Revisi UU KPK Harus Dicabut dari Prolegnas
JAKARTA – Kesepakatan antara Presiden Joko Widodo dan pimpinan DPR untuk menunda pembahasan revisi UU KPK belum sepenuhnya memuaskan harapan publik. Termasuk KPK sebagai pelaksana undang-undang tersebut. Pimpinan baru KPK betulbetul lega jika revisi UU KPK dikeluarkan dari program legislasi nasional (prolegnas).
Wakil Ketua KPK Saut Situmorang menegaskan, akan lebih baik jika revisi UU KPK dicabut dari prolegnas. ’’Jadi, kita bersama fokus dalam mengudak-udak para koruptor,’’ ujarnya.
Menurut dia, saat ini pemberantasan korupsi, baik program pen- cegahan maupun penindakan, harus dilakukan bersama-sama. Sebab, dalam indeks persepsi korupsi, Indonesia masih terjerembap di bawah angka 5 yang berarti masih rawan korupsi
Saut juga mengimbau, sebelum revisi masuk prolegnas, DPR dan pemerintah seharusnya menyusun naskah akademis. Nah, KPK harus dilibatkan di dalamnya.
Senada dengan Saut, Laode M. Syarief, komisioner KPK lainnya, berharap revisi UU KPK dikeluarkan dari prolegnas. Dia menyarankan agar DPR menyelesaikan dulu sejumlah undang-undang yang lebih prioritas. Misalnya, RUU Perampasan Aset. ’’UU Perampasan Aset itu akan memperkuat penegak hukum, baik KPK, kejaksaan, maupun Polri,’’ katanya.
Suara pencabutan revisi UU KPK dari prolegnas juga berembus di parlemen. Setidaknya, hingga kemarin, dua fraksi telah menyuarakannya dengan terang. Yaitu, Fraksi Gerindra dan Fraksi PKS. Bahkan, khusus PKS, penegasan dorongan tersebut disampaikan langsung oleh Presiden PKS Sohibul Iman.
’’Sikap PKS tidak hanya menunda. Kami meminta revisi UU KPK juga dicabut dari prolegnas,’’ kata Sohibul lewat keterangan tertulis di Jakarta kemarin (23/2).
Menurut dia, energi DPR dan pemerintah lebih baik difokuskan ke UU lain yang lebih substantif dan manfaatnya dirasakan langsung oleh rakyat. Misalnya, RUU Kewirausahaan Nasional; RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga; RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam; RUU Ekonomi Kreatif; serta beberapa RUU prioritas lainnya.
Selain PKS, Gerindra menyuarakan permintaan yang sama. Sikap tersebut didasarkan pada rapat fraksi di kompleks parlemen, Jakarta, kemarin. ’’Jangan sekadar ditunda. Kalau menunda, itu kan bisa dibahas, meski juga bisa tidak. Makanya, kami minta dikeluarkan (dari prolegnas, Red) saja,’’ tegas Sekretaris Fraksi Gerindra Fary Djemi Francis setelah rapat.
Meski menyatakan penundaan itu tetap perlu diapresiasi, lanjut dia, empat poin revisi UU KPK saat ini telah jelas-jelas akan melemahkan lembaga tersebut. ’’Jadi, kalau yang mau disosialisasikan empat poin, tetap saja kami akan menolak,’’ ujarnya.
Sebelum akhirnya pemerintah dan DPR sepakat menunda revisi UU KPK, DPR sempat mengagendakan pengambilan keputusan draf revisi UU KPK menjadi usul inisiatif DPR pada sidang paripurna kemarin. Sidang paripurna akhirnya hanya memuat agenda tunggal pengesahan RUU Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Penghapusan agenda pengambilan keputusan revisi UU KPK diputus pada rapat badan musyawarah (bamus) pagi menjelang sidang paripurna.
Merespons sikap terakhir sejumlah fraksi tersebut, Wakil Ketua DPR Agus Hermanto hanya mengingatkan bahwa wewenang pencabutan revisi UU KPK tidak hanya berada di tangan DPR. Namun, lanjut dia, pemerintah juga harus sepakat.
Dia menegaskan, prosedur itu sama halnya dengan ketika agenda revisi UU KPK masuk dalam Prolegnas Prioritas 2016. ’’Termasuk ketika kemarin (dua hari lalu, Red) sepakat menunda. Itu karena DPR dan pemerintah sama-sama belum sepakat,’’ tandas politikus Partai Demokrat tersebut.
Sementara itu, dorongan untuk melanjutkan revisi UU KPK terus disuarakan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK). Menurut dia, penundaan saat ini dimaksudkan untuk menguatkan konsep revisi, termasuk sosialisasi ke publik. ’’Supaya semua paham bahwa ini untuk penguatan KPK,’’ ungkapnya di Kantor Wakil Presiden kemarin.