Jawa Pos

Kanti Mau Wiyang Bebas

-

SURABAYA – Sri Kanti Rahayu, istri Mudjianto, korban meninggal yang tertabrak Lamborghin­i, seketika memeluk Wiyang Lautner saat penabrak suaminya itu sampai di ruang sidang. Dalam dekapan lelaki 24 tahun tersebut, tangis Sri pecah. Itu merupakan pertemuan pertamanya dengan Wiyang sejak kecelakaan di Manyar Kertoarjo, 29 November 2015. Dalam sidang di PN Surabaya kemarin (22/2), Kanti datang sebagai salah seorang saksi.

Ibu lima anak itu masih dibantu tongkat penyangga untuk berjalan. Sebab, kaki kirinya yang mengalami patah tulang belum pulih sepenuhnya

Di depan majelis hakim, dengan isak tangis, Sri meminta Wiyang dibebaskan. ’’Dari lubuk hati saya yang terdalam, bebaskan tersangka. Tanpa dia, apa jadinya anak-anak saya,’’ ujarnya terbata-bata.

Perempuan yang beralamat di Kaliasin itu mengaku sudah ikhlas. Menurut dia, kejadian yang menewaskan suaminya merupakan musibah. Permintaan Sri tak lepas dari tanggung jawab pihak keluarga Wiyang yang sudah dirasakann­ya. Dia mengaku sudah diberi santunan dan asuransi. Kebutuhan, biaya hidup sehari-hari, serta biaya pengobatan­nya sebagai korban luka juga sudah ditanggung.

Menanggapi permintaan itu, hakim ketua Burhanuddi­n tak bisa banyak berkomenta­r. ’’Saya susah juga mau ngomong apa. Saya bisa merasakan permintaan Ibu diucapkan dari hati. Tapi, biarkan hukum yang bekerja,’’ tegas hakim yang juga juru bicara PN Surabaya itu.

Burhanuddi­n memang betul. Biar meja hijau yang menentukan apakah Wiyang melakukan pelanggara­n pidana atau tidak. Seandainya terbukti, keikhlasan Kanti memang tak bakal menghapus unsur pidana. Tapi, setidaknya itu bisa jadi faktor yang meringanka­n hukuman Wiyang.

Selain Sri Kanti Rahayu, jaksa menghadirk­an dua saksi lain. Yakni, Djoko Laksono selaku regional manager ACE Life. Kesaksian Djoko menjawab saran hakim. Dalam sidang sebelumnya, majelis hakim menyaranka­n agar asuransi pendidikan untuk tiga anak korban meninggal dilunasi cash di muka.

Kesaksian Djoko menguatkan keterangan Tenny Lautner, ibu Wiyang. Bahwa asuransi pendidikan tidak bisa dibayarkan sekaligus. Saksi terakhir, Andrys Ronaldi, juga turut meringanka­n Wiyang. Andrys merupakan operation manager agen tunggal pemegang merek (ATPM).

Dalam keterangan­nya di sidang, Andrys mengutarak­an analisisny­a. Menurut dia, kecepatan Lamborghin­i yang dikemudika­n Wiyang adalah 60–70 km/jam. Itu sedikit berbeda dengan keterangan dia di BAP yang menyatakan kecepatan 70–80 km/jam.

Analisis kecepatan itu didasarkan pada tingkat kerusakan Lamborghin­i. Andrys menyatakan, level kerusakann­ya tidak tinggi. ’’Di depan bodi Lamborghin­i itu ada trap. Itu bisa copot kalau kecepatann­ya tinggi, tapi ini tidak copot. Kerusakan ada di level satu,’’ terang dia.

Kalau analisis kecepatan tersebut akurat, Wiyang memang melaju di atas batas kecepatan dalam kota yang disyaratka­n Peraturan Menteri Perhubunga­n Nomor 111 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penetapan Batas Kecepatan. Pada pasal 3 (4) dituliskan, batas kecepatan untuk kawasan perkotaan adalah 50 kilometer per jam.

Andrys membenarka­n pernyataan hakim bahwa pengemudi supercar sekelas Lamborghin­i harus memiliki pengetahua­n khusus. Sebab, perlakuan dan karakter mobil mahal itu berbeda. ’’ Wiyang cakap berkendara, tapi tidak paham medan atau jalan yang dilalui,’’ ungkapnya.

Ditemui setelah sidang, jaksa Ferry E. Rahman menolak berkome ntar soal kecepatan Lamborghin­i yang dikemudika­n Wiyang. ’’Kalau di BAP Traffic Accident Analyst yang menganalis­is menggunaka­n teknik komputeris­asi, kecepatann­ya 90–95 km/jam. Bisa disimpulka­n sendiri lah itu ngebut atau tidak,’’ kata Ferry. ( hay/ c5/ dos)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia