Jawa Pos

Sekiranya Anda Melewatkan­nya...

- Oleh WAHYUDIN

HUJAN hampir turun pada Rabu siang, 10 Februari 2016, ketika saya tiba di gedung Yon Zipur 10, Jalan Balai Kota Pasuruan. Saya sengaja ke sana bersama pelukis Malang Dadang Rukmana, penulis seni Malang Akhmadi Budi Santoso, serta dua perupa Lamongan Jumartono dan Kris Dologh untuk menonton pameran seni rupa Gandheng Renteng #6 yang berjudul Sawone Mentah.

Pameran yang ditaja Komunitas Guru Seni dan Perupa (KGSP) Pasuruan selama sepekan, 6–13 Februari, itu tak hanya menampilka­n karya 73 senirupawa­n, tapi juga menyajikan pertunjuka­n musik, tari, wayang, seniman bicara ( artist talk), seminar seni rupa, dan bazar sandang pangan kecilkecil­an yang sebenarnya tak murah untuk kocek pemirsa murba.

Sungguh ramai suasananya. Siang itu, saya saksikan begitu banyak pengunjung keluar masuk gedung, rata-rata pelajar SMP dan SMA yang riang berfoto selfie serta giat berburu tanda tangan perupa di lembar- lembar katalog bersampul merah Imlek. Para perupa pun harus siap sedia memarafnya sebagai balas budi atas terbelinya katalog seharga Rp 15 ribu itu. Bisa dimengerti jika tak tersedia katalog cuma-cuma. Bahkan, sekadar basa-basi menawarkan­nya kepada seorang penulis yang telah merisalahk­an pameran itu di sebuah majalah seni dan gaya hidup ibu kota pun tak ada.

Selain sibuk meneken katalog serta melayani permintaan foto bersama pelajar-pelajar SMP dan SMA, sejumlah eksponen KGSP lainnya rajin berjualan kaus, drawing, dan kopi di lapak-lapak mungil samping gedung. Sambil menyelam minum air. Ada laba tak terduga dari melimpah ruahnya pengunjung muda yang ingin berpenampi­lan kekinian dan yang kehausan setelah wira-wiri mengapresi­asi karya seni rupa.

Rabu siang itu, hari kelima perhelatan, lebih kurang 3.000 pengunjung telah memirsai Gandheng Renteng #6. Seorang eksponen KGSP mengungkap­kan data itu kepada saya dengan menahan senyum. Saya tak meragukann­ya. Bahkan, sungguh-sungguh memercayai­nya. Saya mereka jumlahnya akan meraksasa pada dua hari terakhir pameran. Terbukti, pada 16 Februari siang, tiga hari setelah Gandheng Renteng #6 ditutup, saya beroleh keterangan yang mencengang­kan via SMS Wahyu Nugroho.

”Menurut bapak tentara yang bertugas sebagai juru parkir kendaraan roda dua dan roda empat,” tulis motor KGSP itu, ”karcis parkir (@ Rp 2 ribu) yang beredar sekitar 20 ribu lembar. Sebagian besar pengunjung yang menggunaka­n sepeda motor datang berbonceng­an. Sedikit sekali yang sendirian. Perkiraan juru parkir tersebut, pengunjung yang hadir sekitar 30 ribu orang.”

Dengan keterangan itu, saya kira, pengamat seni rupa bermata awas pantas untuk terkesima. Betapa tidak, 30 ribu pirsawan dalam sepekan itu sama artinya dengan rekor baru dalam sejarah kepenonton­an seni rupa kontempore­r di Indonesia. Angka itu jauh mengunggul­i angka penonton bursa seni rupa Artjog #15, yang sepanjang satu minggu dikunjungi sekitar 15 ribu orang.

Dengan begitu, Gandheng Renteng #6 patut dicatat sebagai perhelatan penting seni rupa di Indonesia pada tahun kera api ini. Apalagi, menurut keterangan Wahyu Nugroho, selama sepasar pameran, KGSP berhasil menjual katalog hingga 4.500 buku. Meskipun terbilang menurun dari angka penjualan katalog Gandheng Renteng #4 sebesar 6.500 eksemplar, hasil itu tetaplah menakjubka­n, terutama mengingat harganya yang lebih mahal Rp 5 ribu. Itu pun sebuah rekor lain lagi. Sepengetah­uan saya, belum pernah ada pameran seni rupa di tanah air, bahkan Artjog, yang bisa menjual katalog sebanyak itu.

Dengan dua rekor itu, saya kira, KGSP layak dapat tempat di Museum Rekor Dunia Indonesia (Muri). Tapi, itu bisa jadi tak penting bagi Wahyu Nugroho dan kawan-kawan perupa di Pasuruan. Sebab, sejatinya mereka menggelar Gandheng Renteng sejauh ini demi harapan yang terkesan bersahaja, alihalih menjelma kenyataan yang menjulang.

” Target kami, pergerakan seni rupa Pasuruan mendapat perhatian dari publik yang lebih luas. Syukur-syukur bisa mendapat tempat di khazanah seni rupa Indonesia,” kata Wahyu Nugroho.

Pada hemat saya, target itu sudah tercapai, terutama lewat Gandheng Renteng #4 dan #6 yang berhasil membangkit­kan antusiasme begitu banyak orang atas pameran seni rupa di Pasuruan. Sehingga mereka wajib bersyukur, betapa daya cipta tanpa dana pemerintah itu tak sia-sia. Setidaknya berguna untuk meningkatk­an apresiasi seni rupa di kalangan anak muda serta menumbuhka­n kreativita­s perupa muda di sana.

Pada titik itu, aneh bin ajaib, saya seperti dipaksa menghadapi keadaan yang paradoksal. Pada satu sisi, saya harus mengakui kegemilang­an Gandheng Renteng #6 sebagai peristiwa artistik di tingkat lokal yang menjulangk­an kepenonton­an seni rupa secara menakjubka­n. Tapi, pada sisi lain, saya sulit untuk tak mengungkap­kan bahwa pameran itu memajang puluhan karya seni rupa dengan tampilan yang berantakan dan pencahayaa­n nan suram di dalam gedung yang kusam.

Keadaan itu sungguh jauh berbeda dengan keadaan pameran Gandheng Renteng #5 berjudul Kecipir Mrambat Kawat di Taman Budaya Yogyakarta (TBY) pada 13–20 November 2015. Sekalipun tak beroleh penonton sebanyak di gedung Yon Zipur 10, Pasuruan, pameran itu mengusung karya-karya seni rupawan Pasuruan terpilih yang memungkink­an pemirsa kontempore­r terpelajar masuk-menemu perkembang­an estetis dan pencapaian artistik seni rupa mutakhir di pusat pelelangan ikan Jawa Timur itu.

Sebaliknya, pada Gandheng Renteng #6, saya seolah-olah melihat karya-karya seni rupa yang iseng sendiri, bahkan tampak sok agung dengan keberantak­an mereka, tapi begitu kikuk berkomunik­asi dengan pemirsa, terutama pemirsa muda yang kerap tergoda menjamah mereka.

Seorang teman perupa menggarisb­awahi keadaan miris itu sebagai ”tumbal” heroisme KGSP di luar gedung yang hiruk pikuk. Alih-alih menebalkan citra utilitaria­nisme estetis, hiruk pikuk itu justru membuat sepet mata pemirsa seni rupa yang berniat sangat meresepsi karyakarya seni rupa yang dipamerkan.

Atas keadaan itu, saya tak ingin menyimpulk­annya sebagai semacam penyepelea­n keji. Saya justru ingin memahaminy­a sebagai momen kebenaran yang memungkink­an KGSP melakukan swakritik. Bahwa aktivitas artistik seperti pameran seni rupa memiliki konsekuens­i praktis yang menuntut kepekaan penajanya akan yang tak terperhati­kan pemirsa awam sebagai peluang estetis untuk berdaya cipta paripurna dengan fokus yang lebih tajam kepada apa-apa yang kelak merayap tanpa terkatakan atau sengaja tak sengaja terlewatka­n seusai perhelatan.

Itu semua bisa dimulai dari mengecat dinding yang lembap, menambal genting yang bocor, dan memperbaik­i kamar kecil yang becek, gedung Yon Zipur 10. Bukankah di gedung itu pula KGSP akan menggelar Gandheng Renteng #7 pada 2017? (*)

Kurator seni rupa, tinggal di Jogjakarta

 ?? WAHYUDIN FOR JAWA POS ?? Sepet-Sepet BINCANG SENI RUPA: Diskusi yang menyertai pameran seni rupa Gandheng Renteng #6 di gedung Yon Zipur 10, Jalan Balai Kota Pasuruan, 6-18 Februari 2016.
WAHYUDIN FOR JAWA POS Sepet-Sepet BINCANG SENI RUPA: Diskusi yang menyertai pameran seni rupa Gandheng Renteng #6 di gedung Yon Zipur 10, Jalan Balai Kota Pasuruan, 6-18 Februari 2016.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia