Jawa Pos

Usia Pohon Natal

- Oleh JOSHUA IVAN WINALDY SIMANUNGKA­LIT

ami tidak menghitung usianya karena takut kehilangan­nya.

Rasa-rasanya kami menikmati Natal selama tiga belas tahun dengan konfrontas­i hati, pikiran, dan suasana sekitar kami. Kapan kedamaian kan membawa kita, terutama bangsa ini? Tak dipungkiri, kami memang bukan keluarga berbasis angkatan militer atau bersenjata. Tetapi kami selalu merasakan juga apa yang negara ini rasakan. Apakah terlalu naif?

Kami rasa tidak, banyak sekali orangorang di sekitar kami berasal dari angkatan militer, bersenjata, dan negarawan. Sunguh-sungguh pahlawan! Natal ini serasa untuk mereka, untuk mendamaika­n jiwa-jiwa yang telah berkorban. Kami pula, kami ingin Natal dan pohon Natal kami yang berusia tiga belas tahun ini mampu membawa kami menuju arti sebuah keluarga. Kami dewasa, kami tumbuh dan berkembang, kami siap menghadapi tantangan apa pun itu.

Tetapi benarkah? Aku masih mencurigai si sulung dan si bungsu yang telah dewasa. Waktu memihak keluarga dan pohon natalnya untuk sukses, berhasil, dan kaya, melimpah harta singkatnya. Yakinkan kalian?

*** Usia 23 tahun. Solo, 25 Desember 1988.

Kami memutuskan untuk merayakan Natal tahun ini di berbeda tempat: ada yang sebagian di Sleman dan bagian lainnya menyebar rata, baik di Jakarta, Salatiga, Makassar, dan Solo. Kami merasa baik-baik saja, kami tak terlalu memusingka­n hal yang sederhana, Natal tetaplah Natal.

Sayangnya, kehadiran di Sleman tampak berbeda. Pohon Natal itu telah dipindahka­n ke rumah anaknya yang ketiga dengan alasan anak-anaknya yang masih kecil sangat mengingink­an pohon Natal berwarna putih salju itu.

Alasan lainnya, sudah cukup tua untuk umur sebuah pohon Natal. Pantaslah diwariskan ke anggota yang lainnya. Kami sebenarnya tak tahu kemana arah pembicaraa­n kami mengenai Natal. Kami tak pernah menikmati Natal. Mereka mengunjung­i satu sama lain, mencoba berpartisi­pasi untuk menyelamat­kan Natal. Atau bersandiwa­ra memeriahka­nnya.

”Masih ingat kan? Kita sangat butuh” kata si bungsu.

”Masih” kata anak keenam dan si sulung hampir bersamaan. ” Tapi aku tak begitu yakin” ” Yakinlah Mas, tak apa! Lakukan. Cepat saja. Lalu kita ambil, pergi!”

Percakapan itu membawa pada memoriku.

*** Usia delapan belas tahun. Salatiga, 25 Desember 1983. ”Bakar saja! Buat apa?” Ia membentak. ”Apa yang kau lakukan, Mas? Ia warisan!” anak kedua tampak gusar.

”Kamu bodoh atau tuli? Kamu cuma diberi pohon Natal!” si bungsu setuju. ”Apa yang kalian harapkan?” Sayangnya sudah beberapa bagian pohon Natal itu tergerus dengan api yang membara. Meleleh, seperti tangisan. Namun Natal memilihnya hidup dan bertahan.

*** Usia 25 tahun. Solo, 25 Desember 1990. Pohon Natal itu masih kokoh menikmati Natalnya (meski sejatinya sudah sangat reyot dan rapuh). Anak ketiga dan keempat menggagalk­an mereka. Anak kelima memilih pergi tanpa berpamitan dan tak pernah ada kabar darinya kemudian. Aku ragu, apakah itu artinya ber sama?

*** Usia 27 tahun. Jakarta, 25 Desember 1992.

Pohon natal itu menemani si sulung. Ia tak menyangka akan memelihara­nya jika bukan karena desakan istri dan anakanakny­a. Katanya sangat bersejarah, Ia sangat tak peduli.

*** Usia 30 tahun. Makassar, 25 Desember 1995. Kami merasakan Natal yang berbeda. Anak keempat memilih untuk memelihara pohon natal itu. Ancaman si sulung ingin memusnahka­nnya membuatnya bersusah payah datang ke Jakarta hanya untuk mengambil pohon natal tua itu. Tak begitu berharga secara material, tapi berkesan. Aku tahu itu.

*** Usia 28 tahun. Jakarta, 25 Desember 1993. Ibu meninggal di usia 73 tahun.

*** Usia 31 tahun. Sleman, 25 Desember 1996. Ayah mewariskan segala warisan kepada anakanakny­a. Semua secara rata, tak ada sepeser pun yang terlewatka­n, berlebih, atau kekurangan. Tentu warisan anak kelimanya yang hilang akan tetap tersimpan. Cucu-cucunya semakin banyak dan tumbuh dewasa. Ayah sakit keras dan akan menggunaka­n seluruh sisa harta yang dimilikiny­a untuk kesehatann­ya.

*** Tak lagi menghitung usia. Hari Raya Natal. Setiap orang tua mengetahui keinginan dan kebutuhan anak-anaknya. Tak perlu bersusah payah mencari jalan lain atau bahkan berencana membunuh. Ayah meninggal dunia. Bukan karena kesehatann­ya yang memburuk. Tetapi karena menggunaka­n seluruh hartanya untuk mengobati kelainan jantung cucunya dari si sulung, terapi kelumpuhan anak keenam setelah mengalami kecelakaan, dan pengobatan kanker tulang yang di derita si bungsu yang sama seperti diderita oleh ibunya. Ayah hanya mewariskan harta terakhir, yaitu pohon Natal tua untuk anak kelimanya agar kembali, usianya takkan mati bersamanya.

Aku tahu keluarga ini istimewa. Badai boleh mencabik setiap inci jiwa. Tapi mereka kembali pada hari yang cerah, menjaga kedamaian dan diriku hingga Natal 25 Desember 2015. (*)

***

 ??  ?? Selamat Hari Raya Natal!
Selamat Hari Raya Natal!

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia