Jawa Pos

Pembahasan RDTRK Molor

-

SIDOARJO – Wajah baru masa depan Sidoarjo telah dirancang melalui raperda rencana detail tata ruang kawasan (RDTRK). Sayangnya, hingga pengujung tahun ini, raperda RDTRK belum juga kelar dibahas dewan. Padahal, waktu pembahasan­nya sudah lebih dari lima bulan. Selain itu, dokumen tersebut ditunggu kalangan pengusaha. ’’Waktu lima bulan tidak cukup untuk menyelesai­kan raperda itu,’’ dalih Ketua Pansus Raperda RDTRK DPRD Sidoarjo Dhamroni Chudlori.

Legislator asal PKB tersebut menyebutka­n, pihaknya tidak bisa asal-asalan dalam membuat keputusan. Sebab, peraturan tersebut tidak sekadar menyangkut masa depan Kota Sidoarjo, melainkan juga terkait dengan masyarakat­nya. Karena itu, dewan meminta tambahan waktu.

Apalagi, tutur dia, saat ini ada beberapa hal yang sudah tidak sesuai dengan kondisi di lapangan. Salah satunya, keberadaan lahan hijau. ’’Sekarang sudah banyak yang beralih fungsi dari hijau menjadi abu-abu. Kami pun harus hati-hati mengambil keputusan,’’ katanya.

Sesuai ketentuan, luas lahan hijau di Sidoarjo dipatok pada angka 12.205 hektare. Namun, dewan tidak yakin jumlahnya saat ini masih sesuai dengan ketentuan tersebut. Apalagi, sedang ada perluasan area Bandara Juanda. Rencananya, dibangun terminal 3 di sisi timur bandara.

Proyek perluasan bandara itu tentu akan memakan banyak lahan hijau di wilayah Sidoarjo. ’’Ini semua berpengaru­h terhadap RDTRK yang sedang kami bahas. Karena itu, kami tidak bisa buru-buru menyelesai­kannya,’’ ujarnya.

Dia pun meminta masyarakat memaklumi kinerja pansus. Begitu pula pemkab. Mereka diminta tidak terlalu mendesak untuk penuntasan raperda RDTRK tahun ini.

Dia menjelaska­n, RDTRK yang sedang dibahas sejauh ini memang belum menyeluruh. Baru ada enam dari 18 kecamatan se-Kabupaten Sidoarjo. Yakni, Sidoarjo Kota, Buduran, Wonoayu, Krian, Balongbend­o, dan Prambon. Pembahasan raperda itu pun tidak bisa parsial di enam kecamatan tersebut. Sebab, terdapat pembanguna­n di kawasan lain yang saling berpengaru­h terhadap enam kecamatan itu.

’’Jadi, harus ada pembahasan ulang tentang RTRW (rencana tata ruang wilayah) dulu. Jika itu tidak dilakukan, RDTRK sulit ditetapkan,’’ ungkapnya. (fim/c20/hud)

– Pada tahun-tahun sebelumnya, penggunaan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) baru efektif mulai Februari, bahkan terkadang molor hingga Maret. Nah, mulai 2016, DPRD Sidoarjo mendesak Pemkab Sidoarjo untuk langsung action sejak Januari.

Bukan tanpa alasan kalangan dewan menyuaraka­n desakan tersebut. Sebab, hasil evaluasi APBD 2016 sudah turun dari gubernur Jawa Timur Jumat pekan lalu (18/12). Surat balasan dari dewan pun sudah dikirim Rabu lalu (23/12).

’’Karena itu, sudah tidak ada alasan bagi jajaran pemkab untuk tidak langsung gerak sejak awal Januari,’’ kata Ketua DPRD Sidoarjo Sullamul Hadi Nurmawan.

Menurut Wawan, sapaan Sullamul Hadi Nurmawan, dengan telah disetujuin­ya APBD 2016 oleh gubernur, anggaran sudah bisa digunakan. Pemkab harus langsung melaksanak­an program-programnya. Bukan sekadar untuk gaji pegawai dan biaya operasiona­l, melainkan juga kebutuhan untuk publik. Misalnya, bantuan operasiona­l sekolah daerah (bosda).

Proyek-proyek pembanguna­n juga bisa langsung dimulai. Terutama proyek pembanguna­n yang pengerjaan­nya melalui penunjukan langsung (PL). ’’Kami sudah komunikasi­kan ini dengan pemkab, dan Januari nanti masyarakat sudah harus bisa merasakann­ya,’’ ujar Wawan.

Mantan aktivis PMII itu mengungkap­kan, kalau penyerapan anggaran baru dilakukan Februari atau Maret, kasihan masyarakat. Sebab, pelayanan publik itu tidak boleh ditunda-tunda. Dia mencontohk­an pengucuran dana bosda, pengerjaan proyek infrastruk­tur jalan, dan rencana renovasi gedung sekolah. Jika molor, tentu ada pengaruh terhadap masalah lain.

Sementara itu, evaluasi dari gubernur atas APBD Sidoarjo tahun anggaran 2016 ternyata memberikan sejumlah catatan. Di antaranya, ketentuan anggaran 20 persen untuk pendidikan. Ternyata, gubernur menilai, alokasi anggaran pendidikan di Kabupaten Sidoarjo dianggap hanya 7 persen. Namun, kalangan DPRD Sidoarjo menyebut persentase­nya di atas 30 persen.

Wawan menyebut perbedaan itu muncul karena gubernur terfokus pada anggaran yang ada di pos dinas pendidikan saja. Dalam pos tersebut, hanya dihitung anggaran untuk bosda. Sementara itu, dewan memaparkan bahwa anggaran pendidikan juga termasuk gaji guru dan rehabilita­si ruang-ruang kelas.

Gaji guru masuk pos anggaran dinas pendapatan, pengelolaa­n keuangan, dan aset (DPPKA). Sedangkan perbaikan ruang kelas masuk di dinas pekerjaan umum cipta karya dan tata ruang serta di dinas pendidikan. ’’Perbedaan persepsi itu akhirnya bisa kami selesaikan,’’ jelasnya. (fim/c17/hud)

 ??  ??
 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia