Tak Ada Yang Tiba-Tiba Turun dari Langit
Didominasi penduduk usia produktif membuat Indonesia bakal mampu berbuat lebih banyak. Jika diasah, kreativitas masyarakatnya bisa membuat daya saing ekonomi lebih kompetitif.
BAGI Parwati Surjaudaja, Indonesia termasuk negara yang memiliki modal lengkap untuk terus berkembang. Dalam sepuluh tahun mendatang, Indonesia bisa menyandang predikat negara maju
Presiden direktur Bank OCBC NISP itu menyebutkan, sumber daya alam yang kaya, usia produktif yang dominan, serta karakteristik masyarakat yang kreatif bakal membuat Indonesia lebih unggul. ”Itu sulit ditiru. Kita punya kelebihan. Itu bisa jadi keunggulan,” ujar perempuan 51 tahun tersebut.
Bahkan, dia berani membandingkan Indonesia dengan negara besar seperti Tiongkok. Dia menyebut kreativitas orang Indonesia bisa menandingi negara dengan kue ekonomi terbesar kedua sejagat itu. Syaratnya, Indonesia bisa memanfaatkan dengan baik warisan kebudayaan dan kekayaan alam yang melimpah.
” Tiongkok pasti jadi saingan. Tapi, soal kreativitas, kita bisa menang karena budaya dan kekayaan alam itu jadi harta karun yang luar biasa,” ujarnya.
Dia menuturkan, komposisi masyarakat yang berbeda suku dan keyakinan dapat membuat ciri khas yang susah ditemui di negara-negara lain. ”Perbedaan itu melengkapi,” tambah perempuan yang setia dengan rambut pendek tersebut.
Namun, dia juga mengingatkan agar Indonesia tidak terlena dengan kelebihan-kelebihan tersebut. Mengingat, kondisi ekonomi global beberapa tahun terakhir masih tak menentu. Pelemahan tersebut menjadi tantangan bagi seluruh negara, termasuk Indonesia.
Dia menambahkan, dalam sepuluh tahun ke depan, mesin penggerak ekonomi Indonesia akan dimotori oleh sektor manufaktur, industri kreatif, dan pariwisata.
Sementara itu, tantangan ekonomi Indonesia bakal didominasi sentimen eksternal seperti normalisasi suku bunga AS dan perlambatan ekonomi Tiongkok. Bahkan, dia menyebutkan, masih akan ada sektor-sektor dengan kondisi yang lebih buruk daripada saat ini. Beberapa di antaranya adalah sektor migas dan komoditas. Misalnya batu bara yang akan susah untuk kembali bangkit. Tetapi, lanjut Parwati, ada pula sektor-sektor seperti consumer goods yang semakin menunjukkan tren perbaikan.
Kondisi suku bunga yang cukup tinggi juga dia sebut sebagai kendala bagi beberapa sektor. ”Kalau nanti ada ruang untuk suku bunga acuan turun, efeknya akan baik. Banyak orang yang menabung. Dari sisi debitor, juga nanti mereka bisa menjalankan usaha dengan baik,” katanya.
Rapor ekspor yang akhir-akhir ini merah juga harus menjadi bahan koreksi. Dari yang awalnya terus-terusan berfokus pada ekspor komoditas, semestinya bisa beralih ke ekspor yang lebih produktif. Salah satunya industri kreatif. Jika terus-terusan bergantung pada ekspor yang itu-itu saja, lanjut dia, Indonesia bakal susah move on. ”Kita harus lihat dong kelebihan kita apa saja. Orang Indonesia itu jauh lebih kreatif daripada bangsa lain. Saya dukung sekali industri kreatif. Manufaktur, jasa, atau film dan tourism itu lebih baik,” jelasnya.
Dari sisi impor, perempuan yang pernah masuk 99 Most Powerful Women 2009–2013 dari majalah Globe Asia tersebut mendorong agar Indonesia bisa meningkatkan kapasitas dan swasembada di berbagai elemen. Impor barang konsumtif yang tidak memberikan nilai tambah semestinya dapat ditekan. ”Memang ada hal-hal yang tidak bisa dihindari. Tapi, bagaimana bisa sustain kalau terus-terusan mengandalkan impor? Indonesia harus bisa swasembada,” tuturnya.
Ibu empat anak tersebut menyebutkan tantangan lain yang harus dihadapi Indonesia. Yakni, tingkat produktivitas pekerja dan disiplin yang masih bisa dibilang rendah. Sumber daya manusia yang sangat banyak, meski menjadi bonus demografi, juga dapat menjadi tantangan.
”Saya pernah baca, produktivitas orang Indonesia per kepalanya itu bisa menghasilkan USD 14 ribu dalam setahun, orang Tiongkok USD 57 ribu, orang Singapura USD 187 ribu, dan Malaysia USD 33 ribu. Dari data itu, bisa dilihat bahwa ada sesuatu yang fundamental soal efisiensi tenaga kerja kita ya,” tutur perempuan yang gemar mendengarkan alunan musik klasik dari komposer Jerman Johann Sebastian Bach tersebut.
Dengan mengetahui letak permasalahan yang dihadapi, selanjutnya diharapkan muncul solusi untuk menghadapi kendala tersebut. ”Kuncinya, disiplin dan produktivitas. Soal skill, kita tidak perlu takut. Attitude orang kita baik. Yang kurang hanya disiplin dan produktivitas,” katanya.
Belum rampungnya masalah infrastruktur pun, menurut dia, dapat menjadi kendala bagi ke- majuan Indonesia. Sebab, ketersediaan infrastruktur yang mumpuni akan menjadikan biaya logistik dapat ditekan.
Parwati menyebutkan tiga aspek infrastruktur yang mesti segera dibenahi. Yakni, infrastruktur dalam kota, kualitas pelabuhan maupun bandara, serta ketersediaan tenaga listrik.
”Kemampuan kita bergerak dari satu titik ke titik lain itu sangat penting. Kualitas pelabuhan atau bandara sangat menentukan. Listrik itu juga basic. Bukan tidak mungkin di kota besar seperti Jakarta itu byarpet. Kalau sudah begitu, pekerjaan akan terbengkalai, produktivitas jadi terhambat juga,” ujarnya.
Tetapi, dia yakin bahwa Indonesia akan mampu menghadapi persaingan di kancah Asia maupun global, mengingat potensipotensi menggiurkan yang dimiliki negeri ini. Putri perintis Bank OCBC NISP Karmaka Surjaudaja tersebut juga berpesan agar setiap elemen masyarakat mendapatkan pendidikan yang layak. Hal itu pula prinsip turun-temurun yang diwariskan oleh keluarganya.
”Ayah-ibu saya tidak akan mewariskan apa pun, kecuali memastikan anak-anaknya punya pendidikan yang cukup. Prinsip itu pula yang saya terapkan kepada anak-anak saya agar mereka siap terjun ke masyarakat. Tunjukkan bahwa kita semua bisa, you’ve got to earn it, harus usaha, mencari, doa, niat baik. Sebab, tidak ada yang tiba-tiba turun dari langit. Karena tidak ada sesuatu yang gratis di dunia ini,” bebernya. (dee/c11/sof)