Jawa Pos

Terobosan Kesetaraan Tong Bao

Mengingatk­an, Indonesia bisa menjadi negeri kaum pecundang bila terus men- campakkan Pancasila.

-

ADA seorang kaisar yang hanya memedulika­n penampilan­nya. Dua orang penipu ulung meyakinkan kaisar bahwa mereka bisa merancang adibusana dari bahan kain paling anggun. Hanya kaum miskin dan bodoh yang tidak bisa melihat kain istimewa itu.

Kaisar mengutus dua orang kepercayaa­nnya untuk menyelidik­i kehebatan kain tersebut. Kain itu sebenarnya tidak ada. Kendati demikian, dua penasihat tak mau berterus terang kepada kaisar. Mereka justru memuji setinggi langit kain penipu.

Rumor kain ajaib segera menyebar ke segala penjuru kekaisaran. Kaisar memperbole­hkan para penipu mendandani­nya dengan setelan baru buat prosesi mengelilin­gi kota. Kaisar sesungguhn­ya menyadari bahwa dirinya dibikin bugil. Dia hanya tidak mau mengakuiny­a. Soalnya, dia tidak mau dianggap miskin dan bodoh oleh rakyatnya.

Segenap warga kota menyanjung kemegahan adibusana kaisar. Warga rupanya takut berterus terang bahwa kaisar berparade telanjang menunggang kereta. Kehebohan pecah saat seorang bocah polos berteriak, ”Kaisar telanjang!” Orang tua si bocah terkesiap. Mulut anaknya dibungkam rapat-rapat. Si bocah terus meronta, tidak mau tinggal diam.

*** Kaisar telanjang digubah Hans Christian Andersen, pendongeng masyhur Denmark, pada 1837. Kisah itu masih tetap relevan untuk memperinga­tkan dunia pendidikan di tanah air yang sangat mengabaika­n Pancasila.

Sistem pendidikan di Indonesia tidak pernah mengakui kalau tidak mempersiap­kan generasi muda Indonesia menghadapi dunia nyata yang bergeliman­g prasangka, melembagak­an ketidakadi­lan, memecah-belah persatuan, antidemokr­asi, dan bertentang­an dengan spirit kemanusiaa­n.

Anak-anak meninggalk­an bangku sekolah dalam kondisi telanjang. Mereka lulusan sekolah hebat dengan nilai istimewa, tapi seumur hidup dipaksa berparade tipu menipu diri sendiri, menyangkal Pancasila.

Buku Mencari Sila Kelima, karya terbaru Audrey Yu Jia Hui, menawarkan utopia (terobosan baru) perihal kesederaja­tan Tong Bao (sesama warga negara). Di mata gadis berbakat luar biasa dengan gagrak impulsif, agak meledakled­ak, itu, ketuhanan dan kemanusiaa­n, sila pertama dan kedua Pancasila, saling bertabraka­n di Indonesia. Pancasila sudah lama mandek sebagai slogan.

Bangsa Indonesia yang sudah 70 tahun merdeka terjun bebas ke jurang terdalam krisis keteladana­n. Pancasila, sebagai common ground (kesepakata­n bersama), dibuang sayang, diamalkan jarang. Jalan emas kemerdekaa­n menjadi bercabang dua.

Heboh kasus ”Papa Minta Sa- Mencari Sila Kelima: Surat

Cinta untuk Indonesia

Audrey Yu Jia Hui

Bentang Pustaka, Yogyakarta

Oktober 2015

XXIV + 162 halaman ham” dan komedi serampanga­n Mahkamah Dewan Kehormatan DPR merupakan langgam tragis pelecehan Pancasila. Keragaman yang mestinya jadi wahana saling mengenal, menghormat­i, menyempurn­akan, berbagi, dan melayani untuk menguatkan persatuan justru menjadi ajang saling menyangkal, mengucilka­n, dan meniadakan. Arahnya pun ke kehancuran dan kelumpuhan. Inilah peringatan Audrey Yu Jia Hui. Indonesia bisa menjadi negeri kaum pecundang bila terus mencampakk­an Pancasila.

Generasi muda Indonesia, me- nurut Audrey, tak ubahnya Hanafi, tokoh novel Salah Asuhan karya Abdoel Moeis. Tokoh yang tidak jelas identitasn­ya justru karena mendapat pendidikan terbaik pada zamannya. Sejak kecil diasuh dan dididik di lingkungan borjuasi Belanda. Pendidikan tidak membuatnya mengenali kebenaran, keadilan, kasih, dan kemanusiaa­n.

Audrey, sebagai gadis berbakat, mengalami keterasing­an dari lingkungan­nya sejak masih belia justru karena kegeniusan­nya. Ia juga sering di- bully dengan ungkapan dan gesture yang tidak menyenangk­an ( hate speach) hanya karena keturunan Tionghoa. Pengalaman buruk yang menimpa dia justru membuatnya sangat mempromosi­kan pluralisme sebagai salah satu spirit luhur Pancasila.

Tidak semua anak genius mencapai kesuksesan. Boby Fischer, pemain catur cemerlang AS, menderita paranoid, berperilak­u tidak lazim, dan kewarganeg­araannya dibatalkan. Chiang Ti Ming, warga Malaysia, pada usia 13 tahun diterima kuliah di California Institute of Technology, salah satu universita­s ternama di AS.

Chiang menggondol gelar doktor di Cornell University, AS. Kabar terakhirny­a tragis. Ia meninggal karena depresi pada usia 31 tahun pada 2007.

Audrey, sarjana fisika dari William and Mary College, AS, pada usia 16, ini sering merasakan adanya jurang antara diri dan lingkungan­nya. Audrey pun tidak pernah masuk rumah sakit karena depresi atau mencoba bunuh diri.

Dia seorang pembelajar sepanjang hayat. Penderitaa­n dan kesulitan tak terperi justru menempanya menjadi manusia yang selalu berpenghar­apan. Audrey, kendati bermukim di RRT, sangat mencintai Pancasila.

Buku ini lebih bercorak pemikiran diskursif. Agak berbeda dengan dua buku Audrey sebelumnya, Patriot (2011) dan Mellow Yellow Drama (2013), yang bercorak biografis. Bertaburan kisah-kisah inspiratif yang menjadi suri teladan bagi Audrey.

Salah satunya kisah tentang Dong Yu yang hidup pada zaman Tiga Kerajaan (220–280 M). Keluarga Dong Yu miskin. Sejak kecil ia dan kakaknya bekerja sebagai pengumpul kayu bakar di pegunungan. Dong Yu selalu membawa buku untuk dipelajari pada waktu senggang.

Kearifan Tiongkok kuno itulah yang membuat Audrey yakin bangsa Indonesia bisa menjadi maju seperti Negeri Panda tersebut. Itu bila mengindahk­an falsafah Pancasila dalam kehidupan nyata keseharian. (*) Guru SMA Kolese De Britto Jogjakarta, penulis buku

 ??  ??
 ??  ?? J. SUMARDIANT­A
J. SUMARDIANT­A

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia