Kasus Ipul, Rating, dan Kehati-hatian
MENDADAK jagat hiburan kita heboh. Pedangdut Saipul Jamil yang setiap hari tampil sebagai komentator-juri di acara D’Academy dilaporkan melakukan pelecehan seksual. Tak perlu menunggu lama, kurang dari 24 jam, pria yang akrab disapa Bang Ipul itu pun ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan di Mapolsek Kelapa Gading, Jakarta Utara.
Cukup mudah menjeratnya. Dari laporan korban DS, 17, serta bukti pengakuan Ipul, sudah cukup bagi polisi mengubah statusnya dari saksi menjadi tersangka. Ipul akan dikenai pasal 82 ayat 2 UndangUndang (UU) Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Kalau kelak terbukti, Ipul terancam hukuman maksimal 15 tahun atau denda Rp 300 juta.
Kasus Ipul sebenarnya hanya liputan kriminalitas biasa. Hanya, karena dia artis yang sering muncul di TV, akhirnya kasusnya menjadi perhatian yang melebihi biasanya. Hampir semua program infotainment menjadikannya laporan utama.
Ipul sendiri mendapat predikat sebagai artis dangdut bukan karena banyak album atau karya cipta. Dia populer karena orbitan stasiun TV. Ipul boleh dibilang beruntung karena berparas ganteng. Fenomena pada sepuluh tahun terakhir, walau albumnya tidak meledak, Ipul mampu mengisi kekosongan penyanyi pria di jagat hiburan TV. Ini berbeda dengan juri D’Academy lainnya yang berjuang melalui puluhan album dan lagu seperti Iis Dahlia dan Rita Sugiarto.
Ipul pun tak masuk PAMMI (Persatuan Artis Musik Melayu Indonesia) yang selalu memberikan pembinaan kepada anggota. Nama Ipul meroket karena berhasil memanfaatkan kekosongan host di stasiun TV yang kerap menayangkan program dangdut.
Karena popularitas Ipul itu, wajar memang bila media menaruh perhatian besar. Anggap saja ini sebagai bentuk kontrol sosial. Tapi, jangan mem- blow up secara berlebihan, khususnya menyangkut perilaku seksnya.
Titik rawannya berada di kata-kata yang berkaitan dengan kronologi hubungan seks. Kontrol sosial media harus tetap diarahkan agar perilaku sejenis itu tidak sampai ditiru. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), sesuai dengan UU 32/2002 tentang Penyiaran, juga mesti tegas dalam menerapkan hukuman bagi media yang overacting atau lebay (berlebihan).
Liputan stasiun TV harus tetap berpedoman pada Peraturan KPI 2012 tentang P3-SPS (Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran). Khususnya mewaspadai narasi dan gambar dalam liputan perilaku seks menyimpang.
Terkait Ipul, memang belum diketahui apakah dia bisa digolongkan sebagai gay atau biseksual. Tapi, yang jelas, kasus dugaan pelecehan seks yang melibatkan dirinya itu memiliki batasan yang tegas dalam aturan tayangannya. Antisipasi Liputan Melanggar
Mumpung kejadian ini masih tahap awal, penulis menyarankan agar media perlu mengantisipasi. Mengapa? Berdasar pengalaman sebelumnya, acap kali infotainment cenderung berlebihan dalam membuat liputan.
Bisa kita ingat ketika Krisdayanti (KD) bercerai dengan Anang dan berpacaran dengan Raul Lemos, begitu heboh infotainment meresponsnya. Sampai banyak stasiun TV yang dijatuhi peringatan oleh KPI. Begitu pula kasus Ariel dengan Luna Maya dan Cut Tari.
Yang terbaru adalah Kompas TV. KPI pusat, berdasar pengaduan masyarakat dan pemantauan serta hasil analisis, menilai program siaran jurnalistik ”Program Khusus: LGBT Haruskah Dicemaskan?” pada 11 Februari 2016 pukul 22.01 WIB tidak memperhatikan ketentuan tentang prinsip-prinsip jurnalistik sebagaimana diatur P3-SPS.
Program tersebut menayangkan talk show fenomena LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender) dengan mengundang beberapa narasumber dari berbagai latar belakang. Program itu memberikan kesempatan kepada setiap narasumber untuk mengemukakan pandangan masing-masing. Namun, proporsi narasumber yang dihadirkan dinilai tidak seimbang antara pihak yang pro dan kontra terhadap LGBT.
Kita berharap, pada kasus Ipul, media bisa lebih berhati-hati. Mengejar rating tak sepatutnya jadi alasan media untuk melanggar ketentuan. Media harus tetap mempunyai tanggung jawab untuk melakukan kontrol atas fenomena sosial yang menyimpang.
Berdasar pasal 5 UU 32/2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran), penyiaran diarahkan untuk menjaga dan meningkatkan moralitas dan nilai-nilai agama serta jati diri bangsa. Media hendaknya lebih memperhatikan prinsip-prinsip jurnalistik. (*)
*Pengajar hukum pers di Fakultas Dakwah UIN Sunan Ampel Surabaya dan mantan komisioner
KPID Jawa Timur