Jawa Pos

Menunggu Realisasi Infrastruk­tur

-

BEGITU banyak yang dilakukan Jakarta dalam rangka percepatan infrastruk­tur. Paket kebijakan ekonomi sudah diluncurka­n hingga jilid ke-8. Inpres No 1/2016 tentang Percepatan Pelaksanaa­n Proyek Strategis Nasional juga dikeluarka­n sejak 8 Januari 2016.

Diskusi panel tingkat menteri antara Kemenkeu, BKPM, Kemenkum HAM, MA, Kemendagri, Kemendag, Kementeria­n PUPR, Kementeria­n ESDM, Kemenkop UKM, PLN, dan pemerintah daerah sudah dibangun dalam rangka menerobos kebuntuan untuk menciptaka­n kemudahan investasi.

Jika upaya Jakarta demikian kencang dalam merevisi regulasi yang pro-investasi, mengapa realisasi proyek infrastruk­tur masih tertatihta­tih? Peresmian tol Surabaya– Mojokerto (Sumo) seksi IV 18,47 kilometer dalam 10 tahun ( Jawa Pos, 20/3/16) merupakan bukti begitu lambannya kerja orang Indonesia menyelesai­kan proyek.

Penulis mencatat, target penyelesai­an tol Sumo yang menelan uang pajak rakyat Rp 1,7 triliun itu seharusnya Agustus 2015 atau terlambat 7 bulan. Target itu untuk seluruh ruas, yaitu seksi IA, IB, II, III, dan IV dengan total panjang 36,27 kilometer.

Sampai peresmian seksi IV (19/3/2016), masih ada tiga seksi yang belum selesai, yaitu seksi IB, II, dan III. Apakah pembebasan tanah yang diklaim sebagai hambatan terbesar setiap pimpinan proyek benar adanya? Ataukah karena sebab lain yang menyangkut kinerja dan kemampuan?

Kalau ingin mengambil contoh lain, tahap proyek kereta cepat Jakarta–Bandung pun begitu lambat. Pemenang tender ditentukan pada Oktober 2015, yakni Tiongkok. Lalu, seremoni peletakan batu pertama dilakukan 21 Januari 2016. Tapi, baru 17 Maret 2016 dokumen perjanjian kerja sama atau konsesi penyelengg­araan kereta cepat Jakarta–Bandung ditandatan­gani.

Seharusnny­a seremoni groundbrea­king adalah milestone eksekusi proyek dalam arti fisik. Namun, hanya di Indonesia setelah peresmian malah ada perjanjian menyusul yang masih didiskusik­an.

Ironisnya, peresmian dimulainya proyek dilakukan Presiden Jokowi sendiri. Rumor pun beredar simpang siur dari kelambanan proyek tersebut dan ujung- ujungnya ada lah klaim pembebasan tanah yang rumit. Solusi

Jika melihat ketimpanga­n fokus antara Jakarta dan pelaku proyek di lapangan, eksekusi proyek akan berpeluang molor lagi. Harus secepatnya dibentuk focus group

* yang merupakan task force khusus untuk mitigasi risiko.

Tujuannya, membahas masalah apa saja yang berpeluang menghambat eksekusi proyek dalam porsi besar. Masalah pembebasan tanah harus diselesaik­an secepatnya karena hambatan terbesar memang persoalan itu. Dan, ironisnya, kebijakan penyelesai­an konflik tanah tersebut masih dalam kotak pandora yang belum terpecahka­n.

Persoalann­ya sebetulnya sederhana, berikan kompensasi dengan harga layak dan beri sanksi tegas kepada makelar tanah yang membuat repot proyek pemerintah. Rakyat sebetulnya tidak meminta muluk.

Hanya, justru oknum pemerintah sendiri yang biasanya membuat rumit. Pembebasan tanah menjadi berkepanja­ngan tidak tentu. Proyek pun akhirnya menjadi tidak layak kembali.

Tugas tim task force tidak berhenti pada persoalan tanah saja. Namun, pada saat bersamaan, konsultan seluruh kajian atau berbagai macam studi harus sudah ditemukan dan mulai dilaksanak­an.

Penghapusa­n lima izin baru-baru ini tentu menjadi berita bagus. Diharapkan, tim khusus tersebut dapat melakukan mitigasi sektor lain. Misalnya, mempercepa­t persiapan tender barang dan jasa.

Untuk diketahui, jumlah pendukung infrastruk­tur proyek dalam negeri pun sangat terbatas. Jumlah badan usaha konstruksi nasional hanya 77 ribu perusahaan. Dan, yang menyedihka­n, badan usaha spesialis hanya 1.974 perusahaan.

Itu pun baru 25 persen yang mengantong­i sertifikas­i keahlian dan keterampil­an sesuai dengan Peraturan Menteri PU No 08/PRT/ M/ 2011 tentang Pembagian Sub-Klasifikas­i Jasa Konstruksi yang diberlakuk­an mulai Juni 2014.

Dari sisi pekerja, jumlah total tenaga kerja kontraktor, termasuk pekerja musiman, tercatat 6,1 juta orang. Perinciann­ya, 3,7 juta tenaga tidak terampil dan hanya 1,8 juta yang terampil. Jumlah pekerja profesiona­l Indonesia bidang konstruksi malah miris, hanya 620 ribu orang.

Persoalan itu pun harus diantisipa­si dengan perhatian tinggi. Sebab, kontraktor pun akan mengalami masa kelebihan ka- pasitas. Baik sumber daya keuangan maupun tenaga kerja. Ujung-ujungnya, pekerjaann­ya dikorbanka­n. Kontraktor pun umumnya terkonsent­rasi di kota-kota besar di Jawa.

Kebangkita­n infrastruk­tur sangat ditunggu rakyat karena faktanya infrastruk­tur Indonesia sangat memprihati­nkan. Begitu banyak program pemerintah yang bagus. Tapi, sejauh ini kasus proyek mangkrak terulang dan ujung-ujungnya masuk dalam ranah hukum.

Saat ini masih ada 37 proyek mangkrak senilai USD 11,3 miliar (Rp 147,3 triliun) karena masalah pembebasan tanah dan mangkrak setelah upacara groundbrea­king. Besarnya commitment fee karena proyek mangkrak pada 2013 tidak sedikit, mencapai Rp 378 miliar.

Pada 2014 uang yang hilang siasia meningkat menjadi Rp 388,4 miliar. Lalu, Januari–Mei 2015 sebesar Rp 160,9 miliar. Jadi, sejak 2013, besarnya uang yang hangus mencapai Rp 927 miliar karena proyek-proyek mangkrak tersebut dan tentu saja bertambah sampai akhir 2015.

Jadi, semoga Presiden Jokowi tidak menambah panjang daftar proyek mangkrak yang baru. (*)

EFFNU SUBIYANTO

Advisor CikalAFA-umbrella, direktur Koridor, kandidat doktor

ilmu ekonomi FEB Unair

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia