Pengarang dan Media Sosial
PENGARANG Sudah Mati atau Matinya Pengarang ( The Death of Author). Gagasan yang pertama dilontarkan Roland Barthes pada 1968 itu kemudian menjadi sangat populer di kalangan penulis, khususnya, dan juga di kalangan para pemerhati kebudayaan pada umumnya. Tidak terkecuali di Indonesia.
Meskipun sangat populer dan terdengar sederhana, gagasan itu kemudian sangat sering disalahpahami. Kesalahpahaman yang sangat lazim terjadi adalah anggapan bahwa pengarang sudah mati karena kita (para pembaca) tidak lagi dapat mengakses/menemuinya untuk bertanya tentang berbagai hal menyangkut karya yang telah ditulisnya. Teknologi cetak dan reproduksi mekanis telah membuat sebuah karya bersebar begitu luas hingga membuat jarak antara penulis dan pembaca semakin lebar/jauh. Kadang jaraknya bukan hanya kota, melainkan negara atau bahkan benua.
Dengan demikian, sangat sulit atau bahkan mustahil bagi para pembaca untuk bertatap muka langsung dengan sang pengarang dan bercakap-cakap atau bertanya kepadanya tentang hal seputar makna/penafsiran terhadap karya yang telah ditulisnya. Karena kemustahilan untuk bertemu dan bertanya langsung kepada sang pengarang tentang apa makna/penafsiran yang ’’tepat’’ atas karyanya, para pembaca memiliki kebebasan yang sangat luas –bahkan bisa dibilang sepenuhnya– untuk menafsirkan sendiri makna karya/teks yang dibacanya.
Namun, –dan ini adalah bagian lebih jauh dari kesalahpahaman itu– era internet dengan social media- nya ( Facebook dan kemudian Twitter) dianggap telah mengubah itu semua: kini para pembaca punya sarana baru untuk berhubungan langsung dengan sang pengarang.
Ya, internet dengan media sosialnya dianggap telah memberikan kemungkinan baru kepada pembaca untuk mendapatkan akses langsung ke pengarang yang sebelumnya praktis tertutup karena persoalan ruang/jarak.
Dengan kata lain, dunia yang telah menjadi semacam global village berkat adanya internet dianggap telah membangkitkan lagi sang pengarang dari kuburnya. Seperti Yesus yang membangkitkan Lazarus, internet umum dianggap telah menghidupkan lagi pengarang yang sebelumnya mati.
Pemahaman semacam itu jelas suatu penyederhanaan atau kesalahpahaman terhadap salah satu konsep kunci kaum yang begitu berpengaruh dalam kritik sastra dewasa ini. Dalam pemahaman itu, tersirat anggapan bahwa sebenarnya pengarang masih merupakan sosok sentral dalam tindak penafsiran karya.
Kebebasan atau keleluasaan pembaca dalam menafsirkan suatu karya hanya muncul karena ketidakhadiran pengarang. Jika pengarang bisa menghadirkan diri lagi, meski ’’hanya’’ lewat dunia maya, yakni internet, praktik kebebasan atau keleluasaan pembaca dalam menafsirkan suatu karya bisa dibilang pupus.
Apa yang luput dari pemahaman tentang matinya pengarang seperti yang telah diuraikan itu adalah penekanan kepada karya (teks) itu sendiri. Ketika Barthes –yang kemudian dikembangkan oleh para pemikir yang lain– menyatakan bahwa ’’lahirnya pembaca harus dengan mengorbankan matinya pengarang’’ (Barthes, 1977a: 148), apa yang dia maksudkan itu bahwa praktik menafsirkan sebuah teks/karya (yakni tindak pembacaan) hanya mungkin dilakukan dengan bebas jika tidak ada lagi otoritas pusat. Alias otoritas yang mengklaim sebagai suara tunggal yang menentukan salah-benarnya suatu tafsiran.
Penekanan kepada teks itu juga berarti bahwa, ketika sebuah karya selesai ditulis dan sang pengarang memutuskan untuk menerbitkannya, saat itulah dia ’’mati’’. Posisinya segera berubah menjadi pembaca, yang hasil pembacaannya tidak otomatis lebih sahih jika dibandingkan dengan pembaca-pembaca yang lain.
Ada sebuah parabel yang dengan cukup jitu memperlihatkan posisi ini: tersebutlah dua ahli tafsir yang berdebat sengit tentang makna/penafsiran atas suatu bagian dari kitab suci.
Perdebatan itu terjadi begitu lama, bahkan hingga keduanya meninggal dunia. Ketika sudah berada di surga, perdebatan mereka ternyata tidak kunjung usai. Melihat hal itu, Tuhan, sebagai sosok penulis kitab suci, ikut campur dengan mengemukakan makna ’’sebenarnya’’ dari bagian kitab suci itu.
Namun, kedua ahli tafsir itu menyangkal dengan mengatakan bahwa bagian dari kitab suci itu sangat mungkin ditafsirkan dengan tafsiran yang mereka miliki. Mereka pun melanjutkan pedebatan itu lagi.
Apa yang tersirat dari parabel itu bahwa dalam hal pembacaan sebuah teks (dalam hal ini kitab suci), Tuhan pun diposisikan sebagai salah satu pembaca. Tidak ada otoritas mutlak dalam menafsirkan sebuah teks. Sebab, setiap orang dengan pengalaman dan pengetahuannya bisa leluasa mengemukakan tafsiran pribadinya berdasar teks itu sendiri.
There is nothing outside of the text, kata Derrida. Tidak ada apa pun di luar teks. Segala pendapat atau pandangan yang dikemukakan di luar teks itu sendiri berarti tafsiran/pembacaan, termasuk dari figur yang sebelumnya dianggap sebagai pengarang teks itu sendiri.
Demikianlah, berkat kaum , kita tahu bahwa pengarang memang sudah mati dan mustahil untuk hidup kembali. Media sosial, Facebook dan Twitter, memang dapat menghadirkan mereka lagi, namun posisinya sudah bukan lagi pengarang.
Ia/dia hanyalah salah satu pembaca, sebagaimana kita. Sebagai pembaca, pendapatnya tentu saja tidak harus kita jadikan satu-satunya patokan dalam pembacaan.
Kematian pengarang itu tentu saja sebuah berkah. Sebab, dengan demikian, kita para pembaca jadi memiliki kebebasan penuh untuk memaknai dan menafsirkan sebuah karya sesuai dengan pengetahuan dan pengalaman kita sendiri. Demikianlah, pengarang mati dan pembaca lahir. (*)
Penulis cerpen, puisi, esai, dan penerjemahkan buku. Buku kumpulan cerpennya, Matinya Seorang Atheis (Koekoesan, 2011); kumpulan puisi terbarunya berjudul Seperti Mencintaimu
(Q Publisher, 2014).