Rio Meluncur dari Negeri Makelar
PEMBALAP muda Rio Haryanto menjadi pewujud impian Indonesia untuk bisa tampil di arena bergengsi Formula 1. Rio seolah menjadi anggur segar dan manis yang mampu membebaskan (untuk sementara) kesumpekan hati Indonesia yang selama ini didera krisis ekonomi, krisis kepemimpinan, dan krisis kebudayaan.
Bisa tampil di arena F1, otomatis Rio mengangkat nama Indonesia di mata dunia internasional. Pesan yang disampaikan sangat jelas, ’’Hei…kalian mesti tahu, Indonesia itu ada. Kami negeri besar dan beradab. Bukan negeri miskin, kaya koruptor, dekaden, rusuh, sarat intoleran, terorisme, dan barbar!’’
Pesan itu lebih lantang bilang, ’’Indonesia tidak miskin. Tidak. Harta kekayaan kami melimpah! Kalau kalian melihat kemiskinan kami, itu hanyalah gejala permukaan belaka. Menukiklah lebih dalam, pasti kalian tahu bahwa kami sangat kaya. Cuma, kekayaan kami sedang dikuasai para konglomerat, koruptor, elite politik oligarkis, juragan-juragan parpol, birokrat-birokrat tamak, para komprador.’’
Dunia terenyak. Pesan itu masih saja nerocos, ’’Kami ini bangsa yang sangat bermartabat. Untuk urusan harga diri, gengsi sosial, apalagi di level internasional, kami tak segansegan cucul, mengorbankan apa saja, termasuk uang. Kehormatan memang harus dijunjung tinggi. Karena hanya dengan martabat dan kehormatan kami jadi ada. Hadir. Termasuk di arena balap Formula 1. Kami juga mampu dan berani bersaing dengan kalian. Paham?’’
Fenomena Formula 1 Rio Haryanto tidak hanya menyiratkan kebanggaan yang serius (terutama di lapisan elite kekuasaan), tapi juga kepanikan. Kebanggaan itu masuk akal karena bangsa Indonesia mi skin prestasi di bidang olahraga. Dana triliunan telah dikucurkan, tapi olahraga kita tetap melempem. Termasuk di olahraganya yang paling populer: sepak bola. Pengeroposan Karakter
Rio menjadi media untuk memanggil kejayaan masa lalu Indonesia. Sebuah impian nostalgik yang khas dimiliki bangsa yang mengalami krisis nilai, krisis etik, dan etos yang bermuara pada krisis kepercayaan diri.
Maka, di tengah kebanggaan yang berbuncah-buncah atas prestasi Rio, sejatinya terkandung kepanikan serius, bahkan mengerikan. Yakni, kepanikan atas eksistensi sebuah bangsa yang dirasakan semakin keropos akibat involusi, stagnasi, dan hilangnya karakter.
Kenyataan yang paling jelas terbaca adalah bangsa kita semakin serius menjadi bangsa konsumen. Bukan hanya di dalam barang dan jasa, melainkan juga gagasan.
Bukan hanya masyarakat yang mengidam kemiskinan gagasan, melainkan juga para pemimpinnya. Yang dilakukan hanyalah copy paste pikiran bangsa lain yang celakanya belum tentu relevan dengan persoalan bangsa kita.
Hilangnya mentalitas produsen nilai dan kreativitas pada bangsa kita salah satunya disebabkan tidak terkondisinya iklim budaya penciptaan. Ini tidak terlepas dari ketidakmampuan elite politik, elite kekuasaan, dan elite budaya untuk merumuskan strategi kebudayaan yang mampu menjawab persoalan aktual, terutama terkait dengan penguatan ekonomi kapitalistis, liberalisme budaya yang dipompa kuasa modal.
Taruhlah di dalam menghadapi industri hiburan televisi, budaya gadget, dan media sosial, pemerintah tak mampu menciptakan sistem untuk mengatur dan memproteksi agar masyarakat tidak ditelan habis dan nilai-nilai budaya kita tidak tergerus.
Pemerintah cenderung abai. Mereka tidak gelisah melihat anak-anak muda yang tumbuh menjadi pribadi soliter, egoistis, akibat menguatnya budaya online –dengan seluruh dekadensinya– yang tidak diimbangi oleh budaya offline: kultur tatap muka yang memungkinkan interaksi pribadipribadi secara total.
Masih tidak malu berkoar soal revolusi mental? Jargon itu kini semakin ditertawakan publik. Bagaimana sebuah revolusi bisa terjadi jika hanya dikawal oleh pasukan bernama verbalisme, pidatopidato, imbauan-imbauan?
Revolusi –bertujuan membongkar dan mengubah– selalu mengandung unsur pemaksaan oleh kekuasaan. Termasuk revolusi mental yang semestinya dijalankan secara konseptual, visioner dengan sistem kekuasaan dan aparatus negara.
Dan, revolusi mental itu mestinya lebih diprioritaskan pada para penyelenggara negara/pemerintahan. Sebab, keruhnya negeri ini lebih disebabkan kekeruhan di tingkat hulu. Salah satu caranya adalah penegakan hukum yang konsisten dan tegas.
Bagaimana mungkin impian itu terwujud jika para penyelenggara negara dan pemerintahan masih suka memelihara mental korup dan kompromi terhadap korupsi (disertai ramah pada kaum koruptor)? Indikatornya, antara lain, upaya pelemahan KPK melalui revisi UU KPK.
Negeri ini tidak akan menjadi kuat, besar, dan bermartabat sepanjang dikuasai para pemimpin bertipe pemburu rente dan bermental makelar yang hanya mencari keuntungan dalam tawarmenawar kekuasaan. Para politikus hanya membela rakyat ketika tidak berkuasa. Tapi, ketika berkuasa, orientasi politiknya berbalik total menyembah kekuasaan yang jauh dari rakyat.
Negeri (yang dikuasai) makelar adalah tanah tandus bagi pertumbuhan nilai-nilai kebudayaan. Kebudayaan cenderung dimaknai sebagai ritus, simbol-simbol artifisial yang dieksploitasi ke dalam berbagai kepentingan pragmatis.
Kebudayaan tidak lagi dimaknai sebagai sistem nilai (etik, moral, norma), gagasan, perilaku, dan penciptaan kreativitas yang bermuara pada kualitas peradaban. Melainkan dipahami sekadar aksesori, rumbai-rumbai pemanis kekuasaan demi anggapan yang terus dipelihara: bangsa yang berbudi luhur.
Sulit menemukan ruang hidup bagi nasionalisme karena basis nasionalisme tidak jelas lagi akibat berubahnya negara menjadi pasar. Tak ada lagi penyelenggara negara berkapasitas negarawan. Kecuali sekumpulan panitia pasar bebas yang dikepung para makelar. Dari negeri seperti itulah Rio Haryanto meluncur menuju arena Formula 1. (*)
INDRA TRANGGONO*
*) Pemerhati Kebudayaan
dan Sastrawan