Semangat Pungut Sampah meski Dibilang Caper
Mendaki gunung makin Sayangnya, banyak pendaki ’’heboh- hebohan’’ yang tidak peduli pada kebersihan lingkungan. Nah, fenomena memprihatinkan itu dijawab dengan aksi kepedulian oleh komunitas Gembel Elite Traveler (GET). Gembel Elite Traveler, Penyuka Trav
happening.
HARI itu Minggu. 14 Februari. Masih pagi. Tiga pria terlihat duduk di pinggir trotoar sambil menyantap jajanan dengan lahap. Setelah menyelesaikan kudapannya, mereka membuang bungkus makanan tersebut di pinggir jalan. Padahal, sebuah kotak sampah terletak tak jauh dari posisi mereka bersantai sebelumnya.
Sejurus kemudian, gadis berkaus hitam mendatangi tiga pemuda itu. Dia membawa sebuah kantong plastik biru berukuran besar. ’’Permisi, boleh saya ambil sampahnya?’’ tanya gadis itu.
Tiga pria tadi tampak heran dengan pertanyaan gadis yang menghampirinya. Rasa penasaran tersebut membuat para pemuda bertanya. ’’ Kan sudah ada petugas kebersihan?’’ tanya salah seorang di antara mereka.
Gadis itu bergeming. Dia mengambil sampah di dekat tiga pemuda tersebut dengan cekatan. Kemudian, dia memberikan penjelasan sambil tersenyum. ’’Menjaga kebersihan adalah kewajiban bersama. Anda pasti suka kan kalau kota ini terlihat bersih?’’ tuturnya, kemudian meninggalkan tiga pemuda tadi yang masih dihinggapi rasa heran
Rupanya, bukan hanya gadis berkaus hitam tersebut yang melakukan aksi pungut sampah pada pagi itu. Ada sekitar 20 pemuda lain yang melakukan hal serupa. Ya, merekalah Gembel Elite Traveler (GET). Sebuah komunitas traveling yang peduli lingkungan.Aksi itu terjadi tepat pada Hari Valentine.
Mereka sengaja memanfaatkan momen tersebut untuk mengampanyekan cinta lingkungan. Sebab, Valentine’s Day memang tidak melulu soal cinta-cintaan kepada sesama manusia.
GET menyusuri Jalan Raya Darmo dari utara ke selatan, kemudian kembali ke utara lagi untuk melaksanakan misi utama mereka, yakni berburu sampah. ’’Hari Valentine nggak harus sama pacar, tapi sama lingkungan dan bumi kita juga dong,’’ ujar Agnesia Walandouw, founder GET.
Pagi itu sengaja dipilih Nesia, sapaan Agnesia Walandouw, dkk untuk menularkan semangat positif kepada pengunjung CFD (car free day). Yaitu, dengan mencontohkan kepedulian terhadap kebersihan lingkungan. Salah satunya ya membuang sampah pada tempatnya.
Tidak ada rasa jijik yang menghinggapi Nesia dan teman-temannya saat memungut sampah di jalanan protokol kota. Mereka juga tidak segan meminta sampah dari pengunjung CFD yang berlalu lalang. Daripada dibuang sembarangan, kan lebih baik mereka pungut untuk dibuang di tempat yang sudah seharusnya.
Tidak jarang pula, aksi GET itu mendapat tanggapan kurang menyenangkan dari orang-orang di sekitarnya. Mereka dianggap sekumpulan anak muda caper (cari perhatian) dan kurang kerjaan sampai harus memungut sampah. Namun, Nesia dan teman-teman yakin bahwa kebaikan yang dimulai dari diri sendiri akan menular kepada orang-orang di sekitarnya.
Meski sering jengkel melihat tingkah orang yang membuang sampah sembarangan, Nesia tidak menunjukkan muka bete. Dengan tetap tersenyum, dia menasihati orang-orang tak bertanggung jawab yang membuang sampah bukan pada tempatnya. ’’Mungkin mereka khilaf,’’ ujar Nesia, kemudian tertawa.
Aksi peduli lingkungan dilakukan GET sejak awal mereka terbentuk, yaitu pada 7 Desember 2014. Mulanya, hanya ada Nesia dan Agustinus Rae Sadewa atau Ade. Pada momen itu, keduanya merencanakan liburan dengan naik Gunung Semeru. Kemudian, rencana tersebut disebarkan ke beberapa temannya. Total, ada 15 orang yang akhirnya ikut ke Semeru. ’’Dari situ, akhirnya kami membentuk komunitas dan sering traveling bareng,’’ kenangnya.
Mayoritas personel GET terdiri atas para alumnus Fakultas Psikologi Universitas Katolik Widya Mandala (Unika WM), Surabaya. GET berdiri sejak mereka masih berkuliah dan terus kontinu sampai anak-anak muda itu lulus.
Lalu, kenapa harus gembel? Sebutan itu dipilih sebagai cerminan diri mereka yang suka traveling, namun tetap membumi.
GET juga terorganisasi. Selain mempunyai founder dan cofounder, mereka membentuk sekretaris, bendahara, hingga seksi perlengkapan. Tujuannya, perjalanan wisata bisa dipersiapkan dengan matang dan terencana.
Beberapa tempat yang pernah dikunjungi GET, antara lain, Gunung Semeru, Penanggungan, Panderman, Rinjani, dan Pulau Gili Labak. Tak jarang, mereka berkeliling kota seperti Jogjakarta, Bali, Malang, dan Gresik. Namun, kebanyakan di antara mereka lebih suka mendaki gunung.
Pada pendakian pertama di Semeru, Nesia dan temantemannya kaget dengan banyaknya sampah di sekitar gunung. Tempat yang seharusnya nyaman untuk menikmati keindahan alam itu harus diganggu dengan tumpukan sampah.
Sayangnya, ketika itu mereka tidak membawa perlengkapan. Mereka pun memungut sampah sebisanya. Minimal, bisa mengurangi kotoran yang merusak keindahan alam. Semangat tersebut terus ditempa para anggota GET. Sejak saat itu, ke mana pun tujuan wisatanya, mereka selalu membawa kantong plastik besar untuk memungut sampah.
’’Sampah sisa makanan kan bisa terurai. Tapi, kalau plastik, apalagi kaleng, sampah itu sangat merusak lingkungan,’’ timpal Octavia Silahooy, bendahara GET.
Gadis yang biasa disapa Oky tersebut mengaku paling sebal melihat sampah kertas bertulisan pesan yang sering dibawa pendaki ke puncak gunung. Membawa kertas tulisan ke atas gunung untuk fotofoto merupakan kegiatan populer dan ’’kekinian’’ bagi pendaki.
Biasanya mereka menuliskan nama kekasih, motivasi, atau ajakan ke temannya yang belum berkesempatan naik gunung. ’’Apa susahnya sih memasukkan kertas tulisan itu ke tas, lalu membawanya turun lagi,’’ keluhnya.
Aksi peduli lingkungan yang biasa dilakukan GET rupanya membawa keuntungan tersendiri. Mereka lebih mudah memasuki wisata alam yang menjadi jujukan wisatawan. Dengan tujuan ingin membersihkan sampah, mereka bisa masuk secara gratis ke beberapa lokasi tersebut.
Salah satu yang tidak terlupakan adalah ketika mendaki Rinjani pada 15–22 Juli 2015. Di salah satu gunung tertinggi di Indonesia tersebut, mereka acap kali menjumpai tumpukan sampah. Bahkan, lebih dari 20 anggota GET tidak mampu membersihkan seluruh sampah yang ada.
Selain bersih-bersih sampah, aktivitas mereka di Rinjani meninggalkan kisah romantis bagi sepasang anggota GET, yakni Ade dan Yanti. Sejoli tersebut melangsungkan lamaran di puncak Rinjani pada 20 Juli 2015.
Kala itu, Ade berinisiatif untuk melamar kekasihnya, Yanti, sembari melakukan aktivitas bersih-bersih tersebut. Ade tidak sendiri, dia dibantu teman-teman GET lain untuk bisa memuluskan rencana itu.
’’Kami sudah menyiapkan surprise bagi mereka, yaitu bersan diwara lupa membawa spanduk bertulisan ’Will you marry me?’ pesanan Ade. Padahal, enggak. Itu kami lakukan untuk memberikan efek panik pada mereka,’’ ujar Oky.
’’Akhirnya, kami sukses membuat prosesi lamaran mereka berkesan. Ya, meski Ade sempat ngambek sih,’’ imbuh perempuan 27 tahun tersebut, lantas tergelak.
GET menyadari bahwa saat ini kegiatan mendaki gunung tidak hanya dilakukan orang-orang dengan latar belakang pendaki. Namun, bagi mereka, gunung, laut, dan kekayaan alam lain bukan tempat wisata belaka. Semuanya adalah ekosistem yang kelestariannya harus dijaga agar bisa bermanfaat lebih lama bagi makhluk hidup.
Di sisi lain, GET sebenarnya juga mengapresiasi sineas yang membuat film tentang keindahan gunung dan alam lainnya. Namun, mereka juga kecewa saat mendapati bahwa proses pembuatan film malah menimbulkan kerusakan alam. Misalnya, yang mereka temukan ketika mendaki Semeru. Tak lama setelah digunakan sebagai lokasi syuting, banyak pohon yang ditebang. Muncul pula kebakaran hutan.
Selain itu, pemilihan kostum para pemain film keliru. Meski terkesan remeh, hal tersebut penting diperhatikan bagi para pendaki. Sebab, banyak kasus hipotermia hingga kematian pendaki di gunung karena kesalahan memilih baju. ’’Di film kayaknya keren pakai tank top naik gunung, padahal aslinya dingin banget,’’ terangnya.
Memang, pendakian gunung bukan sekadar kegiatan kerenkerenan. Aktivitas itu sejatinya adalah laku dedikatif sebagai wujud cinta pada lingkungan. Tentu tanpa nyampah… (*/c7/dos)