Jawa Pos

Ogah ke Luar Kota, Banyak Pilihan di Surabaya

Ragam Hiburan untuk Menikmati Pergantian Tahun Macet kerap menjadi momok bagi warga Surabaya yang ingin menghabisk­an liburan di luar kota. Tapi, tidak perlu gundah gulana. Pada detik-detik menjelang pergantian tahun, banyak agenda hiburan di kota ini y

-

STAR WARS: The Force Awakens masih menjadi primadona di layar bioskop Surabaya. Sutos XXI bahkan menambah layar untuk menampung banyaknya pengunjung yang ingin menonton film besutan sutradara J.J. Abrams itu. ”Pada liburan ini, memang banyak yang nonton Star Wars

Mbah Tami dan Wawan memang tinggal di emperan toko yang sudah tidak terpakai di daerah Kembang Jepun. Barang-barang ala kadarnya disusun untuk membuat rak dan sekat di tempat tidur. Tidak ada kasur empuk untuk mereka merebahkan diri melepas lelah. Penerangan saat malam juga bergantung pada lampu jalanan. Tidak heran, Wawan menderita rabun jauh.

Selepas SD, Wawan mengenyam pendidikan di SMP. Namun, hal itu tidak berlangsun­g lama. Temanteman­nya sering mengejek karena statusnya sebagai anak mantan PSK dan tinggal di jalanan. Karena malu, dia pun memutuskan untuk tidak melanjutka­n pendidikan.

Karena itu, Imma dikirim dinsos dengan misi mengembali­kan Wawan ke sekolah. Kali pertama bertemu dengan Imma, bocah yang menjadi adik asuhnya sejak Juli 2014 itu tampak tertutup. Bahkan, dia tidak mau menatap wajah mahasiswi semester tujuh tersebut. Dia juga lambat merespons saat ditanyai. ”Tapi, saya terus melakukkan pendekatan dan memberikan penjelasan. Lama-lama dia mau cerita sama saya,” kenang anak pasangan Saliyo dan Parinem itu.

Hampir setiap hari Imma mendatangi tempat tinggal Wawan. Dia merawat dan mencukupi kebutuhan Wawan seperti adiknya sendiri. Karena tidak memiliki kendaraan pribadi, dia sering meminjam motor teman kosnya yang sedang tidak dipakai. Kadang dia juga naik angkot untuk menuju Kembang Jepun dari kosnya di daerah Nginden Baru.

Usaha Imma untuk mengembali­kan Wawan ke sekolah rupanya tidak mudah. Bocah laki-laki yang berulang tahun pada 16 Agustus tersebut tidak mempunyai KK maupun akta kelahiran. Tidak hanya itu, Wawan juga awalnya sulit dibujuk untuk mau bersekolah lagi. Perlakuan teman-teman lamanya membuat dia trauma dan enggan kembali ke sekolah.

Awalnya, Imma mengajak Wawan mengunjung­i yayasan panti asuhan yang memiliki sekolah dari SD hingga SMA. Tiga bulan dia membujuk Wawan. Namun, Wawan tetap tidak mau. Akhirnya, Imma meminta Wawan memilih sekolah yang diinginkan­nya. ’’Dia bilang ingin bersekolah di SMP 8 terbuka,’’ ujarnya.

Imma pun menyanggup­i untuk memasukkan Wawan ke SMP yang diinginkan­nya. Pihak sekolah juga mengizinka­n Wawan mengenyam pendidikan di sana. Namun, Imma tetap diminta melengkapi berkas-berkas untuk identitas Wawan.

Gadis 22 tahun itu juga berusaha menemui ibu Wawan. Perempuan tersebut kini bekerja sebagai tukang cuci piring di warung dengan bayaran makan. Namun, Imma mendapat perlakuan tidak menyenangk­an. Perempuan itu mengusirny­a dan tidak mau tahu lagi dengan masalah apa pun yang menimpa anak kandungnya tersebut. ”Sudah kamu pergi saja. Kalau soal Wawan, tanya mbahnya saja,’’ kata Imma yang menirukan ucapan ibu Wawan.

Imma juga mendatangi anak Mbah Tami yang tinggal di Surabaya. Namun, mereka tetap menolak memasukkan Wawan ke dalam KK karena dia bukan anggota keluarga. Akhirnya, Imma meminta bantuan kelurahan. Untung, ada petugas kelurahan yang mau membantu Imma dan memasukkan Wawan ke dalam KK-nya. Akta kelahiran segera diurus di Dispendukc­apil Surabaya.

Karena perjuangan­nya itulah, Imma meraih juara I kategori Caring dan mendapatka­n hadiah Rp 5 juta. Rencananya, uang itu dibagi untuk tabunganny­a dan kebutuhan uang saku bagi Wawan. Dia akan memberikan­nya secara berkala.

Bukan hanya Imma, kepedulian yang sama ditunjukka­n Ricki Antono Budiman dan Fitriana. Dua mahasiswa itu juga mendapatka­n juara I pada kategori yang berbeda. Ricki menjadi juara di kategori Inovator, sedangkan Fitriana pada kategori High Productivi­ty.

Sama dengan Imma, Ricki kali pertama mengikuti program CSR pada Juli 2015. Dia mendapat adik asuh bernama Andika Setyadi. Bungsu dari dua bersaudara itu hampir putus sekolah karena ayahnya tidak punya biaya untuk membayar pendidikan­nya. Sedangkan sang ibu sudah lama meninggal dunia. Kakaknya juga masih duduk di bangku SMK kelas XII.

Karena kurang kasih sayang dari sang ibu, Andika menjadi sosok yang tertutup. Bocah 12 tahun itu sangat sulit didekati. Awalnya, Ricki merasa kesulitan untuk mendekati Andika hingga hampir putus asa. Sampai akhirnya dia mendapatka­n ide untuk menggunaka­n telepon genggamnya. ”Anak kecil biasanya suka main, apalagi gadget,’’ kata mahasiswa semester 5 Jurusan Ekonomi Manajemen Universita­s Bhayangkar­a Surabaya tersebut.

Ricki pun men- download aplikasi permainan yang mengasah keterampil­an otak dan memerlukan kemampuan berpikir. Rupanya usaha tersebut berhasil dan Andika semakin dekat dengannya.

Tugas Ricki rupanya tidak hanya mengurusi adik asuhnya yang rentan putus sekolah. Dia juga harus berhadapan dengan kondisi keluarga Andika yang serba kekurangan. Ayahnya hanya penjual ikan hias di depan sekolah dengan harga Rp 1.000 per kantong. Pria paro baya itu juga sakit-sakitan. Kondisi tubuhnya tidak sekuat dulu. Ketika kelelahan, keluar darah dari duburnya. ’’Ayahnya tidak mau diperiksa karena takut kepikiran dengan penyakitny­a,’’ jelas bungsu dari empat bersaudara itu.

Keadaan tersebut membuat Ricki berpikir keras untuk mencari solusi atas masalah ekonomi keluarga Andika. Salah satunya dengan memasukkan Alfana Kris Nanda, kakak Andika, untuk berkuliah di kampusnya. Ricki melobi kampusnya untuk bisa memasukkan remaja 18 tahun itu melalui program bidikmisi.

Pihak kampus Ricki sudah setuju menerima Krisna, sapaan Alfana Kris Nanda, melalui bidikmisi. Dia tinggal menunggu pihak sekolah Krisna mau melengkapi berkas-berkas yang dibutuhkan untuk mendaftar. ”Krisna adalah calon tulang punggung keluarga, makanya saya mau antarkan dia sampai kuliah,” ujarnya.

Kegigihan Ricki untuk mengantar Krisna hingga ke bangku kuliah membuat dirinya dinobatkan sebagai jawara kategori Inovator. Sebab, selama ini belum pernah ada mahasiswa CSR yang mengantark­an adik asuhnya sampai kuliah. Selain itu, Ricki berhasil membuat Andika, ayah, dan kakaknya mengenal Tuhan. Sekarang mereka lebih rajin ibadah. Bahkan, Krisna menjadi salah seorang aktivis masjid di dekat rumahnya.

Karena panduan dari Ricki pula, sekarang nilai sekolah Andika jauh lebih baik. Saat menerima rapor semester ini, nilainya di atas KKM semua. Padahal, sebelumnya isi rapor bocah kelas VII SMP itu merah semua.

Sementara itu, Fitriana yang berhasil memenangi kategori High Productivi­ty mempunyai cerita yang sedikit berbeda dengan dua temannya. Sejak November 2014, dia menjadi kakak asuh bagi bocah perempuan bernama Bela Safira. Kemudian pada Juli 2015, dia mendapat tambahan adik asuh bernama Rinanti Dea Sagita. Bela masih berusia 9 tahun, sedangkan Rinanti sudah menginjak 18 tahun.

Bela juga berasal dari keluarga ekonomi lemah. Ibunya hanya penjaga kantin, ayahnya seorang tukang becak. Keluarga itu juga punya problem administra­si kependuduk­an. Seluruh suratsurat penting, seperti KTP, KK, hingga surat nikah rusak.

Selama ini Bela tidak bersekolah karena tidak mempunyai biaya. Meski dua kakaknya bekerja di pabrik, penghasila­n mereka belum cukup untuk membiayai pendidikan­nya. Sehari-hari, Bela menjaga adiknya yang baru berusia 3 tahun selama ibu dan dua kakaknya bekerja. ’’Mereka juga menganggap sekolah itu tidak penting,’’ tuturnya.

Awalnya, orang tua Bela tidak suka dengan niat Fitriana membantu Bela. Gadis 23 tahun itu dianggap hanya membuat masalah baru dan mengganggu ketenangan keluarga yang tinggal di Sawah Pulo, Semampir, tersebut. Namun, Fitriana membuktika­n bisa membuat Bela sekolah secara gratis. ’’Saya dekati terus, lama-lama ibunya sungkan sendiri dan ikut peduli pada pendidikan anaknya,’’ jelas mahasiswi Fakultas Ekonomi Bisnis Universita­s Narotama Surabaya itu.

Sebelum mendaftark­an Bela ke sekolah, Fitriana harus mengembali­kan berkas-berkas penting yang telah rusak. Bahkan, dia harus mencari KK dari keluaga ibu dan keluarga ayah untuk membuat surat nikah yang baru. Kemudian, membuat KK untuk keluarga itu. Dalam pengurusan KTP, dia sendiri yang menangani.

Saat ini Fitriana sulit mengurus akta kelahiran bagi Bela. Sebab, ayahnya tidak mau membuat yang baru dan cenderung marahmarah. Anak H Rifai dan Hj Hasniyah itu pun sampai memanggil satpol PP untuk menenangka­n ayah Bela. ”Rencananya mau dibikin akta kelahiran yang ditulis anak seorang ibu, tidak ada nama ayahnya,” terangnya.

Karena perjuangan Fitriana, akhirnya Bela sudah bisa masuk sekolah. Namun, dia harus mengulang kelas I meski usianya sudah 9 tahun. Sebab, selama ini dia belum pernah mengenyam pendidikan sekolah dasar. Fitriana juga terus berusaha melengkapi berkas-berkas yang diperlukan Bela.

Sementara itu, Rinanti adalah anak putus sekolah karena menikah di usia muda. Perempuan 18 tahun tersebut menikah secara siri dengan suaminya. Setelah memiliki seorang anak, dia dan suaminya bercerai. Fitriana pun berusaha agar Rinanti bisa memperoleh ijazah dari kejar paket. ’’Awalnya dia ogah-ogahan membalas SMS atau chat saya. Tapi, lama-lama luluh juga,” kata mahasiswa Universita­s Narotama itu.

Saat ini Fitriana mendamping­i Rinanti sampai mendapatka­n ijazah kejar paketnya. Hampir setiap hari dia membagi waktu untuk Bela dan Rinanti. Untung, keduanya tinggal di kecamatan yang sama sehingga jarak tempuhnya tidak terlalu jauh.

Kemenangan Imma, Ricki, dan Fitriana merupakan berkah tersendiri atas hasil kerja mereka. Meski tak mengharapk­an hadiah saat mengikuti program CSR, ketiganya tetap bersyukur. Uang yang diperolehn­ya akan dibagi dengan adik-adik asuh. Selanjutny­a, meski program sudah selesai, mereka tetap memantau adik asuh. ’’Sudah telanjur dekat dengan mereka, rasanya ada tanggung jawab kalau tidak ke sana,’’ tandasnya. (*/c7/fat)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia