”Menonton” sebagai Peristiwa Kultural
pada pertemuan begini mesra/tugas kita hanya mengalami/ tanpa berkata-kata/dan membiarkan air liur mengaliri kulit ari/ (ah, betapa sakit cinta menusuk hati)
Subagio Sastrowardoyo
MENGAPA kita harus menonton langsung sebuah pertunjukan? Entah itu teater, konser, seni-tradisi, dll. Sebab, menonton bukan soal abstraksi –semata tentang apa itu seni pertunjukan, manfaatnya, adiluhung atau bukan, dll. Atau tentang produksi; ongkos serta tetek bengek lainnya. Juga tentang situasi pertunjukan, misalnya senitradisi yang riskan.
”Menonton” adalah kata kerja. Dengan demikian, kerja menonton adalah tentang bagaimana mengalaminya. Sebagai pengalaman ia berada dalam wilayah sensorik, gejala tubuh yang teraktualisasi melalui sensasi-sensasi langsung terhadap seluruh indrawi kita berupa gambar, suara, bau-bauan, dst. Pendeknya, menonton adalah pengalaman spesifik tubuh yang terlibat, bukan intervensi pikiran dalam gagasan-gagasan abstrak.
Sebagai gejala kultural, peristiwa menonton memang memiliki fungsi kognitif. Artinya, dalam sebuah bentuk seni pertunjukan terkandung suatu ide dan gagasan; dalam representasinya terjelma dimensi simbolis atau makna.
Pertunjukan sendiri hampir mustahil dapat dipersepsi tanpa dikonsepsikan terlebih dulu. Namun, pertunjukan juga memiliki fungsi afektif. Sayangnya, fungsi ini sering kali diabaikan, baik oleh kritikus bahkan oleh penikmatnya sendiri.
Tulisan-tulisan mengenai seni pertunjukan (utamanya tentang seni tradisi) telah jamak diketengahkan. Dari pembahasan yang ada ke- banyakan fokusnya mengekspos aspek pertama, seni sebagai abstraksi ( bentuk, struktur, fungsi, dst). Pun ketika membicarakan ”seni sebagai pengalaman”, seni yang dimaksudkan adalah seni dalam dimensi diskursifnya. Sedangkan seni sebagai suatu peristiwa konkret seperti diabaikan.
Apa yang dimaksud dengan pengalaman seni (pertunjukan) sebagai peristiwa konkret? Adalah kesenian sebagai lived-experience. Terma ”lived” di sini penulis pinjam dari Lefebvre yang menggagas teori ”produksi ruang” sosial, mengacu pada gejala otentik dari pengalaman. Sebagai suatu pengalaman, kesenian di sini milik mereka para penampil dan penonton yang terlibat dan terhubung dalam pertunjukan secara aktual. Dalam ihwal menonton, pengalaman di sini merupakan hak prerogatif penonton.
Mengalami adalah wilayah tubuh. Keterlibatan tubuh secara langsung menjadi sesuatu yang esensial dan dominan. Pengalaman personal (penonton) selalu unik, otentik, subjektif, baru, dan senantiasa berubah. Sensasi itu hadir dan hanya dimungkinkan dengan mengalami sendiri secara langsung. Oleh sebab itu, pengalaman menonton langsung sebuah pertunjukan tidak dapat ditukar atau digantikan.
Goenawan Mohamad (GM), misalnya, pernah menuliskan pengalamannya menonton pertunjukan teater Caligula (lih. Menonton Caligula, Atau Optimisme dengan Kepahitan). Namun, pengalaman GM itu tidak bisa membatasi pengalaman-pengalaman penonton yang lain, termasuk interpretasi terhadap pertunjukan yang sama. Tulisan tersebut juga tidak bisa menggambarkan secara presisi terkait sensasi pengalaman menonton Caligula secara langsung. Tulisan tidak lebih sebuah representasi. Tidak aktual. Bahkan, pengalaman pasca mengalami rentan dibumbui beban pikiran, terkadang oleh pikiran-pikiran yang tidak berhubungan sama sekali dengan pertunjukan.
Pengalaman menonton juga berhubungan dengan gagasan mengenai momen. Gagasan ini dalam pengertian Lefebvre berkenaan dengan (konsepsi) waktu yang spesifik ( limited dan partial). Dalam peristiwa menonton, momen adalah pengalaman tubuh dalam dimensi temporalnya. Lefebvre meyakini bahwa di dalam waktu ( time) terkandung aspek involution (kerumitan). Involution di sini bisa diartikan distorsi-distorsi yang senantiasa mengetam sensorik tubuh (pancaindra) terhadap atmosfer atau suasana selama proses pertunjukan berlangsung. Dalam momen mengalami (baca: menonton), tubuh hadir secara intensif dan aktual melalui sensasi-sensasi yang dirasakannya.
Namun, kata Lefebvre, ”moment has a certain specific duration.” Sehingga dalam momen mengalami dituntut adanya konsentrasi, tawaduk atau penyerahan absolut terhadap peristiwa-peristiwa selama menonton. Oleh sebab itu, sangat disayangkan bila dalam suatu momen menonton pertunjukan kita justru menyibukkan diri dengan merekam atau memotretnya, membagi the modality of presence tubuh kita untuk masa depan yang segera menjadi masa silam. Benar dalam rekaman itu kita sempat hadir dalam peristiwa aktual. Namun, kita juga telah melewatkan kesempatan untuk memanjakan tubuh kita secara utuh dan penuh terkait sensasi-sensasi hidup dan dramatik dalam proses menonton.
Merekam atau memotret tak lebih membekukan masa kini yang ditakutkan segera menjadi masa silam. Memang dalam rekaman kita memiliki dokumentasi yang baik. Melalui rekaman kita bisa mengulang-ulang momen spesial di kemudian hari. Sayangnya, menonton rekaman tidak akan sama sensasinya jika dibandingkan dengan menonton pertunjukan secara langsung. Bagaimanapun, perekam hanya mampu mendokumentasikan gambar dan suara. Ia belum mampu mengabadikan bau-bauan, hawa, atmosfer, atau suasana yang otentik selama mo- men menonton.
Alat perekam adalah medium. Memercayai dokumen sebagai modalitas kehadiran sama dengan menolak keterlibatan tubuh secara penuh dan utuh dalam momentum menonton. Memercayai gambar-gambar (foto) mengisyaratkan kita tidak lagi percaya atas kemampuan otak kita untuk mengingat masa lalu. Kita lebih memilih menjadi manusia yang mekanik daripada yang organik.
Mungkin atas kesadaran itu Frau, misalnya, dalam konser bertajuk Tentang Rasa di TB Yogyakarta beberapa waktu lalu membatasi jumlah penontonnya. Sedangkan Silampukau, band indie asal Surabaya, kala melakukan road show memilih tempat sempit dan panas seperti ruang sauna di Kedai Café di bilangan Tirtodipuran, Yogyakarta. Dalam jumlah penonton yang sedikit, keduanya masih memercayai otentisitas pengalaman sebuah pertunjukan. Mereka memilih mengoptimalkan pengalaman, keterlibatan tubuh dari dua arah, antara penampil dan penontonnya.
Pertunjukan, seperti kata Frau, adalah ” Tentang Rasa”. Pertunjukan sendiri adalah tentang bagaimana menikmati sensasi yang dirasakan penampil dan penonton. Dalam hal itu Frau dan Silampukau masih memercayai pengalaman otentik pertunjukan tidak akan pernah habis potensinya meskipun telah dianalisis secara teoretikal atau direkam secara mekanikal. Bagaimanapun, kita selaku penonton juga harus percaya bahwa tetap ada surplus atau kebocoran; sebuah residu yang bernilai dan dapat ditangkap dari pengalaman menonton sebuah pertunjukan secara langsung. (*) Tengah belajar ilmu sastra di Pascasarjana UGM Jogjakarta, alumnus Unair Surabaya (2009) dan Ponpes Darul Ulum Pamekasan,
Madura (2004). Sementara ini tinggal di Jl Gadung 49D, Condong Catur, Depok,
Sleman, YK 55281