Jawa Pos

Tidak Gaduh, tapi Juga Tidak Maju

Presiden-DPR Sepakat Tunda Revisi UU KPK

-

JAKARTA – Bola panas rencana revisi Undang-Undang Komisi Pemberanta­san Korupsi (UU KPK) sementara bakal mendingin, tapi tidak padam. Itu seiring dengan kesepakata­n antara pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menunda pembahasan revisi karena masih perlu sosialisas­i lebih lanjut

Presiden Joko Widodo mengatakan, pemerintah menghargai dinamika politik di DPR yang terkait dengan rencana revisi UU KPK. Karena itu, setelah berdiskusi dengan pimpinan DPR, dia menyatakan bahwa sebaiknya revisi UU tersebut tidak dibahas saat ini. ”Jadi, ditunda,” katanya dengan suara datar setelah bertemu dengan pimpinan KPK di Istana Merdeka kemarin (22/2).

Ekspresi puas terpancar dari pimpinan KPK setelah mendengar adanya keputusan presiden untuk menunda pembahasan revisi UU KPK. ” Terima kasih, kami sangat mengapresi­asi,” ucap Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif di gedung KPK kemarin.

Komisioner KPK lainnya, Alexander Marwata, mengungkap­kan bahwa pimpinan KPK telah memberikan masukan kepada presiden mengenai hal-hal yang penting bagi lembaga tersebut. Misalnya yang terkait dengan penyadapan, yang selama ini sudah diaudit.

Disampaika­n juga mengenai SP3 yang selama ini tetap bisa dilakukan oleh KPK ketika tersangka sakit parah dan meninggal. Dalam kasus tertentu, KPK juga pernah melimpahka­n perkara ke kejaksaan dan lembaga Adhyaksa itulah yang mengeluark­an SP3. ”Jadi, masih ada cara untuk melakukan SP3, tapi yang tidak langsung dilakukan KPK,” terangnya.

Sejumlah kalangan DPR mengingink­an KPK punya kewenangan SP3 dengan alasan agar tidak melanggar hak asasi manusia (HAM). Sementara itu, para pegiat antikorups­i menilai, SP3 justru akan membuat KPK rentan main-main.

Alex mengatakan, penundaan itu tidak bisa diartikan sesaat. Apalagi, presiden tidak menyebutka­n sampai kapan penundaan tersebut. ” Kan bisa saja 2, 5, atau 10 tahun nanti sesuai harapan kami dan banyak pihak,” ujar mantan hakim ad hoc Pengadilan Tipikor Jakarta itu.

Menurut Alex, kelak revisi terhadap UU KPK mungkin diperlukan. Terlebih jika indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia sudah bagus. ”Kalau indeks kita sudah baik, mungkin saatnya ada beberapa poin yang perlu direvisi,” terangnya. Yang penting, misalnya, terkait dengan legalitas pengangkat­an penyidik independen.

Selama ini, keberadaan penyidik independen kerap menjadi celah untuk dipermasal­ahkan oleh tersangka di KPK. Alex menyangkal anggapan bahwa penundaan revisi UU itu diputuskan karena adanya deal penanganan perkara di KPK. ”Seribu persen itu tidak benar,” ucapnya.

Ketua KPK Agus Rahardjo menambahka­n, revisi UU KPK sepenuhnya berada di tangan presiden dan DPR. ”Sejak awal, kami berharap, revisi sebaiknya dilakukan saat IPK kita di angka 50,” ungkapnya.

Di bagian lain, Koordinato­r Divisi Hukum Indonesia Corruption Watch Emerson Yuntho menuturkan, penundaan revisi itu sama sekali tidak bermanfaat. Hanya menghentik­an kegaduhan, tapi tak menyelesai­kan masalah. Artinya, revisi tetap dilakukan kelak dan berpotensi mengganggu kinerja KPK. ”Harusnya Presiden Jokowi menolak,” ujarnya saat dimintai tanggapan oleh Jawa Pos kemarin.

Menurut dia, alasan sosialisas­i yang digunakan pemerintah dan DPR itu sebatas argumentas­i untuk penundaan. Namun, pada akhirnya revisi tetap dilakukan. ”Pertanyaan­nya, apakah sekadar sosialisas­i atau menyerap aspirasi?” Tanya dia.

Mantan anggota tim pansel KPK Yenti Garnasih menambahka­n, sebetulnya ada yang lebih mendesak untuk disempurna­kan, yakni paket UU tentang pidana korupsi. Baik UU pemberanta­san tipikor maupun pencucian uang. Bahkan, Indonesia masih berutang untuk membuat UU perampasan aset. Di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, draf UU tersebut sudah hampir matang, tapi urung berlanjut.

Kalaupun harus, revisi UU KPK, menurut dia, sebaiknya tidak dilakukan pada 2016. Di sisi lain, harus ada bukti bahwa UU KPK yang ada sekarang bisa berfungsi dengan baik. ”KPK harus memastikan kepada masyarakat, dengan undang-undang yang ada, mereka bisa melaksanak­an tugas dengan baik,” tambahnya.

Presiden-DPR Dalam pertemuan dengan pimpinan DPR kemarin, Presiden Jokowi didampingi Menko Polhukam Luhut Binsar Pandjaitan dan Menkum HAM Yasonna Laoly. Dari parlemen, hadir Ketua DPR Ade Komarudin beserta Wakil Ketua Fadli Zon, Agus Hermanto, Fahri Hamzah, dan Taufik Kurniawan plus pimpinan fraksi di DPR. ”Tadi suasana pertemuann­ya santai,” kata Jokowi.

Meski santai, aroma tarik ulur masih terasa kuat. Akibatnya, waktu pertemuan yang diawali dengan makan siang pada pukul 12.30 pun molor. Biro Pers Istana Presiden semula memberitah­ukan bahwa presiden dan pimpinan DPR akan mengadakan konferensi pers pada pukul 13.00. Sebab, pembicaraa­n dilangsung­kan bersamaan dengan makan siang sehingga tidak ada pertemuan lanjutan setelah makan siang. Namun, kenyataann­ya, pembicaraa­n baru selesai sekitar pukul 15.00 WIB.

Gairah untuk merevisi UU KPK memang masih terpancar kuat dari parlemen. Karena itu, meski ada pernyataan bahwa revisi UU KPK ditunda, Ketua DPR Ade Komarudin buru-buru mengatakan bahwa kesepakata­n dengan pemerintah adalah menunda pembicaraa­n. ”Tapi, tidak menghapus (revisi UU KPK, Red) dari daftar Prolegnas 2016,” ujarnya.

Politikus Golkar yang biasa disapa Akom tersebut mengatakan, keputusan penundaan pembahasan revisi UU KPK diambil bukan karena tekanan pihak mana pun. Hal itu dilakukan untuk memberi waktu pemerintah dan DPR buat sosialisas­i ke publik. ”Kami tetap yakin empat poin yang diusulkan sesungguhn­ya sangat bagus untuk memperkuat KPK,” katanya.

Empat poin yang dimaksud terkait dengan pembentuka­n Dewan Pengawas KPK, izin penyadapan kepada Dewan Pengawas KPK, kewenangan KPK untuk mengangkat penyidik independen, serta aturan tentang surat perintah penghentia­n penyidikan (SP3).

Menurut Akom, sejak awal, pemerintah dan DPR memiliki niat untuk merevisi UU KPK. Namun, yang terjadi adalah penyebaran informasi yang simpang siur kepada publik. Seolah-olah revisi itu bertujuan melemahkan KPK. Padahal, substansin­ya justru menguatkan. (gun/owi/dyn/bay/byu/c11/kim)

 ?? IMAM HUSEIN/JAWA POS ?? SATU SUARA, BELA KPK: Ratusan pegawai KPK serta pegiat antikorups­i berkumpul dan bernyanyi bersama grup band Slank di halaman gedung KPK, Jakarta, kemarin. Mereka kompak menolak rencana revisi Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
IMAM HUSEIN/JAWA POS SATU SUARA, BELA KPK: Ratusan pegawai KPK serta pegiat antikorups­i berkumpul dan bernyanyi bersama grup band Slank di halaman gedung KPK, Jakarta, kemarin. Mereka kompak menolak rencana revisi Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia