Jawa Pos

Rela Berperahu untuk Ikut Bangun Masjid dan Gereja

Belajar Kerukunan Beragama dari Masyarakat Kepulauan Kei (2-Habis) Tradisi maren merekatkan jalinan kerukunan antar pemeluk agama di Kepulauan Kei. Warga lintas kepercayaa­n pun bahu-membahu membangun tempat ibadah.

- BAYU PUTRA, Tual

MEREKA datang dari berbagai kampung. Tua-muda, lelaki-perempuan, dewasa juga anak-anak. Islam, Protestan, maupun Katolik. Semuanya meriung di satu titik: lokasi pembanguna­n Masjid Agung Tual.

Minggu lalu (28/2) itu ribuan warga berada di lokasi tersebut untuk menghadiri pengecoran dek lantai dua masjid yang dinamai Al Hurryah 45 itu. ”Itu contoh kearifan lokal di sini yang kami sebut maren,” kata Mashury Kabalmay, tokoh pemuda Tual

Secara harfiah, terang Mashury, maren berarti gotong royong. ” Tapi, dalam penerapann­ya, bisa sangat luas,” tutur dia.

Yang pasti, maren menghapus sekat-sekat agama di Kota Tual dalam hal kemasyarak­atan. Sebab, tradisi itu sudah melekat di antara warga jauh sebelum agama-agama samawi masuk mulai abad ke-16.

”Desa Taar itu sampai mengerahka­n 500 warganya untuk turun ke sini. Padahal, mayoritas warganya Protestan,” lanjut dia.

Warga pemeluk Protestan atau Katolik datang setelah pukul 10.00 WIT. Atau sesudah mereka beribadah di gereja masing-masing.

Penduduk dari pulau-pulau kecil di sebelah barat kota hasil pemekaran pada 2010 itu juga tak mau kalah. Di antaranya, Pulau Duroa dan Ubur. Dengan perahu motor, mereka menyeberan­g ke pesisir Desa Ngadi. Di situ, sudah ada truk yang disiapkan pemkot untuk mengangkut mereka ke lokasi masjid yang berjarak sekitar 8 kilometer.

Begitulah, di tengah Indonesia yang belakangan kian terancam gejolak sektarian, kepulauan nun di tenggara Maluku itu seolah menjadi cermin kebinekaan yang patut diteladani.

Dua pekan sebelum acara di lokasi Masjid Agung Tual itu, penyambuta­n kedatangan Pastor Johanes Michael Wemay yang baru ditahbiska­n menjadi imam Katolik di Desa Ngadi, Tual, juga menjadi viral di dunia maya. Penyambuta­n itu melibatkan seluruh anggota keluargany­a yang berbeda-beda agama.

Berdasar sensus 2010, mayoritas warga Tual adalah pemeluk Islam. Jumlahnya mencapai 74,9 persen. Sedangkan pemeluk Protestan mencapai 18,8 persen; Katolik 5,8 persen; dan lain-lain 0,5 persen.

Di jantung Kota Tual, lokasi masjid tersebut, kebersamaa­n pada Minggu pagi tiga pekan lalu itu juga mewujud lewat yelim. Itu sebutan untuk bekal yang dibawa para perempuan buat keperluan logistik warga yang mem- bangun masjid.

Pemerintah Kota Tual kemudian melengkapi sumbangan logistik tersebut. Dua gerobak bakso milik salah seorang warga yang tinggal di dekat masjid diborong untuk keperluan konsumsi. Para penduduk laki-laki, apa pun agamanya, beramai-ramai membantu mengecor masjid. Tentu tidak semua kegiatan pembanguna­n masjid dilakukan beramai-ramai.

” Tapi, semangat kebersamaa­n itu yang kami jaga benar,” kata Mashury.

Pekerjaan teknis tetap dilakukan oleh tukang yang didatangka­n dari Demak, Jawa Tengah. Seluruh bahan bangunan didatangka­n dari Pulau Jawa. Mulai pasir, batu kali, semen, hingga batu bata.

Kamis (10/3) dua pekan lalu bahan-bahan bangunan itu baru saja didatangka­n sebanyak lima kontainer. ”Yang dari Tual hanya kayu,” ujar Mashury sambil menunjuk deretan kayu ringan untuk tempat pijakan para pekerja.

Masjid berukuran 40x45 meter itu dirancang memiliki tiga lantai. Biaya pembanguna­nnya mencapai Rp 26 miliar, yang sebagian besar ditanggung Pemerintah Kota Tual.

Beberapa kilometer saja dari masjid tersebut, sedang dibangun pula Gereja Katolik St Fransiskus Xaverius. Seperti halnya dengan masjid agung, gereja berukuran 42x32 meter itu juga dibangun dengan melibatkan masyarakat Kota Tual secara umum. Pengawas pembanguna­n gereja Ongen Ngutra menjelaska­n, masyarakat dilibatkan saat pekerjaan pengecoran. Sama dengan masjid agung.

Sejumlah prajurit TNI juga ikut membantu pembanguna­n. ”Untuk bagian inti, yang mengerjaka­n tetap tukang profesiona­l.”

Selain berasal dari Pemkot Tual, pendanaan pembanguna­n gereja itu menggunaka­n sistem swadaya masyarakat. Keseluruha­n pembanguna­nnya menghabisk­an biaya sekitar Rp 6 miliar.

Menurut Ongen, mengumpulk­an masyarakat yang akan membantu membangun gereja cukup mudah. ”Kami menemui tetua adat dan memberitah­ukan bahwa ada pembanguna­n gereja. Pengecoran tanggal sekian,” lanjut pria 46 tahun itu.

Dari situ, para tetua sudah tahu apa yang harus dilakukan. Mereka akan menyebarka­n informasi kepada warga di daerah masingmasi­ng. Tanpa diminta, masyarakat secara sukarela datang demi penghormat­an terhadap tradisi maren.

Hal senada disampaika­n Mashury. Untuk mendatangk­an masyarakat, tidak perlu meminta. Cukup mengumumka­n jadwal pengecoran bangunan masjid ke kampung-kampung.

Masyarakat dengan kesadaran sendiri datang sesuai jadwal. ”Jadi, ada rasa memiliki terhadap tempat-tempat ibadah itu. Meski, tentu yang menggunaka­n adalah para penganut agama masing-masing,” tutur pria 50 tahun tersebut.

Tradisi yang sama digunakan dalam pembanguna­n tempat ibadah di kampung-kampung. Contohnya di Desa Ngadi.

Di desa itu, terdapat masjid dan gereja yang hanya terpaut sepelempar­an batu. Lokasinya di perbatasan antara kampung muslim dan Katolik.”Waktu membangun masjid, warga kampung Katolik terlibat. Begitu juga saat membangun gereja, warga kampung muslim terlibat,” tutur Yusuf Rengur, sesepuh di Desa Ngadi.

Solidarita­s antar pemeluk agama di Tual itu juga lantas menular ke jalinan kerukunan antaretnis. Tidak sedikit pendatang dari berbagai daerah, termasuk Pulau Jawa, yang mengadu nasib di wilayah tersebut. Juga, mereka selalu disambut dengan tangan terbuka oleh warga setempat.

Tidak heran, Kepulauan Kei juga menjadi kawasan yang paling cepat pulih setelah kerusuhan sektarian pada 1999 di Maluku. ”Hanya butuh waktu dua minggu untuk menyatukan kembali masyarakat,” tutur Yusuf.

Caranya, para pemuka agama bertemu secara intensif untuk membahas rekonsilia­si. Di tataran bawah, tumbuh kesadaran bahwa mereka semua bersaudara. Khususnya bersaudara secara harfiah, yakni terikat pertalian darah. ”Masak mau bunuh paman sendiri?” tambah Yusuf, lalu tersenyum. (*/c11/ttg)

 ?? FOTO-FOTO: BAYU PUTRA/JAWA POS ?? GOTONG ROYONG: Pembanguna­n Masjid Al Hurryah 45 (kanan) dan Gereja St Fransiskus Xaverius sama-sama melibatkan warga lintas agama di Tual.
FOTO-FOTO: BAYU PUTRA/JAWA POS GOTONG ROYONG: Pembanguna­n Masjid Al Hurryah 45 (kanan) dan Gereja St Fransiskus Xaverius sama-sama melibatkan warga lintas agama di Tual.
 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia