Butuh Formula Baru Kolaborasi Daerah
Banyak pihak yang mengasumsikan kerja sama daerah bisa mengatasi kesenjangan antardaerah. Faktanya, banyak persoalan yang menghambat usaha-usaha kolaboratif daerah itu. Berikut ulasan Wawan Sobari PhD, dosen FISIP Universitas Brawijaya yang juga peneli
Penghambat
yang lebih banyak adalah
belum berubahnya mindset aparat.”
TIGA hari menjelang tutup tahun 2015 (28/12), tiga kepala daerah di Malang Raya berinisiatif untuk bertemu di Balai Kota Malang. Pertemuan itu sebenarnya merupakan kelanjutan kegiatan yang sama setahun sebelumnya. Selain wali kota Malang, penjabat bupati Malang, dan wakil dari Pemerintah Kota Batu, pertemuan dihadiri Forpimda Malang Raya serta rektor Universitas Brawijaya.
Pertemuan tersebut menelurkan tonggak kerja sama antardaerah berupa rencana sinergi Malang Raya. Ke depan, tiga daerah yang berbatasan langsung itu berikhtiar bersama membangun infrastruktur antardaerah, moda transportasi masal, serta pembangunan ekonomi kreatif dan pariwisata. Meski terlambat, rencana besar itu layak diapresiasi, mengingat potensi besar manfaat kolaborasi antardaerah.
Dalam UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, kerja sama daerah diatur dalam satu bab khusus (XVII). Pasal 363 menyebutkan tujuan utama kerja sama, yakni meningkatkan kesejahteraan rakyat. Secara operasional, kerja sama mesti berlandasan pada pertimbangan efisiensi, efektivitas, serta saling menguntungkan, terutama dalam pelayanan publik. Kerja sama daerah bisa bersifat wajib atau sukarela.
Selain kolaborasi Malang Raya, sudah banyak inisiatif kerja sama antardaerah di Indonesia, khususnya di Jawa. Di Jawa Timur muncul akronim Gerbangkertosulila sebagai komitmen kerja sama pemerataan pembangunan di Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo, dan Lamongan. Setelah terbangunnya Jembatan Suramadu, akronim itu sebenarnya bisa berubah menjadi Germakertosusilo dengan memasukkan daerah-daerah di Pulau Madura sebagai bagian dari kolaborasi tersebut.
Di Jawa Tengah setidaknya terdapat sembilan kerja sama antardaerah yang diwakili sembilan akronim unik. Yaitu, Purwomanggung, Bergas, Banglor, Tangkalaka, Wanarakuti, Kedungsepur, Barlingmascakeb, Subosukawonosraten, dan Sampan. Di wilayah Provinsi DI Jogjakarta terdapat kerja sama berbasis pelayanan transportasi Kartamantul (Kota Jogjakarta, Sleman, Bantul).
Di Nusa Tenggara Barat (NTB) terkenal kerja sama berbasis perdagangan ’’Jonjok Batur’’ yang melibatkan Lombok Barat, Lombok Timur, dan Lombok Tengah. Sementara itu, contoh kerja sama yang melibatkan daerah dari tiga provinsi dikenal dengan akronim Pawonsari (Pacitan, Wonogiri, Wonosari/Gunungkidul). Di provinsi lain, kolaborasi antardaerah serupa banyak ditemui.
Pasca penerapan UU 22/1999, intensitas kebutuhan kerja sama daerah berkembang cepat. Setidaknya terdapat lima kepentingan daerah melakukan kerja sama dengan daerah dalam satu provinsi, beda provinsi, pihak ketiga, dan luar negeri. Selain untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, daerah berkepentingan pula dalam kemajuan dan keamanan kawasan perbatasan, keterkaitan tata ruang, pengentasan kemiskinan dan kesenjangan antarwilayah, serta penanggulangan bencana dan minimalisasi risiko konflik.
Namun, di balik semangat daerah berkolaborasi, beberapa riset menemukan sejumlah persoalan. Studi Hardi Warsono (2009) menemukan bahwa kerja sama antardaerah di Jateng masih menghadapi masalah yang bersumber dari daerah sendiri, pemerintah provinsi, dan pusat. Ego daerah masih menjadi kendala dalam memuluskan kolaborasi.
Permendagri yang menjadi panduan tata cara kerja sama dianggap bagian dari masalah karena menimbulkan ketakutan dan keraguan daerah dalam merintis kerja sama. Sementara itu, provinsi dinilai belum optimal dalam menyediakan payung hukum serta panduan operasional kolaborasi antardaerah.
Tujuan: meningkatkan kesejahteraan rakyat
Entitas: daerah lain, pihak ketiga, lembaga atau pemerintah daerah di luar negeri
Sifat: wajib dan sukarela Sumber dana:
APBD dan APBN
Studi lain dilakukan Andi Wahyudi dan Maria AP (2011) terkait dengan kerja sama antardaerah di perbatasan Jateng dan Jatim dalam dua skema. Yaitu, Ratubangnegoro (Blora, Tuban, Rembang, Bojonegoro) dan Karismapawirogo (Karanganyar, Wonogiri, Sragen, Magetan, Pacitan, Ngawi, Ponorogo). Riset menemukan kolaborasi berjalan efektif yang mempermudah warga untuk mengakses pelayanan publik antardaerah yang berbeda wilayah administratif. Namun, perkongsian apik itu masih terkendala lambatnya tindak lanjut bidang-bidang kerja sama dan sinergi perencanaan antardaerah.
Kerja sama wilayah Subosukawonosraten (Surakarta, Boyolali, Sukoharjo, Karanganyar, Wonogiri, Sragen, dan Klaten) menurut studi Adhitya Eka Putranto (2013) masih terkendala perbedaan kepentingan dan latar belakang politik kepala daerah. Itulah yang kemudian menimbulkan ego daerah dan perbedaan dalam kerja sama.
Problem lain adalah menyangkut pembiayaan kerja sama yang masih bergantung pada APBD dan sulit diandalkan. Manfaat kolaborasi antardaerah itu juga harus tereduksi karena kurang profesionalnya pengelolaan Badan Kerja Sama Antar-Daerah (BKAD).
Selain itu, kerja sama perdagangan antardaerah di Pulau Lombok, NTB, memberikan pelajaran menarik sebagaimana hasil studi Komite Pemantau PelaksanaanOtonomiDaerah(KPPOD, 2013). Skema kerja sama ’’Jonjok Batur’’ di NTB melalui pembangunan pabrik jagung bersama berhasil mendorong aglomerasi ekonomi. Yaitu, berupa peningkatan keuntungan bersama, Ego daerah Aturan pusat Peran provinsi belum optimal Kelembagaan dan pembiayaan forum kerjasama (BKAD) Sinergi perencanaan pembangunan daerah Kepentingan politik kepala daerah Pelayanan publik Kawasan perbatasan Tata ruang Pengentasan kemiskinan Penanggulangan bencana dan konflik memperpendek mata rantai perdagangan, peningkatan pendapatan masyarakat, dan penciptaan efisiensi perdagangan.
Namun, kolaborasi tiga daerah tersebut masih terkendala lemahnya pelibatan dan peran asosiasi usaha dalam pemberdayaan pelaku usaha. Pun, kerja sama itu masih terhambat lemahnya pendanaan serta kemandirian BKAD.
Guna mengatasi sejumlah kelemahan itu, kerja sama daerah bisa direvitalisasi melalui pembentukan satu forum atau sekretariat bersama pengembangan inovasi daerah ( innovation hub). Fungsi lembaga itu terutama adalah menyelesaikan berbagai persoalan daerah melalui promosi, replikasi, dan implementasi inovasi daerah.
Salah satu aktivitas utama innovation hub sebagaimana yang digagas JPIP adalah melakukan fasilitasireplikasiinovasiatauproses’’makcomblang’’ ( matchmaking) inovasi. Antardaerah bisa saling belajar dan mengembangkan inovasi untuk mempercepat sejumlah persoalan daerah sejenis. Misalnya, masalah pelayanan publik, pengelolaan sampah, serta aktivitas usaha kecil dan mikro.
Embrio institusi tersebut telah muncul melalui pembentukan Jaringan Inovasi Pelayanan Publik Jawa Timur (JIPPJATIM).
Pemprov Jatim yang berkolaborasi dengan GIZ (kerja sama Jerman), universitas, dan kabupaten/kota di Jatim sudah melakukan sejumlah aktivitas bersama perbaikan pelayanan publik sejak 2105. Meski inisiatif itu terbilang progresif, isu keberlanjutan dan komitmen masih menjadi tantangan besar bagi efektivitas kelembagaan forum. (www.jpip.or.id)