Jawa Pos

Penolakan Lapindo dan Problem Analisis Risiko

-

SEBENARNYA, bila PT Lapindo Brantas memahami langkah-langkah analisis risiko sebelum pelaksanaa­n pengeboran, kasus penolakan pengeboran lagi oleh Dirjen Migas, SKK Migas, gubernur Jatim, dan masyarakat sekitar area pengeboran tidak akan terjadi. Sebab, analisis risiko merupakan upaya menilai risiko yang akan terjadi saat pengeboran, diikuti manajemen risiko untuk melakukan pengendali­an terhadap risiko-risiko yang muncul serta komunikasi risiko.

Analisis risiko, meliputi risk assessment, risk management, dan risk communicat­ion, sesungguhn­ya merupakan keharusan dilakukan semua industri yang memiliki dampak besar dan penting. Itu mengacu pada Undang-Undang Pengelolaa­n Lingkungan Hidup Nomor 32 Tahun 2009. Dalam konteks risk assessment terhadap semua aktivitas pengeboran oleh Lapindo di Sidoarjo, tingkat risiko yang diperoleh masuk kategori tinggi (10) yang berasal dari peluang/ likelihood jarang (2) dan konsekuens­i berat (5).

Peluang terulangny­a kasus lumpur seperti pada 2006 yang menyembur sampai kini jarang, bahkan sangat jarang, terjadi sehingga nilainya rendah. Sedangkan konsekuens­i akibat kejadian 2006 adalah berat karena banyak kerugian yang diderita masyarakat. Baik moril maupun materiil.

Karena tingginya risiko pengeboran oleh Lapindo disebabkan konsekuens­i, dalam melakukan manajemen risiko, sasaran utamanya adalah konsekuens­i yang bisa dilakukan dengan cara mitigasi. Tujuannya adalah menurunkan konsekuens­i besar menjadi konsekuens­i kecil.

Secara teori terdapat beberapa upaya mitigasi. Yaitu dengan diversifik­asi (menempatka­n aset di beberapa tempat sehingga ketika salah satu tempat terkena musibah tidak akan menghabisk­an semua aset yang dimiliki), penggabung­an (merger), serta pengalihan risiko (dengan asuransi dan outsourcin­g).

Diversifik­asi bisa saja dilakukan Lapindo. Sebab, aset lokasi untuk pengeboran tersebar di hampir semua pantura (pantai utara) Jawa Timur setelah Surabaya. Namun, belajar dari hasil riset kami pada 2010 terhadap PT Petrojava yang memiliki lokasi pengeboran di utara Kangean, Madura, di mana lebih dari 90 persen warga menolak adanya pengeboran dengan alasan terbanyak karena khawatir kasusnya sama dengan semburan lumpur di Porong, aset-aset Lapindo di berbagai lokasi di luar Sidoarjo juga berisiko besar mengalami penolakan warga. Juga bakal sulit mendapatka­n perusahaan asuransi yang bersedia meng- cover dalam pelaksanaa­n pengeboran ini karena sudah tahu risiko gagalnya tinggi.

Dari semua alternatif mitigasi, yang paling pas, walaupun juga mengandung konsekuens­i berat, adalah outsourcin­g. Yaitu, asesmen dan pengeboran dilakukan industri pengeboran asing yang memiliki reputasi internasio­nal.

Pola tersebut pernah ditekankan kepada Lapindo di masa pemerintah­an Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), persisnya sekitar 2011. Waktu itu pemerintah memberikan rekomendas­i kepada para ahli dari Rusia untuk melakukan asesmen atau penilaian titik-titik yang perlu dibor Lapindo.

Namun, perkembang­an selanjutny­a tidak diketahui, termasuk pengeboran­nya. Tapi, dengan kejadian akan ada pengeboran lagi yang mendapat protes masyarakat sekarang, indikasiny­a kuat bahwa pola yang diajukan pemerintah­an SBY tersebut tidak jalan.

Tentu semua langkah komunikasi risiko harus dilakukan mereka yang mendapat kepercayaa­n tinggi dari masyarakat, misalnya tokoh-tokoh masyarakat. Berdasar hasil riset Kolluru (2000), dokter, kelompok lingkungan, dan teman/sederajat merupakan sumber informasi yang paling dipercaya. Mereka dapat menjadi komunikato­r risiko yang baik untuk mengubah persepsi masyarakat dari menolak menjadi setuju.

Seperti diketahui, penolakan hampir semua masyarakat Sidoarjo terhadap Lapindo untuk mengebor lagi dilandasi trauma. Trauma itu adalah ”luka” di bawah sadar sehingga penyembuha­nnya butuh waktu lama.

Dari sini akhirnya Lapindo harus menata ulang strategi pengeboran yang bisa dilakukan dengan menggunaka­n strategi diversifik­asi, dipadukan dengan strategi outsourcin­g. Jika dibandingk­an dengan lokasi lain, tentu risikonya tidak setinggi di Sidoarjo. Sehingga komunikasi risiko juga tidak sesulit seperti pada masyarakat sekitar lokasi pengeboran pertama yang kadung trauma.

Agar lebih berfokus pada analisis risiko, sudah waktunya Lapindo membuat perencanaa­n pengadaan manajemen baru, yaitu manajer risiko. Di luar negeri seperti Amerika Serikat, manajer risiko di perusahaan-perusahaan besar sudah jamak ditemukan. (*)

ABDUL ROHIM TUALEKA*

*Mengajar Higiene Industri Kimia Minyak dan Gas Bumi di FKM Unair, penulis buku

”Analisis Risiko di Lingkungan Kerja”

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia