Jawa Pos

Tantangan Positif Bank Dunia dan IMF

Perspektif Ekonomi

- Oleh LANA SOELISTIAN­INGSIH

BELUM juga satu triwulan berjalan pada 2016 ini, tepatnya Selasa, 16 Maret lalu, Bank Dunia maupun Dana Moneter Internasio­nal (IMF) memangkas proyeksi pertumbuha­n ekonomi 2016 untuk Indonesia, masing–masing 0,2 persen

Bank Dunia merevisi turun proyeksi pertumbuha­n ekonomi Indonesia untuk tahun 2016 dari 5,3 persen pada proyeksi Oktober 2015 menjadi 5,1 persen pada proyeksi Maret 2015. Sedangkan IMF yang cenderung lebih pesimistis daripada Bank Dunia menurunkan proyeksi pertumbuha­n ekonomi Indonesia tahun 2016 dari 5,1 persen pada proyeksi Oktober 2015 menjadi 4,9 persen pada proyeksi Maret 2016.

Proyeksi turun itu di bawah asumsi pertumbuha­n ekonomi pemerintah sebesar 5,2 persen pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016. Tentu saja proyeksi turun tersebut sangat mengganggu keyakinan terhadap perbaikan ekonomi Indonesia pada 2016. Sementara itu, kita tahu bahwa ekonomi Indonesia tercatat tumbuh 4,79 persen (yoy) pada tahun 2015, melambat dari 5,02 persen (yoy) pada 2014.

Implikasi dari perlambata­n ekonomi terlihat dari melemahnya kegiatan konsumsi rumah tangga karena turunnya pendapatan. Kegiatan usaha yang melambat membuat pelaku usaha melakukan pemutusan hubungan kerja baik secara temporer maupun permanen. Kegiatan usaha yang menurun terlihat di hampir semua sektor dan ukuran usaha, termasuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Padahal, UMKM menjadi penopang pertumbuha­n ekonomi yang banyak menyerap lapangan kerja. Data Badan Pusat Statistik (BPS) untuk tahun 2014 mencatat, total yang bekerja mencapai 114 juta. Dari jumlah tersebut, yang dikategori­kan bekerja di sektor formal tercatat 37 persen. Sisanya bekerja dengan kategori informal, termasuk sebagian besar bekerja di sektor UMKM.

Tantangan ke Depan Proyeksi turun pertumbuha­n ekonomi itu semestinya disikapi sebagai tantangan positif dengan kembali mengevalua­si implementa­si berbagai kebijakan yang digulirkan. Dalam jangka pendek, fokus kebijakan diarahkan untuk menaikkan daya beli masyarakat dengan menekan harga-harga. Memastikan inflasi rendah. Harga minyak mentah dunia yang saat ini rendah menjadi kesempatan bagi pemerintah untuk menurunkan harga BBM dengan konsisten setiap tiga bulan sekali. Turunnya harga minyak mentah seharusnya juga bisa menurunkan tarif dasar listrik (TDL), saat bobot harga minyak mentah dunia dalam TDL tersebut sebesar 75 persen. Turunnya harga BBM dan TDL itu semestinya bisa menimbulka­n efek domino terhadap turunnya harga-harga barang kebutuhan pokok dan sekunder lainnya. Walaupun transmisin­ya membutuhka­n waktu, ada ruang turun bagi harga-harga barang tersebut.

Dalam jangka menengah, kegiatan usaha didorong kebijakan moneter menurunkan suku bunga. Bank Indonesia (BI rate) telah menurunkan suku bunga selama tiga bulan berturut-turut sehingga menjadi 6,75 persen. Pemerintah menetapkan batas atas suku bunga simpanan milik badan usaha milik negara (BUMN)/ daerah (BUMD) sebesar 1 persen di atas BI rate. Begitupun Otoritas Jasa Keuangan yang mengimbau net interest margin (NIM) perbankan bisa diturunkan menjadi 4 persen. Dan tidak kurang pentingnya Wakil Presiden Jusuf Kalla meminta suku bunga kredit pada 2016 ini menjadi single digit.

Kebijakan suku bunga itu diharapkan bisa menyediaka­n dana murah di dalam negeri untuk tujuan meningkatk­an investasi swasta. Melihat peran penting UMKM, pemerintah memutuskan untuk memberikan subsidi bunga kredit usaha rakyat (KUR). Suku bunga KUR diturunkan dari sebelumnya 22 persen menjadi 12 persen pada 2015 dan menjadi 9 persen pada 2016. Belum lagi berbagai paket kebijakan pemerin- tah yang tujuannya memperbaik­i iklim usaha. Hasil kebijakan jangka menengah itu akan terlihat dalam 6–9 bulan ke depan.

Sambil menunggu geliat konsumsi rumah tangga dan investasi swasta, harapan besar masih pada realisasi APBN 2016, terutama untuk belanja modal (infrastruk­tur) yang lebih cepat. Sayang, hingga akhir Februari 2016, realisasi dari belanja modal baru mencapai 2,68 persen dari pagu Rp 201,6 triliun. Tidak kalah pentingnya adalah realisasi dana transfer pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Sekitar 33 persen dari belanja negara dalam APBN 2016 dialokasik­an sebagai dana transfer dan dana desa. Pemerintah daerah punya tanggung jawab merealisas­ikan dana tersebut menjadi pendorong pembanguna­n daerah dan bukan disimpan di bank pembanguna­n daerah.

Jika tiga komponen besar pembentuk produk domestik bruto (PDB), yaitu konsumsi rumah tangga, investasi swasta, dan konsumsi pemerintah, bisa bersinergi dalam waktu 6–9 bulan mendatang, rasanya tidak sulit ekonomi Indonesia bisa tumbuh di atas 5,2 persen pada 2016 ini. (*) *) Ekonom Universita­s Indonesia,

chief economist and head of research Samuel Aset Manajemen.

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia