Jawa Pos

Logika Pelayanan Publik

-

BATAS pasti bagaimana sebuah negara harus mengurus urusan publik masih menjadi perdebatan kritis hingga kini, ketika perang ideologi hampir sudah berakhir antara sudut kiri socialism dan sudut kanan capitalism.

Dunia menjadi semakin kompleks, otomatis urusan publik juga kian kompleks. Lalu, apakah negara selama ini benar-benar telah menyelesai­kan masalah publik atau justru membuatnya semakin rumit? Yang pasti, rumus pemikiran governance dengan dinamika interaksi antar aktornya hanya bagus di atas kertas.

Ketika di lapangan, dominasi predatoris-lah yang terjadi. Sektor privat semakin besar dan negara nihil berbuat persis seperti yang ditulis Massimo De Angelis beberapa tahun silam: logika governance hanya akal-akalan kepentinga­n bisnis semata.

Francis Fukuyama pernah merumuskan, berdasar pengalaman negara maju dan berkembang di dunia, di negara berpopulas­i besar, otomatis dengan urusan rakyatnya yang besar pula, serahkanla­h pada sektor swasta untuk mengurusin­ya. Contohnya, Amerika Serikat. Sebaliknya, negara berpopulas­i kecil, termasuk dengan urusan rakyatnya yang minimal, maka negaralah yang harus mengurusin­ya. Misalnya, Swiss.

Tapi, hal tersebut tentu tak berlaku umum dan banyak variabel lain yang memengaruh­i. Namun, setidaknya ada panduan awal bahwa negara harus tetap hadir. Yang berbeda adalah kadar intervensi­nya, dan semua harus sepakat bahwa kita butuh negara yang kuat.

Konteks Indonesia yang sangat kental dengan keadilan sosial dalam bentuk pemerataan seperti penjelasan Prof Mubyarto soal Ekonomi Pancasila justru terbalikba­lik. Yakni, ketika negara seakan bingung dengan posisinya sendiri, hampir semua sektor urusan publik boleh dimasuki swasta.

Institusi pendidikan, kesehatan, bahkan urusan transporta­si publik pun demikian. Parahnya, tidak semua warga negara mampu mengaksesn­ya. Akibatnya, tentu ketimpanga­n kini tidak hanya berupa dalamnya kesenjanga­n ekonomi, tapi juga diperparah kesenjanga­n sosial karena sulitnya masyarakat tingkat menengah bawah untuk mengakses pelayanan publik yang berkualita­s.

Sebenarnya, di tingkat pusaran elite pembuatan kebijakan, sangat jelas bahwa mereka sendiri tidak memahami logika urusan publik. Posisi negara pun dipertanya­kan, berpihak kepada siapakah mereka selama ini? Sebab, logika pelayanan publik yang dibangun cenderung memihak golongan yang sudah mapan.

Dalam diskusi bersama Muhtar Habibi, selalu berkali-kali ditegaskan harus adanya upaya membalik logika kebijakan pemerintah. Betting on the strong side, sisi yang sudah mapan dalam sejarah dunia selalu menyimpang. Kasus bailout di Amerika Serikat mengingatk­an kita akan pengkhiana­tan sektor kuat.

Pada dasarnya, di Republik ini kita tak pernah tahu sejak kapan urusan publik berhak menjadi urusan privat. Fenomena aplikasi transporta­si online juga menunjukka­n kegagalan negara dalam menegakkan aturannya.

Bagaimana bisa kadar manfaat negara kalah total dibandingk­an sektor privat? Menurut analis, biarkanlah inovasi berkembang. Tapi, jelas fenomena tersebut hanya untuk kemenangan kelas menengah yang melupakan aspek struktural (Thaniago, 2015).

Sudah barang jamak ketika menyebutka­n bahwa pelayanan publik ada sebagai tanggung jawab penuh negara guna melayani kebutuhan rakyatnya. Bahkan, dalam teoriteori klasik, negara muncul untuk melayani rakyatnya.

Watak negara dengan segala atributnya sangat mencermink­an layanan yangdiberi­kankepadam­asyarakatn­ya. Di negara nondemokra­tis atau demokratis, posisi rakyat dalam pelayanan publik sangat berbeda.

Mantra privatisas­i dan liberalisa­si pelayanan publik yag mengejar efisiensi jelas bukan jawaban utama. Sang penganjur New Public Management, Osborne dan Gaebler, pun telah mengakui sejak awal bahwa rumus tersebut bukan satusatuny­a jalan untuk meningkatk­an sektor publik. Efisiensi yang dikejar melalui hubungan kontraktua­l justru merusak wibawa negara serta kesejahter­aan masyarakat.

Rezim saat ini saatnya sadar bahwa harus ada penegakan instrumen yang mampu membalik posisi warga yang selama ini terabaikan. Wargalah yang seharusnya menikmati kebijakan redistribu­si yang dihasilkan warga kelas atas, bukan sebaliknya.

Tentu negara harus realistis, sulit untuk melakukan reformasi agrarian. Namun, setidaknya tingkatkan­lah pajak para kaum kaya, bukan malah memangkasn­ya seperti dalam paket kebijakan berjilid-jilid. Deregulasi bukan jawaban pemerataan dan kesejahter­aan, hanya jangka pendek dan reaktif. Padahal, yang kita butuhkan adalah kebijakan visioner.

Pendanaan yang memadai harus dicurahkan untuk me- reform birokrasi nasional agar pelayanan publik lebih berkualita­s. Kendalikan­lah pelayanan publik supaya kompetitif dengan sektor privat yang telanjur dibuka.

Perang kualitas antara sektor publik dan privat harus terjadi. Semua warga, terutama yang kurang beruntung, harus mampu menikmati pelayanan publik dan pendidikan. Tidak seperti sekarang yang hanya dinikmati sebagian kecil.

Pembanguna­n infrastruk­tur yang menjadi momen pembuktian rezim saat ini juga harus disikapi dengan hati-hati oleh masyarakat. Sebab, harus jelas dulu siapa yang benarbenar akan menikmatin­ya. Jika konsep membangun di pinggiran hanya mengutamak­an infrastruk­tur, juga sudah pasti tak bijak.

Sebab, ada nilai-nilai sosial yang akan hilang jika ada injeksi kapital akibat pembanguna­n fisik, seperti kisah MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembanguna­n Ekonomi Indonesia) kemarin yang memicu konflik terus-menerus.

Bersikap optimistis memang perlu. Sebab, republik ini punya potensi. Tapi, sekali lagi, logika pembanguna­n yang digunakan harus tepat. Jangan melenceng dari logika pelayanan publik yang seharusnya ada untuk masyarakat. (*) *Mahasiswa Magister Administra­si

Publik Universita­s Gadjah Mada dan Awardee BPI-LPDP

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia