Momentum Relaksasi, Bunga Bisa Turun Lagi
JUJUR saja, ketika akhir tahun lalu saya diminta untuk memproyeksikan suku bunga acuan, BI rate, untuk 2016, saya hanya berani mematok 7,25 persen pada awal 2016 dan 7 persen pada semester kedua 2016. Pertimbangannya, masih banyak dinamika global yang belum kita ketahui pada 2016
Misalnya, bagaimana prospek perekonomian Tiongkok? Apakah The Fed jadi menaikkan suku bunga 25 basis poin setiap triwulan? Apakah harga minyak akan jatuh hingga USD 15 per barel? Berbagai sentimen negatif tersebut, ujung-ujungnya, menyebabkan volatilitas rupiah bisa meningkat, yang bisa bermuara pada kebimbangan Bank Indonesia untuk menurunkan BI rate.
Namun, dugaan saya ternyata meleset. Pada Januari 2016, BI rate memang benar diturunkan dari 7,5 persen ke 7,25 persen, tetapi ternyata berlanjut ke 7 persen pada Februari ini. Giro wajib minimum (sejumlah likuiditas bank umum yang harus disimpan di BI untuk berjaga-jaga) diturunkan 1 persen ke 6,5 persen. Artinya, penurunan BI rate dan relaksasi likuiditas berjalan lebih cepat daripada prediksi saya.
Mengapa momentum relaksasi itu bisa berjalan lebih cepat? Alasannya, aliran modal masuk ( capital inflow) akhir-akhir ini mulai deras mengarus ke Indonesia karena kondisi global yang kurang baik, terutama faktor Tiongkok. Setelah pada 2015 Tiongkok kehilangan cadangan devisa USD 500 miliar, tren ter- sebut berlanjut pada 2016. Cadangan devisa Tiongkok masih terus berkurang. Posisi terakhir USD 3,23 triliun. Padahal, dulu pernah mencapai USD 4 triliun.
Perekonomian Tiongkok melambat, antara lain, karena dua hal. Pertama, daya saing mulai menurun karena upah buruh naik –PDB (produk domestik bruto) per kapita penduduk Shanghai dan Beijing kini USD 11.500. Akibatnya, mulai terjadi relokasi industri ke Vietnam. Kedua, ekspansi pembangunan infrastruktur mulai jenuh sehingga harus ”diekspor” ke luar negeri, termasuk membangun kereta cepat di Iran dan Indonesia.
Larinya dana dari Tiongkok tentu menimbulkan pertanyaan: ke mana? Mestinya, tujuan utamanya adalah Amerika Serikat. Namun kenyataannya, tidak sepenuhnya. Indeks harga saham di New York (Dow Jones Industrial Index) kini sedang tidak baik. Akhir pekan lalu bursa ditutup cukup rendah 16.391. Indeks New York tahun lalu pernah mencapai 18.300.
Centang-perenang perekonomian dunia itu mendorong modal global untuk mengalir ke negaranegara emerging market yang masih relatif baik, misalnya India (pertumbuhan ekonomi 7,2 persen pada 2015) dan Indonesia (4,79 persen). Itulah alasan rupiah saat ini menguat, padahal BI rate sudah diturunkan dua kali berturut-turut selama dua bulan pertama 2016.
Selanjutnya, bagaimana tren suku bunga ke depan? Apakah masih bisa diturunkan lagi? Hal itu masih bergantung banyak faktor. Pertama, pengendalian inflasi. Pada 2015, inflasi dapat ditekan rendah 3,35 persen. Tapi, hal itu banyak didorong oleh lesunya konsumsi dan investasi terpukul oleh kurs rupiah yang melemah. Kondisi tersebut bakal berubah pada 2016. Momentum meningkatnya belanja sudah terjadi pada triwulan IV 2015, ketika pertumbuhan ekonomi mencapai 5,04 persen. Itu akan terbawa ke 2016 sehingga inflasi berpotensi meningkat ke 4,5 persen.
Kedua, faktor kurs rupiah. Saya duga, rupiah akan stabil di rentang Rp 13.000–Rp 13.500 per USD. Itu jauh lebih baik daripada proyeksi pemerintah Rp 13.900 per USD yang belum direvisi. Penyebabnya adalah aliran dana masuk dari luar negeri yang memperkuat cadangan devisa dan rupiah. Indonesia tetap menjadi negara yang menarik untuk dialiri modal global. Komitmen kuat membangun infrastruktur adalah modal terbesarnya. Demikian pula komitmen untuk menarik investasi yang ditunjukkan dengan berbagai deregulasi yang memudahkan investasi.
Hal penting lain adalah disiplin fiskal. Ketika kondisi APBN tertekan berat pada 2015, pemerintah tetap disiplin untuk tidak tergoda mencetak uang sebagaimana yang dilakukan beberapa negara Ame rika Latin yang tersulut inflasi tinggi. Indonesia memilih menerbitkan surat utang baru. Hal itu dimungkinkan karena rasio utang pemerintah terhadap PDB 27 persen. Level tersebut termasuk aman. Sebagai perbandingan, rasio untuk Brasil 70 persen. Defisit APBN yang setara 2,5 persen terhadap PDB juga tergolong aman. Batas defisit untuk negara sekelas Indonesia adalah 3 persen.
Jadi, tampaknya ruang relaksasi likuiditas masih tersedia. Jika inflasi dan kurs rupiah terkendali, BI rate masih dapat diturunkan lebih lanjut ke 6,75 persen. Namun, soal waktunya, mungkin perlu jeda sejenak untuk mengevaluasi lagi kinerja faktor-faktor yang berpengaruh agar terhindar dari volatilitas rupiah yang merugikan. Tidak boleh tergopoh-gopoh.
* Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM