Tak Hanya Raih Prestasi, Produk Juga Laku
Blind Helper, Hasil Karya Tiga Siswa Smansa Peduli kepada kaum tunanetra, tiga siswa kelas XI SMAN 1 (Smansa) Gresik membuat kacamata ajaib. Dengan hasil karya itu, mereka berhasil meraih beberapa prestasi baik di tingkat nasional maupun internasional.
BERAWAL dari semakin tenarnya pemakaian gadget di kalangan masyarakat, Al Dinar Abnan, M. Ardika Rifqi, dan M. Arief Alfianno mengaku prihatin kepada para kaum tunanetra. ’’Gadget buat mereka itu belum ada, kalau ada ya di luar negeri. Itu pun harganya puluhan juta rupiah,’’ ujar M. Ardika Rifqi.
Awalnya, mereka berpikir membuat sarung tangan sebagai tongkat virtual yang dapat mendeteksi tekstur tanah. Namun, mereka merasa tak ada beda dengan tongkat yang ada selama ini. Akhirnya, sepakatlah mereka membuat kacamata yang dilengkapi sensor berupa getar untuk mendeteksi apa yang ada di depan si tunanetra.
Total waktu selama setahun mereka gunakan untuk mematangkan ide dan melakukan uji coba. ’’Intinya, kami ingin membantu kaum tunanetra dengan alat ini untuk meningkatkan mobilitas dan produktivitas mereka,’’ tambah Al Dinar Abnan.
Sejauh ini, mereka telah membuat empat prototipe yang terus disempurnakan. Jika prototipe pertama masih menggunakan power bank alias tidak portabel, prototipe kedua disiasati dengan menggunakan baterai. Namun ternyata, masih ada komplain dari responden bahwa kacamata tersebut terlalu berat dan mudah turun dari mata ke hidung saat dikenakan. Karena itu, untuk model ketiga, mereka lebih merampingkan bentuk dan merekatkan lagi. Akhirnya, kacamata ketiga itu sudah laku dibeli salah seorang warga Kota Pudak.
’’Sekarang kami membuat prototipe keempat. Usul responden sih dilengkapi dengan vitur deteksi uang agar tunanetra tak mudah dibohongi,’’ terang M. Arief Alfianno.
Hasil karya mereka telah menjuarai kompetisi Indonesia Information and Communication Technology Award (INAICTA). Mereka pun berhak mengikuti kompetisi serupa tingkat Asia, Asia Pacific Information and Communication Technology Award (APICTA), November lalu. Kacamata bernama blind helper itu pulang dengan membawa perak.
Mengaku menggunakan modal Rp 300 ribu untuk komponen awal, mereka menjual satu kacamata itu dengan harga Rp 335 ribu. Sejak pulang dari Sri Lanka, tempat berlangsungnya APICTA, akhir November lalu, sudah tujuh orang yang memesan blind helper tersebut.
Pada awalnya, mereka butuh waktu selama satu tahun. Kini, untuk membuat satu kacamata, hanya dibutuhkan waktu tiga hari. Menggunakan teknologi yang juga dibuat sendiri bernama system, ketiganya menggabungkan algoritma di pemrograman dengan ICT sensor ultrasonik yang ada pada kacamata. Pengguna tak hanya mengetahui jika ada objek di depannya, tetapi juga tahu letak dan jarak lewat getar yang dihasilkan. ’’Kalau objek di kanan, getarnya di kanan. Makin dekat, getarnya makin hebat,’’ tutur Rifqi yang dalam tim tersebut berperan sebagai programer.
Tak seperti lomba karya ilmiah kebanyakan yang harus melampirkan laporan berupa karya tulis. Dalam INAICTA dan APICTA itu, mereka hanya menyertakan prototipe, video, dan presentasi di depan para investor. Ajang tersebut diikuti 16 negara se-Asia Pasifik dengan peraih emas Malaysia dengan menciptakan game yang dapat dimainkan pada smartphone. (c17/dio)