculasan demi keculasan terjadi di negeri ini: pejabat yang seharusnya melayani justru beringas dalam mencuri aset-aset negara, perekonomian ambruk, biaya pendidikan mahal, dan konflik terjadi di mana-mana.
Hari-hari ini, kau kembali berada di akhir Desember, bersiap dan berkemas menyongsong Januari. Di bulan Desember ini, tahun yang baru hendak kausambut kembali sebagaimana kaulakukan berulang-ulang. Tapi, untuk apa semua itu kaulakukan? Akhir Desember sekaligus awal Januari hanyalah pengulangan-pengulangan. Tak ada yang baru di tiap tahun: Almanak pun jatuh. Telungkup. Tahun bersalin. Tapi, di antara detik-detik yang gugur, bulanbulan membusuk, hari-hari berkarat, dan jam yang menguning, banyak hal masih lengket –berkecamuk dalam kenangan: Tanah meledak, kota-kota terbakar; AIDS, flu burung, demam berdarah, busung lapar; BBM melonjak, harga-harga menjerat leher, juga laut yang mendadak gila menghancurkan jadwal-jadwal –menculik seluruh isi kota.
Laut yang mendadak gila di atas tentu saja ungkapan simbolis yang tak hanya mengarah pada lautan dalam arti tekstual. Tapi, lebih dari sekadar itu, laut pada baris puisi tersebut dapat dipahami sebagai lautan kemanusiaan yang gila dan porak-poranda oleh debur nafsu keserakahan manusia.
Tiap saat, dengan mudah kausaksikan perang di mana-mana, pembunuhan dan penindasan di mana-mana, serta korupsi di
manamana. Semua itu tentu saja akibat dengus ketamakan yang bercokol jauh di dasar hati sekelompok manusia. Karena ketamakan manusia-manusia itu, bulan-bulan membusuk, hari-hari berkarat, segala yang terjadi pada tahun baru hanya kegilaan dan kepedihan yang terjadi pada tahun sebelumnya. Kepedihan-kepedihan itu berkecamuk dalam kenangan, menjadi teror bagi kemanusiaan.
Pada tahun-tahun sebelumnya, tanah meledak dan kota terbakar, perang terjadi di mana-mana. Dan pada tahun setelahnya, semua itu terulang kembali lengkap dengan AIDS, flu burung, demam berdarah, busung lapar, BBM melonjak, dan tak ketinggalan pula harga-harga yang menjerat leher.
Di negeri ini –juga di negeri mana pun– rakyat tetaplah sebagian orang yang dimiskinkan tidak hanya secara finansial, tapi juga secara mental. Masih segar dalam ingatanmu, menjelang hari raya, orang-orang berdesakdesakan mempertaruhkan nyawa demi mendapatkan sedekah dari si kaya yang nominalnya hanya sekitar Rp 50.000.
Amboi, alangkah betapanya! Tapi, begitulah Nurullah membentangkan cakrawala kesadaran kepadamu tentang waktu dan tahun yang selama ini kau kira baru. Terutama di negerimu ini, di negeri yang tak henti-henti dirundung kepiluan ini, betapa bencana lahir dan bencana batin tak henti-henti memorak-porandakan segala tatanan berbangsa dan bernegara.
Persoalan-persoalan pelik dan rumit di ranah politik, ekonomi, kebudayaan, agama, pendidikan, keadilan, kemakmuran, dan sebagainya menjadi santapan sehari-hari; menjadi mendung kengerian yang mencekam.
Setiap hari, dengan mudah kausaksikan pejabat mencuri, kemakmuran yang tak merata, rupiah babak belur, aset negara dijual, serta agama dan etnis dijadikan dinamit untuk meluluh-lantakkan persaudaraan sebangsa dan setanah-air.
Lalu, apa yang baru dari waktu? Apa yang ingin kaurayakan pada tahun baru? Dengan nada yang lagi-lagi terdengar putus asa, letih dan mungkin lirih, suara dari kedalaman batin Nurullah kembali menggema: Tapi waktu tak peduli. Waktu terus berjalan Mengusung detak-detaknya, diam-diam –menyembunyikan wajahnya di balik paras bulan merekah, atau matahari
Di negeri ini, juga di negeri mana pun, waktu kembali datang dengan dandanannya yang baru, tapi tetap saja dengan tubuh yang lama. Semenor apa pun waktu tiba dengan dandanannya yang baru, akan tetap kaulihat tubuhnya penuh luka, karena waktu adalah siluman yang pandai menyamar. Seruah apa pun kaurayakan pesta untuk menyambut tahun baru, peristiwa di hari-hari dan di bulan-bulannya tetaplah sama dengan tahuntahun sebelumnya: ’’Selamat Tahun Baru,’’ katamu, menyeringai. Selamat tahun baru? Untuk apa?
Sampai di baris ini, Nurullah tentu saja tak hanya bertanya kepadamu, tapi juga kepadaku, atau kepada siapa pun yang merayakan tahun baru. Nurullah mempertanyakan sekaligus mencibir seremonial yang selama kaulakukan pada malam tahun baru.
Betapa segala tetek-bengek seperti trompet, kembang api, lampu warna-warni, berikut pesta-pesta yang kaupersiapkan untuk menyambut tahun baru tak lebih dari sekadar kesia-siaan yang diagung-agungkan. Alangkah semua itu hanyalah centang-perenang dari riuh kekosongan. Seperti waktu, aku pun terus berjalan: gelisah oleh tatapan mata bulan. Gemetar di bawah kerling matahari. Sebab, gara-gara waktu, banyak hal berdesak untuk diingat, dan aku berjuang untuk lupa –sebagai jalan pembebasanku.
Sebagaimana waktu, penyair –juga mungkin kau dan aku– hanya bisa terus berjalan, meski gelisah. Sebab, gara-gara waktu, banyak hal berdesak untuk diingat, banyak duka dan kepiluan yang mendesak untuk diingat. Dan penyair –juga lagi-lagi mungkin kau dan aku, sebaiknya– berjuang untuk lupa, sebagai jalan pembebasan.
Membaca bait-bait puisi Nota Bulan Desember ini, pada buku kumpulan puisi Setelah Hari Keenam ( Cakra Books, 2011) karya Ahmad Nurullah, kau dan aku akan mengamini bahwa betapa perayaan tahun baru hanyalah kesia-siaan belaka. Untuk apa merayakan tahun yang tak jauh berbeda dengan tahun kemarin? Untuk apa menyambut momen yang pada akhirnya hanya serangkaian kepedihan kemanusiaan semata?
Tahun baru ibarat orkestrasi kepiluan yang berkali-kali dipentaskan. Terdengar pesimistis, memang. Tapi, itulah yang selama ini kau dan aku alami di negeri yang berkali-kali dikhianati anak kandungnya sendiri ini. Tahun yang konon baru itu tak perlu dirayakan. Sebab, waktu yang tetaplah sumbu semua sejarah sekaligus ibu segala kepedihan itu terus berjalan, meski kaurayakan atau tidak. Oh, kekasih! Oh, bangsaku! Perayaan tahun baru, pada akhirnya, tak jauh berbeda dengan ledakan kembang api di angkasa: berdentum, menyemburkan pijar-pijar api warna-warni, kemudian lenyap ditelan kekosongan. Dan bila pada malam tahun baru engkau berkonvoi seraya meniup trompet di sepanjang jalan, saat itu, sebenarnya engkau sedang meniup trompet kehampaan. (*)
Penyair, tinggal di Jogjakarta