Jawa Pos

Soal Parpol yang Tak Usung Paslon

Rumusan revisi UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota –yang populer disebut UU Pilkada– hingga saat ini masih dibahas internal pemerintah. Salah satu fokusnya adalah pasal-pasal terkait pencalonan. Terutama antisipasi te

-

KEMENTERIA­N Dalam Negeri (Kemendagri) dan Kementeria­n Hukum dan HAM (Kemenkum HAM) melakukan rapat pembahasan harmonisas­i revisi UU Pilkada berapa waktu lalu. Salah satu hasilnya memutuskan bahwa pencalonan kepala daerah adalah kewajiban setiap parpol. Mekanisme sanksi pun akan diterapkan kepada parpol yang tidak mengusung pasangan calon (paslon) dalam pilkada.

Awalnya, pemerintah mempertimb­angkan dua opsi dalam mengatasi masalah pencalonan tunggal. Yakni, pembatasan syarat maksimal dukungan paslon atau pemberian sanksi. Bentuk sanksi yang ditawarkan adalah parpol yang tidak mengusung paslon dilarang ikut dalam pelaksanaa­n pilkada selanjutny­a di daerah bersangkut­an.

Keputusan pemerintah itu mendapat respons yang berbeda di internal Komisi II DPR. Anggota Fraksi PDIP Arif Wibowo tidak sependapat diterapkan­nya sanksi bagi parpol yang tidak mengajukan calon dalam pilkada. ’’Itu (pemberian sanksi, Red) inkonstitu­sional. Mencalonka­n kepala daerah adalah hak parpol,’’ kata Arif kemarin (21/2).

Menurut Arif, sesuatu yang sifatnya hak tidak boleh dipaksakan menjadi kewajiban. Dia beralasan ada keadaaan atau situasi di daerah yang membuat parpol tidak ikut mencalonka­n kepala daerah. ’’Pencalonan itu berdasar pertimbang­an internal parpol. Makanya, tidak boleh dipaksa. Kalau ada kerugian, yang rugi kan parpol sendiri,’’ ujarnya.

Menurut Arif, memaksakan parpol untuk bisa mengajukan calon adalah sebuah pelanggara­n. Sebab, parpol memiliki hitung-hitungan dalam mengajukan calon. ’’Pencalonan itu kan juga butuh biaya. Memangnya negara mau kasih kompensasi biaya apa,’’ lanjut wakil ketua Fraksi PDIP itu.

Wakil Ketua Komisi II Lukman Edy punya pandangan yang berbeda. Anggota Fraksi PKB itu menyatakan sependapat dengan opsi sanksi yang diajukan dalam draf pemerintah. ’’Iya, kami setuju,’’ kata Lukman.

Saat ada kesepakata­n bahwa revisi UU Pilkada merupakan hak inisiatif pemerintah, jelas Lukman, Komisi II DPR memang meminta pemerintah merumuskan solusi atas permasalah­an pilkada serentak 2015. Salah satu yang mencuat adalah fenomena pasangan calon tunggal.

’’Kami memang meminta pemerintah supaya ada ramburambu dalam pencalonan tunggal,’’ ujarnya. Meski masih ada perbedaan pandangan terkait dengan pencalonan tunggal, lanjut Lukman, sudah ada kesamaan prinsip terkait upaya menarik minat calon dalam pilkada.

Lukman menilai harus ada kelonggara­n bagi siapa pun yang ingin maju dalam pilkada tanpa embel-embel pembatasan. Syarat kewajiban mundur bagi PNS, TNI, Polri, anggota DPR, DPRD, maupun DPD yang ingin maju calon dalam pilkada seharusnya dihapus. ’’Pengaturan terhadap syarat calon tidak boleh diskrimina­tif. Siapa pun orang yang maju tidak harus mundur. Cukup cuti,’’ ujar Lukman.

Arif juga sepakat dengan usulan bahwa siapa pun yang nyalon di pilkada cukup mengajukan cuti dalam waktu tertentu. Mekanisme itu memperbesa­r keinginan calon yang enggan maju karena persyarata­nnya mewajibkan untuk mundur. Padahal, kata Arif, calon kepala daerah yang maju harus berku- alifikasi pemimpin. Salah satu syarat pemimpin adalah teruji dalam kontestasi pemilihan. Contohnya, anggota DPR dan DPRD. ’’Kalau terpilih nanti, dia wajib mundur. Kalau tidak, ya kembali ke habitatnya,’’ ujarnya.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga telah mengajukan poin revisi UU Pilkada kepada pemerintah. Setidaknya ada 73 poin yang diusulkan KPU dalam revisi kali ini.

Komisioner KPU Ferry Kurnia Rizkiyansy­ah mengatakan, 73 poin itu disusun berdasar evaluasi pelaksanaa­n Pilkada 2015. Baik dari internal, lembaga pemantau, akademisi, maupun Mahkamah Konstitusi (MK). Fokus usulannya meliputi daftar pemilih tetap (DPT), sengketa pencalonan, dana kampanye, sengketa pemilihan, hingga yang bersifat teknis seperti pemungutan suara.

Untuk dana kampanye misalnya. KPU meminta bahan dan alat peraga tidak lagi diatur jajarannya. ’’Tinggal debat dan iklan dibiayai oleh kami. Alat peraga dan bahan kampanye dibiayai paslon. Tetapi, kami atur jumlah dan teknisnya,’’ terangnya.

Terkait dengan pencalonan, KPU juga mempertimb­angkan untuk merevisi persyarata­n. Misalnya, batasan jumlah dukungan parpol untuk menghindar­i adanya paslon memborong partai.

Kemendagri juga sudah menyiapkan beberapa usulan dalam draf revisi UU yang disusunnya. Pelaksana Tugas Sekretaris Dirjen Otda Kemendagri Anselmus Tan menjelaska­n, ada 15 pasal yang akan diusulkan pemerintah untuk direvisi. Yakni, pasal 1, 11, 13, 41, 64, 71, 85, 153, 157, 162, 163, 165, 166, 200, dan 201. Selain antisipasi pencalonan tunggal, diatur pembatasan dana kampanye. (bay/far/c6/pri)

 ?? MIFTAHULHA­YAT/JAWA POS ?? GUNAKAN HAK PILIH: Warga meninggalk­an TPS setelah mencoblos saat pilkada Kota Depok, Jawa Barat, 9 Desember 2015.
MIFTAHULHA­YAT/JAWA POS GUNAKAN HAK PILIH: Warga meninggalk­an TPS setelah mencoblos saat pilkada Kota Depok, Jawa Barat, 9 Desember 2015.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia