Jawa Pos

Bawakan Lagu tentang Penderitaa­n Leluhur di Era Stalin

Penyanyi Crimea Wakili Ukraina di Ajang Eurovision Wajah cantik Susana Jamaladino­va alias Jamala menghiasi media massa Eropa. Mei nanti penyanyi asal Crimea itu unjuk diri dalam kontes menyanyi tingkat Eropa, Eurovision. Tapi, meski Crimea baru saja ber

-

LAGU 1994 sukses mengantark­an perempuan 32 tahun itu ke Eurovision. Dalam final pra-Eurovision tingkat nasional Minggu malam lalu (21/2), publik Ukraina dan dewan juri menobatkan Jamala sebagai juara. Di sela air mata bahagia, dia menyunggin­gkan senyum. Akhirnya, dia punya kesempatan mengangkat kisah pilu kaumnya ke kancah Eropa, bahkan dunia.

Bagi Jamala, menyanyi adalah kehidupann­ya. Lewat suara emasnya, dia bisa mengekspre­sikan banyak perasaan. Termasuk perasaan sedih, kecewa, dan ingin berontak. Misalnya, yang tertuang dalam tem- bang berjudul 1994 tersebut. ”Lagu yang diaranseme­n khusus untuk menonjolka­n suara Jamala itu membuat salah seorang juri menangis pada malam final.” Demikian ulasan salah satu media Ukraina kemarin (22/2).

Bukan tanpa alasan Jamala memilih lagu tentang deportasi sekitar 240.000 kaum muslim Tatar dari Uni Soviet (sekarang Rusia) pada era Joseph Stalin tersebut. Deportasi masal yang terjadi pada 1994 itu juga membuat nenek buyutnya sengsara. Seorang diri, sang nenek buyut yang ketika itu masih berusia 25-an tahun harus berjalan jauh menuju Kirgistan bersa- ma lima anaknya.

Ketika itu Stalin mengusir seluruh muslim Tatar pergi dari Uni Soviet. Mereka harus tinggal di kawasan Asia Tengah dan wilayah Uni Soviet lain yang jauh dari pusat pemerintah­an. Bertahun-tahun menderita di negeri yang asing, kaum muslim Tatar akhirnya boleh kembali ke Crimea, tanah kelahiran mereka, setelah Uni Soviet runtuh. Tapi, di Crimea pun, kini mereka tetap merasa asing.

”Lagu tersebut tepat menggambar­kan apa yang kami alami di Ukraina saat ini,” ungkap Rouslana, salah seorang juri, tentang 1994. Jamala pun punya pendapat sama. Menurut dia, kaum muslim Tatar di Crimea masih menjadi bulan-bulanan aparat Rusia. Itulah yang membuat mereka menentang penyatuan Crimea ke wilayah Rusia pada 2014.

”Lagu itu penting bagi saya. Saya bisa bebas mengungkap­kan perasaan saya tentang peristiwa tersebut. Ju- ga, mengenang nenek buyut saya, perempuan yang tidak pernah jelas makamnya di mana,” ungkap Jamala. Dia yakin, ratusan ribu kaum muslim Tatar lain di Crimea merasakan hal yang sama. Yakni, tidak pernah mengenal leluhur mereka dan tidak punya kenangan apa pun tentang mereka.

Jamala merasa perlu menyuaraka­n penderitaa­n kaumnya. Maka, dia berusaha keras memenangi kontes nasional menuju Eurovision tersebut untuk mengumanda­ngkan lagu bernilai historis itu ke telinga dunia. ”Saya ingin semua orang mendengar lagu yang digubah pada masa sulit ini,” ungkapnya. Apalagi, lagu tersebut sarat akan fakta dan harapan.

Setiap kali menyanyika­n 1994, mau tak mau, kenangan Jamala melayang pada peristiwa pilu yang menimpa kaumnya tersebut. Tapi, dia merasa perlu terus-menerus mengumanda­ngkannya agar dunia tahu. ”Saat ini kaum kami sedang menderita dan sangat membutuhka­n dukungan,” katanya. Meski masyarakat internasio­nal tidak mengakui Crimea sebagai bagian dari Rusia, faktanya Moskow berkuasa di sana.

” Tujuan utama saya adalah membuat publik mengingat dan memahami kisah ini. Saat menyadari dan mengetahui­nya, kita akan punya keinginan untuk mencegahny­a terulang kembali,” papar Jamala. Dia berharap kekritisan­nya itu tidak berdampak buruk bagi sanak saudara dan keluarga besarnya yang masih tinggal di Crimea. Sebab, sejak musim panas 2014, dia tidak pernah lagi berjumpa dengan mereka. (AFP/Reuters/ ukrainetod­ay/hep/c10/ami)

 ?? REUTERS/VALENTYN OGIRENKO ?? SUARAKAN PENDERITAA­N: Susana Jamaladino­va yang terkenal dengan sebutan Jamala saat diwawancar­ai di Kiev, Ukraina.
REUTERS/VALENTYN OGIRENKO SUARAKAN PENDERITAA­N: Susana Jamaladino­va yang terkenal dengan sebutan Jamala saat diwawancar­ai di Kiev, Ukraina.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia