Jawa Pos

Blusukan ke RS Jiwa untuk Asah Kekayaan Bahasa

Pekerjaan sampingan yang ditekuni Andik menuntut dirinya paham berbagai konteks bahasa. Mulai bahasa baku, bahasa gaul, bahasa orang bertengkar, hingga bahasa orang gila. Andik Yulianto, Dosen Unesa yang Juga Ahli Bahasa Kasus-Kasus Polda

-

Daerah Jawa Timur. Isi dua surat itu serupa. Yakni, meminta Andik untuk menjadi saksi ahli dalam kasus-kasus kriminal.

Laki-laki kelahiran Sidoarjo, 24 Juli 1974, itu pun dengan siap mengemban amanat tersebut. Selain tetap mengajar, dia kini menjalanka­n amanat lain dengan membantu kepolisian untuk menjadi saksi ahli. ” Ya, dijalani dengan sebaikbaik­nya,” kata dosen bahasa dan sastra Indonesia Unesa tersebut.

Pekerjaan ”sampingan” sebagai saksi ahli tersebut dia mulai sejak 2008. Saat itu, tingkatann­ya masih kepolisian sektor (polsek). Lalu, meningkat ke tingkat kepolisian resor (polres), hingga ke kepolisian daerah (polda). ”Kira-kira ada 60–70 kasus, mungkin lebih,” katanya menghitung jumlah kasus yang melibatkan­nya sebagai saksi ahli.

Saat menjadi saksi ahli, tugas Andik adalah menganalis­is bahasa-bahasa yang digunakan. Terutama bahasa yang digunakan pihak terlapor yang lantas menjadi delik aduan. ”Mana kata-kata, kalimat yang dianggap fitnah, mengandung SARA, atau memaki,” ungkapnya.

Dahulu materi kasus yang melibatkan ahli bahasa lebih banyak berkutat di seputar pertengkar­an suami-istri. Biasanya, salah satu pihak tidak terima dengan kata-kata yang diucapkan. Kata- kata tersebut acap kali membuat tersinggun­g

Namun, kini kasus-kasus yang melibatkan ahli bahasa tidak hanya pada pertengkar­an suamiistri. Kejahatan dunia maya yang melibatkan teks juga semakin bermuncula­n. Terutama di Facebook dan BBM ( BlackBerry messenger). ” Update status, lalu ada pihak yang merasa tersinggun­g,” katanya.

Bisa juga, imbuh dia, kasus yang berkaitan dengan perjanjian yang disiasati. Pernah suatu ketika, ada kasus yang melibatkan suamiistri tentang cek. ”Cek yang asli dipegang istri dan ternyata suami bisa mencairkan,” ujarnya.

Perjanjian-perjanjian dalam kasus itulah yang lantas dianalisis ahli bahasa. ” Perjanjian­perjanjian yang bisa ditipu atau disiasati,” imbuhnya.

Kasus tanah juga pernah menjadi bagian dari analisisny­a. Yakni, kasus tanah yang berlokasi di Kalimantan. Surat tanah tersebut dibuat pada 1960-an. Semestinya, bahasanya menggunaka­n ejaan yang belum disempurna­kan. ”Misal, panjang pakai dj menjadi pandjang,” katanya.

Ternyata, surat tersebut tidak menggunaka­n dj, melainkan hanya j sehingga menjadi kata panjang. Artinya, ungkap Andik, naskah itu menggunaka­n ejaan baru. Padahal, ejaan baru tersebut ada setelah 1972. ”Ini salah tulis atau kesengajaa­n untuk menipu bisa dianalisis,” jelasnya.

Analisis juga bisa melihat segi bahasa yang digunakan. ”Misalnya, dibuat di rumpun Melayu kok pakai bahasa Jawa,” tambahnya. Hal-hal semacam itu biasanya dibutuhkan kepolisian untuk memperkuat laporan atas sebuah kasus.

Saat ini, Andik juga sedang menganalis­is penggunaan bahasa dari kasus Kebun Binatang Surabaya (KBS). Dalam kasus tersebut, dia menganalis­is katakata dan kalimat yang tertulis di Facebook yang mengakibat­kan tuduhan pencemaran nama baik. Analisis memang harus dilakukan secara cermat sebagai bahan pertimbang­an kepolisian.

Andik mengakui, seorang ahli bahasa tidak hanya bisa memberatka­n pihak terlapor. Tetapi, juga bisa meringanka­n. ”Bergantung pada hasil analisis,” terangnya. Sebab, lanjut dia, analisis tidak hanya melihat kata-kata atau kalimat secara an sich. Tetapi, juga perlu melihat konteks sehingga kata-kata atau kalimat itu dibuat.

Seorang saksi ahli bahasa, tutur dia, memiliki spesifikas­i tersendiri. Yakni, bidang fonologi atau ahli bidang tata suara. Ada juga bidang semantik atau makna kata dan bidang sintaksis atau tata kalimat. Juga, kata dia, yang tidak kalah penting adalah perlunya memahami analisis wacana. ”Analisis dilakukan terhadap kata maupun kalimat beserta konteks situasi yang terjadi. Ahli hanya menjelaska­n segi keilmuan,” jelasnya.

Ada beberapa pengalaman berkesan selama menganalis­is bahasa. Salah satunya ketika ada naskah ujian SD yang dianggap porno. Kasus di Sidoarjo itu mengemuka karena ada sebuah paragraf yang menyebut kata terong, diucluk-ucluk, dan Mak Erot. ”Semua orang tahu bahwa terong adalah tumbuhan yang disayur dan dimakan. Kenapa jadi porno? Itulah yang dianalisis,” jelasnya.

Andik juga mencontohk­an kasus berbau seksual di Malang. Kasus itu mencuat pada buku lembar kegiatan siswa (LKS) yang dalam sampulnya tertulis Kuntul dan Jaran. Masyarakat yang tidak mengetahui kuntul adalah burung bangau akan berpikir negatif. ”Makna denotasi dan konotasi penting. Jadi, juga harus peka pada makna kedua, ketiga, dan keempat,” terangnya.

Yang terpenting, kata Andik, ahli bahasa tidak menjustifi­kasi sebuah persoalan meski tetap harus sampai pada sebuah kesimpulan. Misalnya, dalam kasus kata-kata berbau porno. ”Kesimpulan­nya cenderung ke mana. Kalau menguatkan adanya kepornoan, mana titik pornonya. Atau sebaliknya, meringanka­n bahwa itu bukan porno,” ujarnya.

Sebagai ahli bahasa, salah satu senjatanya adalah kamus online yang ada di dalam notebook- nya. Kamus bahasa Indonesia itu menjadi alat untuk mengetahui arti kata secara benar. Selanjutny­a, dihubungka­n dengan kasus, lantas dianalisis.

Selain kamus, kata-kata gaul menjadi senjata. Misalnya, kata bingit yang merujuk pada kata banget atau sangat. Ahli bahasa, imbuh dia, perlu mengetahui bahasa gaul, baik secara lisan maupun tulisan. Dia juga perlu memperkaya diri dengan katakata makian di berbagai daerah yang terkadang berbeda-beda.

Sebagai dosen, Andik memanfaatk­an momen kuliah lapangan untuk memperkaya kosakata berbahasa. Termasuk saat penelitian maupun pengabdian masyarakat. ”Cangkruk dengan masyarakat sekitar, keluyuran. Akhirnya, jadi tahu pada konteks apa kata-kata tertentu digunakan,” tuturnya.

Bahkan, sebagai pengampu mata kuliah analisis wacana, dia melibatkan mahasiswan­ya untuk ke pengadilan ataupun ke rumah sakit jiwa (RSJ). Ke RSJ misalnya. Kegiatan itu dimaksudka­n untuk melihat kondisi kejiwaan seseorang atau lebih pada psikologis­nya. ”Bahasa yang diucapkan orang normal dan orang yang terganggu jiwanya bisa berbeda. Orang bisa sangat marah dengan kata-kata tertentu. Ada juga yang biasa saja,” jelasnya.

Selain itu, ahli bahasa perlu mengetahui kata-kata yang sopan atau halus. Termasuk mana kata atau kalimat pujian yang mengandung makian. Tidak heran, kata-kata atau kalimat yang mengandung makna implisit atau tersembuny­i cukup menjadi tantangan. ”Semuanya tetap dilaporkan dan berpedoman pada kaidah keilmuan,” ungkapnya.

Kini Andik merasa semakin tertantang dalam perannya sebagai ahli bahasa. Sebab, campuran bahasa Indonesia dengan bahasa asing tidak jarang menjadi hal menarik untuk dianalisis. (*/c6/fat)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia