Bermula dari Tiga Gaun
Berbisnis sesuai dengan hati. Prinsip yang dipegang Elizabeth Andi itu menunjukkan hasil. Baru menyeriusi dunia fashion anak dua tahun lalu, karya Elizabeth kini menembus pasar internasional.
SEJAK awal 2014, Elizabeth Andi, 36, menekuni dunia fashion anak. Dia mempekerjakan ibu rumah tangga untuk merangkai gaun anak yang telah dirancangnya. Sebagian besar gaun yang diberi nama Favent Collezione tersebut dibuat handmade. Terutama pada pemasangan manik-manik. ’’Membuat gaun seperti merangkai bunga, harus pelan dan detail,’’ ujar perempuan kelahiran Surabaya, 8 Februari 1979, tersebut.
Dari yang awalnya dipasarkan mulut ke mulut, Elizabeth sekarang membuat media sosial. Makin banyak permintaan yang berdatangan. Beberapa datang dari luar negeri, terutama Australia. Model gaun yang mewah tetapi tetap mengandalkan kenyamanan menjadi ciri khas Favent.
Elizabeth tidak membutuhkan waktu lama untuk mendapatkan pelanggan. Pada akhir 2014, datang tawaran mengisi store di Sydney dan Dubai. ’’Mereka tahu Favent dari Instagram,’’ papar anak bungsu dari empat bersaudara pasangan Harijanto Andi dan Olly Andi tersebut.
Setelah mempelajari kontrak, Elizabeth mengiyakan. Setiap penawaran punya pola kontrak berbeda. Misalnya, sistem kontrak di Dubai eksklusif. Gaun anak yang dibuat untuk pasar di Dubai itu tidak boleh dijual di tempat lain. Nama butiknya adalah Choco Chic.
Elizabeth menelusuri rekam jejak butik tersebut. Hingga dia tahu bahwa butik itu hanya menjual high-end branded. ’’Sistem di Sydney jual putus. Nama butiknya Angels Walking,’’ tutur pengagum Winnie, pemilik label baju anak Mischka Aoki, tersebut.
Pada Agustus 2015, lewat private message di Instagram, Elizabeth dihubungi manajemen Jorgia. Dia adalah finalis Mini Miss European 2015 perwakilan Skotlandia. Panitia menawarkan kerja sama. Elizabeth diminta menyediakan satu gaun bagi Jorgia. ’’Komplimennya, foto Jorgia mengenakan baju saya dipajang di media sosialnya,’’ ungkap Elizabeth.
Setelah itu penawaran kerja sama makin banyak. Elizabeth pun melakukan seleksi ketat agar karyanya tetap eksklusif. Salah satu yang diterima adalah mengirimkan baju untuk model anak di New York bernama Adriana Thalia Camposano. ’’Adriana itu biasa pemotretan DKNY, Dior, dan Armani,’’ jelasnya senang.
Usaha Elizabeth terus berkembang. Saat ini dia memproduksi minimal 200 potong baju per bulan. Sebagian dijual untuk pasar lokal, tetapi lebih banyak ke luar negeri. ’’Saya membangun bisnis ini sesuai dengan kata hati. Menjalankannya dengan benar dan membuat konsumen puas itulah yang utama,’’ tutur Elizabeth. (ina/c14/ayi)
SEJAK kecil, Elizabeth Andi gemar membuat kerajinan tangan. Lulus SMA, dia berkeinginan meneruskan di bidang desain. Namun, orang tua lebih mengarahkannya untuk kuliah bisnis. Jadi, Elizabeth mengambil jurusan business
di Charles Sturt University, Sydney. ’’Saat itu bisanya mengikuti keinginan orang tua,’’ ucap istri dari Wong William tersebut.
Lulus kuliah, kemudian menikah, Elizabeth tetap menekuni hobinya. Karena belum ada kegiatan, Elizabeth les dan semacamnya. Suatu ketika di perayaaan golden annivers
mertua pada 2013, Elizabeth membuat baju pesta untuk tiga putrinya. Yaitu, Cathleen Priscilla Wongso, Charleen Princetta Wongso, dan Coleen Precia Wongso. Kemampuan crafting dituangkan dalam detail yang dipasangkan di baju.
’’Pengalaman saya, anak-anak selalu terlihat gerah dan gatal mengenakan baju pesta. Sulit menemukan yang nyaman dan bagus,’’ ucapnya.
Tampaknya, tiga gaun itu mengundang banyak respons. Elizabeth mulai mendapat pesanan. Dari situlah cikal bakal label nya didirikan. Bisnisnya terus tumbuh, tetapi Elizabeth tidak mau menjadi ambisius. ’’Saya punya anak dan suami yang butuh perhatian. Jadi, prioritas utama saya tetaplah keluarga,’’
ungkapnya. (ina/c15/ayi)