Banyak Calon Independen Sempalan Parpol Teken Dana Pilkada sebelum 30 April
JAKARTA – Partisipasi calon independen diprediksi menurun jika persentase syarat ambang batas dukungan awal yang dibuktikan dengan fotokopi KTP dinaikkan melalui revisi UU Pilkada. Dalam kondisi saat ini, syarat dukungan dalam rentang 6,5–10 persen sudah cukup ideal.
”Tidak menghambat atau membatasi seseorang, tetapi juga membatasi kepada mereka yang niatnya hanya main-main,” kata Masykurudin Hafidz, koordinator nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat ( JPPR) di Jakarta, kemarin (21/3).
Dia mengatakan, dalam beberapa kasus pilkada, dukungan terhadap calon independen memang lebih terlihat sebagai mobilisasi daripada partisipasi. Bahkan, pengumpulan fotokopi KTP sebagai bukti dukungan masih diwarnai praktik transaksional.
”Hasilnya, perolehan suara pasangan calon independen lebih rendah daripada syarat dukungan saat mendaftar,” jelas Hafidz.
Saat pilkada serentak 2015, muncul 254 pasangan calon yang maju dari jalur independen atau perseorangan di 139 daerah. Kala itu total daerah yang menggelar pilkada 269. Setelah diverifikasi, hanya 174 pasangan calon yang lolos syarat dukungan minimal.
Hafidz menyampaikan, ada dua kategori tokoh yang muncul dari jalur independen selama ini. Pertama, calon dari parpol yang tidak mendapat rekomendasi. Kedua, calon dari parpol yang tengah berkonflik. Mereka tidak mau repot dengan urusan dinamika internal.
”Aktor politik (calon, Red) inde- penden ya dari gerakan politik pindahan parpol. Sementara yang benar-benar datang dari kelompok sosial minim sekali,” jelasnya.
Kendati demikian, Hafidz menilai calon independen tetap berkontribusi atas meningkatnya partisipasi pemilih. Di tengah merebaknya wacana di DPR untuk mempersulit persyaratan calon independen, perekrutan calon di internal parpol semestinya juga dikritik.
”Parpol itu seharusnya membuka ruang yang luas terhadap pencalonan, menurunkan elitisisme, dan membongkar pencalonan yang bermodal besar,” sentil Hafidz. Dia menegaskan, jalur independen adalah jalan keluar agar suasana kompetitif terjadi. ”Tapi, pembenahan pencalonan melalui jalur perseorangan adalah jalan keluar sementara.” (bay/c11/pri)
JAKARTA – Keterlambatan pencairan dana pilkada yang sering terjadi pada musim pilkada serentak gelombang pertama pada 2015 lalu terus diantisipasi. Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) akan mengumpulkan para kepala daerah dari 107 daerah yang masuk gerbong pelaksanaan pilkada serentak gelombang kedua tahun 2017.
’’Minggu pertama April, kepala daerah termasuk biro keuangan daerah atau dan Sekda akan kami undang,’’ kata Mendagri Tjahjo Kumolo di kantor Kemendagri, Jakarta, kemarin (21/3). Dalam pertemuan tersebut, Tjahjo menekankan agar naskah perjanjian hibah daerah (NPHD) bisa diselesaikan sebelum 30 April 2016.
Dirjen Bina Keuangan Daerah Kemendagri Reydonnyzar menambahkan, pihaknya telah menyosialisasikan Permendagri Nomor 52 Tahun 2015 tentang Pedoman Penyusuan APBD 2016. Dalam permendagri dijelaskan, dana Pilkada 2017 yang tahapannya dimulai Mei nanti harus sudah dianggarkan dalam APBD 2016.
’’Intinya, tidak ada alasan bagi daerah untuk tidak menganggarkan Pilkada 2017,’’ ujarnya. Sebagai antisipasi, opsi melakukan pencairan APBD tanpa persetujuan DPRD melalui perubahan peraturan kepala daerah juga sedang disiapkan.
Berkaca pada pilkada serentak 2015, proses pencairan dana pilkada di beberapa daerah cenderung terlambat. Khususnya daerah yang kepala daerahnya tidak maju lagi. Akibatnya, berbagai tahapan pilkada tidak bisa dilaksanakan secara tepat waktu. Pilkada Manado, contohnya. Hingga H-1 menjelang pemungutan suara, prasarana di TPS belum siap. (far/c17/pri)