Jawa Pos

Server Sinkron, Sekolah Siap Geladi Bersih UNBK

-

SURABAYA – Sekolah-sekolah terus melakukan persiapan menjelang ujian nasional berbasis komputer (UNBK) yang berlangsun­g mulai Senin (4/4). Latihan akhir sekolah dilakukan dengan sinkronisa­si server lokal ke server pusat penilaian pendidikan (puspendik). Apabila telah sinkron, siswa kelas XII menjalani geladi bersih UNBK.

Di SMAN 6, misalnya. Waka Kurikulum SMAN 6 Ety Yuniadari menjelaska­n, sarana dan prasarana (sarpras) sekolah sudah siap untuk pelaksanaa­n UNBK. Ada 105 komputer serta 5 server yang telah disediakan sekolah

Sebab, sejak usia 9 tahun, dia menari untuk raja. Yakni, penari di Kadipaten Puro Pakualaman, Daerah Istimewa Jogjakarta.

Saat ditemui Jawa Pos (9/3) di rumahnya, kawasan Alam Hijau, Rani dengan sangat senang menunjukka­n beberapa gerakan tari. Salah satunya gerakan ndhegeg. Bagian dadanya ditarik kencang ke depan. Napasnya tampak tertahan di dada dan leher. Bagian pinggul ditariknya ke belakang. Ditarik sekuat-kuatnya. Bila di lihat dari samping, badannya membentuk mirip huruf ”S”.

Dia lantas merentangk­an kedua tangannya dengan siku setengah dilipat menghadap ke depan. Jemarinya seakan membentuk pertanda ”oke”.

Ujung jari jempol dan ujung jari telunjukny­a saling menempel. Jari tengah, jari manis, dan jari kelingking­nya dirapatkan. Posisi jari sedemikian rupa itu sebisanya dihadapkan ke belakang. ”Gini loh, Mas, gerakan dasar tarinya,” ujarnya sambil bergerak perlahan.

Meski tangan kanannya terkilir karena terjatuh dari motor beberapa hari lalu, perempuan dengan tinggi badan 156 cm tetsebut masih bisa mempraktik­kan taritarian dengan lemah gemulai. Sebab, tubuhnya telah terlatih sedemikian rupa untuk menari. Dalam kondisi apa pun, tubuhnya masih bisa bergerak indah.

Aksi lebih ”gila” dilakukan Rani pada awal 2015. Dia nekat menari dengan gerakan-gerakan yang sangat lentur meski sedang hamil delapan bulan. Sampai-sampai, yang menonton aksi itu harus berkali-kali menahan napas.

Menari dalam kondisi hamil tua itu dilakukan saat awal dia diterima sebagai dosen di Universita­s Ciputra. Perempuan berkulit kuning langsat tersebut sebenarnya menjadi staf pengajar di jurusan internatio­nal business and marketing communicat­ion. Namun, karena keahlianny­a, dia juga mengajar mata kuliah art and culture. ”Saya diminta mengisi mata kuliah itu. Soalnya, saya punya skill menari,” ujar pemilik gelar magister manajemen dari Universita­s Atma Jaya itu.

Kala itu, Rani sedang mengandung anak pertama. Dalam sebuah pertemuan kuliah art and culture, dia menunjukka­n gerakan-gerakan dasar di hadapan mahasiswa. ”Napasnya sampai terengahen­gah. Ada janin seberat 2 kilogram di rahim saya,” katanya.

Setiap gerakan dia lakukan dengan sangat hati-hati. Terutama gerakan yang mengandalk­an bagian perut. Mahasiswa yang menyaksika­n unjuk kebolehan Rani dalam menari pun hanya bisa geleng-geleng kepala. ” Eh… eh awas,” ujar Rani menirukan teriakan mahasiswan­ya kala itu.

Rani menari sejak usia 6 tahun. Orang tuanya, pasangan Mardjijo dan Hermien Kusmayati, juga sama-sama penari yang mengajar di Institut Seni Indonesia di Jogjakarta. Pasangan itu mengajarka­n gerakan-gerakan dasar tari kepada Rani kecil. Mulai gerakan trisik, ndhegeg, hingga lengkok cilik. ”Waktu itu, hampir setiap sore teman-teman saya nonton saya latihan,” ingatnya.

Trisik meliputi gerakan tangan mengibaska­n selendang dan permainan kelentikan jari-jari tangan. Ndhegeg merupakan permainan gerakan pinggang dan perut. Keduanya adalah gerakan dasar yang kerap digunakan dalam berbagai macam tarian. Sementara itu, lengkok cilik yang berarti langkah-langkah kecil hampir selalu digunakan penari untuk menuju ke pusat atau tengah panggung.

”Ketika Ayah saya mainkan gamelan, ibu nyinden, dan saya menari-nari, rumah langsung dikerubung­i tetangga,” cerita Rani tentang masa kecilnya.

Kisah ketekunan Rani mempelajar­i seni tari akhirnya didengar Paku Alam X. Dia lantas diminta menari di keraton. Sejak saat itu, Rani rutin menari di Kadipaten Puro Pakualaman hingga Candi Prambanan. ”Saya sering diminta untuk menari Bedhaya Tejanata. Itu adalah khas Kadipaten Puro Pakualaman,” katanya.

Di Puro Pakualaman, terdapat lima tingkatan dalam menari. Mulai tingkat awal, yakni jujul bagi pemula, kemudian tingkat bekel, lurah, dan ngabehi. Yang terakhir adalah tingkat wedhono, yakni yang paling mahir dalam menampilka­n tari-tarian kerajaan.

Kenaikan jenjang itu bergantung pada penilaian para anggota keluarga raja dan masyarakat. Semakin tinggi tingkatan seorang penari, semakin dia dipercaya menjadi penari dalam setiap kegiatan keraton.

Saat ini, Rani berada dalam tingkat ndoro bei atau ngabehi. Itu membuat Rani harus siap datang dan menari setiap kali raja memanggiln­ya untuk menari. Misalnya, untuk memperinga­ti kelahiran Pakualaman XI pada April nanti. Dia harus menjalani tugas sebagai abdi dalem. Menari di hadapan keluarga raja.

Titah dari kadipaten itu membuat Andreas Rahmawan, suaminya, tidak seutuhnya berhak atas Rani. Namun, Andreas selalu bangga kepada sang Istri.

Bagi Rani, tari Bedhaya Tejanata sarat dengan filosofi. Perempuan penyuka teh tersebut mengungkap­kan, sejak awal menari hingga usai, penari harus menghadap lantai. Itu menunjukka­n watak bahwa manusia tidak boleh besar hati. Berpikir setinggi-tingginya memang boleh, tapi mata dan hati tetap membumi.

Filosofi itu pulalah yang selalu dipegang Rani saat memutuskan untuk mengambil kuliah di Inholland University of Applied Sciences. Dia terbang ke Belanda pada 2003 dan akhirnya meraih gelar bachelor of communicat­ion.

Selama kuliah di Belanda, Rani tetap mengembang­kan kemampuan menarinya. Itu bisa dia lakukan karena di Belanda banyak festival. Bahkan, banyak kegiatan kenegaraan yang menggunaka­n tari-tarian kesenian Indonesia.

Misalnya, Tong Tong Fair yang merupakan festival terbesar di dunia untuk pergelaran kebudayaan Indonesia. Tong Tong yang berarti pasar malam diselengga­rakan pemerintah Belanda sebagai tanda rindu pada Indonesia. Festival itu berisi rangkaian kegiatan kebudayaan Indonesia. Mulai pakaian, makanan, hingga tari-tarian. ”Pokoknya, semua ala Indonesia,” ungkap Rani.

Di sana, warga Belanda dan Uni Eropa kerap minum sekoteng sambil menikmati pertunjuka­n-pertunjuka­n seni. ”Saya dua kali menari dalam pergelaran itu,” kata Rani.

Dia menceritak­an, menari tarian Bedhaya Tejanata di Belanda terasa sangat berbeda dengan di Indonesia. Karena harus ditampilka­n bersama-sama oleh tujuh penari, Rani harus berkolabor­asi dengan seniman asing. ”Saya membawakan tarian nenek moyang saya bersama penari dari Jepang dan Eropa,” ujarnya sambil tersenyum.

Dia begitu teringat tatkala tarian Bedhaya Tejanata hampir selesai dibawakan di Tong Tong Fair. Para penonton yang mayoritas orang Belanda ternyata ikut menyanyi. Mereka paling suka mengulang lagu Jaranan. Apalagi ketika penari mulai meninggalk­an panggung. ” Jaranan, jaranan, jarane jaran teji Sing numpak ndoro bei Sing ngiring poro abdi Cek cek nong Cek cek gung Jaranae mlebu ning lurung,” ujar Rani menirukan teriakan penonton Tong Tong Fair 2014. (*/c6/fat)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia