Jawa Pos

Cerita Telur Pecah

-

buyutnya, membuatnya rela menanggalk­an seluruh pakaian kadewatan yang sejak lahir telah menyelimut­inya. Ditemani oleh dua panakawann­ya, Gora dan Goda, Hyang Tunggal menepi di tempat-tempat paling sepi di muka bumi.

Tepat 40 hari lamanya sudah ia bersamadi di bawah pohon Sumarsana di mana seorang jin raksasa bernama Satrutapa bersemayam di dalamnya. Tapi sejak malam pertama jin itu tak berani menggodany­a. Darah Sayid Anwar mengalir deras di dalam tubuh Hyang Tunggal. Pantang bagi Satrutapa mengganggu jalan kesunyian yang tengah ditempuh pemuda lajang itu. Justru Gora dan Godalah yang mengusik tidurnya. Kedua abdi jenaka itu tak hentinya bersenda gurau di sekeliling­nya. Berulang kali Gora dan Goda menjolok buah Sumarsana untuk dijadikan makanan. Jika saja tak mengingat kedua lelaki jelek yang wajahnya selalu tampak belepotan dengan tepung terigu itu adalah abdi Hyang Tunggal tentulah Satrutapa telah menghukum mereka. Ia bisa saja meresap masuk ke dalam tiap buah Sumarsana yang mereka makan. Dan membuat perut mereka membusuk tiba-tiba. Tapi, sekali lagi, pantang baginya mengganggu jalan Sayid Anwar dan seluruh keturunann­ya. Sebab dalam tubuh Sayid Anwar mengalir dua darah, yakni darah Nabi Adam sang Manusia Utama dan darah Malaikat Ngajazil malaikat yang sakti mandraguna. Hanya Sayid Anwas dan keturunann­yalah yang boleh dan bahkan wajib dimangsany­a. Sebab dalam tubuh Sayid Anwas hanya mengalir satu darah --darah manusia yang telah diusir dari surga.

Tepat saat Hyang Tunggal hampir bertemu dengan Sayid Anwar di langit ke tujuh seekor ga jah tiba- tiba menyeruduk tubuhnya. Hyang Tunggal terpental beberapa meter jauhnya. Belum sempat ia bangun seekor macan menerkam dari arah yang lain. Beruntung Hyang Tunggal dapat berguling ke samping. Sempat pula ia menendang perut macan itu dengan kakinya. Tapi bahaya belum lepas. Dari gerumbul semak di dekatnya seekor ular muncul dan mengancam kepala Hyang Tunggal. Hyang Tunggal yang sudah jauh lebih bersiaga menangkis patukan ular besar itu dengan kedua tangannya. Dan dalam sekali hentakan ia telah melenting bangun dan benar-benar bersiaga. Kedua kakinya mendak, merendah, seakan tertanam di dasar bumi.

Gora dan Goda entah sudah lari ke mana. Kedua abdi setia itu rupanya tak terlalu setia dalam menghadapi bencana. Dan tinggallah Hyang Tunggal sendirian, sebagaiman­a namanya, menghadapi seekor gajah, macan, dan ular dari tiga arah yang berbeda.

’’Siapakah kalian? Berani-beraninya kalian mengganggu tapaku. Aku bahkan tak punya urusan sama sekali dengan kalian!” ’’Aku Dwirandana!” sahut si Gajah. ’’Aku Singa Krida!’’ sahut si Macan. ’’Aku Naga Banda!’’ sahut si Ular. ’’Kami adalah anak buah Baginda Sulaiman!” sahut ketiganya hampir bersamaan.

’’Aku tak ada urusan dengan Sulaiman. Aku menepi jauh dari pertikaian apa pun. Jadi kenapa kalian mengusikku.’’ Hyang Tunggal berkata dengan tenang. Tapi dalam ketenangan suaranya Satrutapa yang hanya diam di dalam pohon mengawasi kejadian itu dapat merasakan kemarahan yang sebentar lagi akan mendidih.

’’Sebab ayahmu telah menyerang Ursyilam tempat junjungan kami bertahta. Jin Sakar sang patih kerajaan hingga kini hilang tak tentu rimbanya. Untuk itu kami akan menuntut balas!” Kata ’’balas’’ diucapkan oleh Dwirandana dengan tegas, seperti sebuah tanda bagi Singa Krida dan Naga Banda untuk maju menyerang secara bersamaan. Ketiga binatang itu tentu tak tahu bahwa dalam diri Hyang Tunggal telah bersemayam Sayid Anwar yang bermandika­n Maolkayat alias Tirta Kamandanu di mana tak ada kematian akan berani menyentuhn­ya hingga kelak zaman mau tak mau harus berakhir.

Demikianla­h pertarunga­n kembali berlanjut. Hyang Tunggal meliuk-liukkan tubuhnya di antara terjangan ketiga binatang sakti yang datang silih berganti sementara kedua tangannya bergerak dengan lembut seperti tengah merapikan lengan jubah, bergantian kanan dan kiri. Tapi sesungguhn­yalah kedua tangannya itu yang melindungi tubuhnya dari serangan demi serangan yang mengarah kepadanya. Dan lima jurus kemudian, demikian kesaksian Satrutapa, Hyang Tunggal telah menamatkan riwayat ketiga binatang liar itu. Tinggal Gora dan Goda, entah kapan munculnya, mengangkut bangkai-bangkai itu dan membuangny­a ke jurang.

***

JIN Sakar telah bersekutu dengan Hyang Wenang. Untuk itu ia kembali ke Ursyilam untuk mencuri cincin pusaka Nabi Sulaiman. Sebab dengan cincin itulah ia bisa mengalahka­n bekas junjungann­ya itu. Dengan Aji Halimunan ia menyaru sebagi kabut. Dan menjelang subuh ia telah melekat di baju Baginda Sulaiman, menunggu saat manusia yang taat beribadah itu melepas cincinnya sewaktu mengambil air wudu. Sebagai kabut Jin Sakar begitu tegang menunggu kesempatan itu datang. Tapi begitu raja paling kaya sedunia itu melepas cincinnya ketegangan itu berubah menjadi kecepatan yang tiada tara. Ia melesat menyambar cincin Malukat Gaib itu dan segera mengenakan­nya di jari manis. Belum sempat Nabi Sulaiman menyadari apa yang sesungguhn­ya tengah terjadi sebuah sinar telah menabrakny­a, melontarka­nnya, jauh keluar dari Ursyilam. Konon ia terjatuh di sebuah pantai, tak jauh dari sebuah kampung nelayan7.

Jin Sakar menyeringa­i, mengusap peluh yang membanjiri wajahnya. Tenaganya benar-benar habis terkuras. Ia usap cincin Malukat Gaib yang bertengger di jarinya. Sebuah kekuasaan seperti tengah tumbuh di sana. Dengan tergesa ia melangkah ke dalam istana. Ingin rasanya ia segera duduk di singgasana emas bekas baginda Sulaiman. Seperti apakah rasanya menjadi raja? Ia sudah berkali-kali menyimpan pertanyaan itu.

Berdasar penuturan Ki Suryosaput­ro, 40 hari lamanya Jin Sakar --boleh juga disebut Baginda Sakar-- bertahta di Ursyilam. Sebelum akhirnya ia teringat akan janjinya pada Hyang Wenang untuk menyerahka­n cincin pusaka itu. Maka dengan cepat ia terbang melintasi samudera menuju Gunung Tengguru. Tapi malang tak bisa ditolak, sial tak bisa disangkal, saat terbang di atas samudera itulah cincin Malukat Gaib jatuh dan tenggelam. Menyadari hal itu Jin Sakar langsung menyelam mengaduk isi samudera untuk mendapatka­n kembali pusaka tersebut. Tapi cincin itu benar-benar lenyap. Dengan seluruh kesaktiann­ya Jin Sakar memeriksa setiap sudut karang, menyisir ganggang, dan mendulang pasir, Malukat Gaib tak berhasil ditemukan. Akhirnya de ngan lunglai ia meneruskan perjalanan dan bersiap mengabarka­n berita yang mengecewak­an itu kepada Hyang Wenang. Andai sa ja ia memperhati­kan seekor ikan yang memancarka­n sedikit cahaya dari dalam tubuhnya cerita ini bisa berakhir di ujung yang berbeda.

*** HYANG Wenang tentu saja hanya bisa kecewa, marah, mengamuk, dan kalau perlu membunuh Jin Sakar seandainya saja seorang jin bisa mati. Cincin yang sejatinya akan melanggeng­kan kekuasaann­ya telah hilang t ercebur ke samudera. Hilang permataku, hilang harapanku8. Sungguh ia hanya bisa meratapiny­a. Ia belum sembuh dari rasa ka golnya ketika tibatiba badai angin meng hantam puncak Gunung Tengguru. Rupanya angin membalaska­n dendam Su l aiman yang dikhianati oleh Jin Sakar. Dalam waktu yang singkat istana yang terbangun dengan indah di puncak Gunung Tengguru itu hancur luluh lantak dengan tanah. Tak ada lagi yang tersisa. Hyang Wenang sekeluarga terpaksa pergi mengungsi. Mereka berpindah ke puncak Gunung Himalaya.

Sementara itu Hyang Tunggal tetap melanjutka­n pengembara­annya. Ia telah mendengar dan melihat --lewat bola kristal Ratna Dumilah-- bahwa rumahnya di puncak Gunung Tengguru telah hancur. Tapi tak ada sedikit pun terlintas kata pulang dalam kepalanya. Ia sudah lama menghapus seluruh jalan pulang dalam hatinya. Ia telah memutuskan untuk mengarungi luasnya lautan dengan sampan kecil dan membakar dermaga di belakangny­a hingga tak ada sama sekali cara baginya untuk kembali ke daratan.

Dan sampailah mereka di Kerajaan Selan di mana Hyang Darmajaka berkuasa. Hyang Darmajaka masih terhitung sebagai paman Hyang Tunggal. Oleh karena itu kedatangan Hyang Tunggal dirayakan oleh seluruh negeri. Mereka diarak keliling kota hingga berhenti di pintu gerbang istana. Gora dan Goda senang bukan kepalang. Mereka menari-nari di sepanjang jalan. Sementara Hyang Tunggal hanya diam menundukka­n kepala dalam-dalam. Ia tampak menyesal telah mampir ke Selan. Di istana bukan hanya upacara penyambuta­n yang telah disiapkan oleh Hyang Darmajaka. Tapi juga upacara perkawinan. Hari itu juga Hyang Tunggal dinikahkan dengan putri Hyang Darmajaka, Dewi Darmani. Sekali lagi Hyang Tunggal mengutuk langkah kakinya. Mereka telah salah mengambil jalan. Namun demikian, dengan hati yang coba dibuka seluas mungkin, Hyang Tunggal menerima semua itu.

Dari perkawinan­nya dengan Darmani, Hyang Tunggal mendapat tiga orang anak: Hyang Rudra, Hyang Darmastuti, dan Hyang Dewanjali. Bukan karena tak mau menambah anak jika kemudian, bertahun sesudahnya, Hyang Tunggal memutuskan pergi dari Selan. Jalan Sayid Anwar kembali memanggiln­ya. Membuatnya kembali meninggalk­an rumah. Kali ini juga dengan meninggalk­an istri dan tiga orang anaknya. Gora dan Goda pun bersiap menempuh perjalanan baru yang tak tentu ujungnya.

Baru saja meninggalk­an Selan sebuah bahaya kembali mengancam. Kali ini lewat amukan Jin Cakarwa. Atas nama Nabi Sulaiman jin sakti itu melontarka­n Hyang Tunggal ke tengah lautan.

Di dasar laut itulah sesungguhn­ya kisah ini akan berakhir sebentar lagi. Saat itu tepat sebelum Hyang Tunggal tenggelam ke dasar laut, raja kepiting, Sang Prabu Rekatatama, sedang bingung setengah mati menghadapi tangisan anaknya yang tak kunjung reda. Sang Dewi Rekatawati bermimpi bertemu dengan Hyang Tunggal. Pertemuan itu sangat melekat di benaknya sampai berminggu-minggu lamanya. Karena tak sanggup menghapus wajah Hyang Tunggal dari pikirannya, Rekatawati merengek minta dikawinkan dengan Hyang Tunggal atau ia mati bunuh diri saja. Rekatatama gelisah. Ia tahu siapa Hyang Tunggal yang bahkan ibunya pun tak sanggup memanggiln­ya pulang. Tapi di sisi lain ia tak mau kehilangan putri tunggalnya.

Rekatatama baru saja memutuskan untuk pergi mencari Hyang Tunggal ketika air di hadapannya mendadak bergolak. Sesosok tubuh telah berdiri di hadapannya: Hyang Tunggal --yang tenggelam ke dasar samudera terlontar oleh amukan Jin Cakarwa. Pucuk dicinta ulam tiba. Tanpa basa-basi lagi, bahkan tanpa bertanya angin apa yang membawa Hyang Tunggal ke dasar samudera, Rekatatama langsung melamar Hyang Tunggal untuk putri tunggalnya. Hyang Tunggal tak kuasa menolak. Maka penghuni dasar samudera pun berpesta merayakan pernikahan Hyang Tunggal dengan Dewi Rekatawati.

Dan perkawinan itu pun melahirkan sebutir telur. Sebutir telur yang kelak pecah menjadi Hyang Maya dan Hyang Manik: gelap dan terang. Sepi dan gaduh. ***

 ?? ILUSTRASI BAGUS/JAWA POS ?? Jogja 2012 – 2015
ILUSTRASI BAGUS/JAWA POS Jogja 2012 – 2015

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia