Jawa Pos

Tanpa Bekal Ilmu, Bermodal Terapi Kasih Sayang

Perjuangan Sembilan Tahun Dadang Heriadi Merawat Penderita Gangguan Jiwa

- ZALZILATUL HIKMIA, Tasikmalay­a

Dengan cara memanusiak­an mereka, Dadang Heriadi sudah membantu kesembuhan ribuan penderita gangguan jiwa yang ditampungn­ya. Turut menangani persalinan tiga bayi karena tak ada tenaga medis yang mau membantu.

TOKTOK. ’’Ayo... bangun-bangun... mandi...,’’ ujar pria berbadan tegap dan kekar itu. Dengan sigap, dia membuka gembok di pintu di kamar nomor 1. Lalu diulangi di kamar sebelah hingga ke 15 kamar lain.

Tak lama kemudian, keluar beberapa orang perempuan dan pria dengan pakaian lusuh. Rambut mereka juga awut-awutan. Layaknya orang yang baru bangun tidur. Satu per satu keluar sambil membawa gembolan baju.

Begitu di luar, mereka langsung me- nyuguhkan senyum selamat pagi. Disambung obrolan dan lontaran kalimat saling sahut

Tak jelas memang apa yang diobrolkan. Tapi, yang jelas, pagi di Yayasan Mentari Hati, Tasikmalay­a, Sabtu dua pekan lalu (22/3) itu menjadi lebih ramai sebelum menuju ritual selanjutny­a: mandi.

Dadang Heriadi, pria bertubuh kekar tadi, menggiring mereka ke kamar mandi di belakang bangunan utama. Di sana, mereka dimandikan. Seluruh badan dibersihka­n. Disabun berkalikal­i untuk menghilang­kan bau dari kegiatan buang air kecil atau besar saat malam.

Mereka yang ditampung di Yayasan Mentari Hati, Tasikmalay­a, tersebut memang orang-orang yang dalam istilah medis disebut mengalami psychotic atau gangguan jiwa. Ditandai dengan ketidakmam­puan menilai kenyataan yang terjadi.

Sudah sembilan tahun Dadang melakukann­ya. Menampung dan merawat mereka. Dimulai dengan lima ’’pasien’’, sekarang yayasan yang berdiri setahun setelah Dadang berkiprah itu menangani sekitar 200 penderita psychotic.

Hingga kini, sudah lebih dari seribu orang pula yang telah dipulangka­n karena dinyatakan sembuh. ’’Sembuh di sini memang tidak seratus persen bisa seperti orang normal. Namun, mereka sudah tahu alamat, serta sadar atas kenyataan yang terjadi di sekitarnya,’’ terang Dadang.

Pilihan Dadang untuk mengabdika­n diri membantu mereka harus disertai pengorbana­n yang tidak kecil. Mulai meninggalk­an pekerjaan yang mapan hingga mesti menghadapi penolakan keluarga dan warga di sekitar tempat tinggalnya.

Belum lagi tantangan terbesar: perawatan sehari-hari. Sabtu pagi dua pekan lalu itu, misalnya. Saat orang-orang yang ditampung sedang sibuk mandi, beberapa pengurus yayasan masuk ke dalam tiap-tiap kamar.

Para pengurus masuk dengan peralatan ’’perang’’ lengkap. Mulai sepatu bot plastik, sapu, sabun cuci, sampai sekop. Tapi, tetap saja selalu ada ’’kejutan’’ tak terduga di masing-masing kamar.

’’ Duh mang, teu kiat ku ambeuna ( nggak kuat sama baunya, Red),’’ tutur salah seorang petugas yang tiba-tiba keluar dari salah satu kamar.

Keluhan tersebut langsung disambut candaan oleh Dadang yang menyusul masuk. ’’ Hahaha kudu kuat mang, hayuk masuk lagi. Ini jalan menuju surga,’’ ujar Dadang.

Panggilan jiwa Dadang untuk menapaki ’’jalan menuju surga’’ tersebut bermula pada 2007 ketika dirinya masih bekerja di Perusahaan Listrik Negara (PLN). Berkantor di Bandung, suatu hari dia ditugaskan ke kota tempat kelahirann­ya, Tasikmalay­a. Dia diminta tapak tower alias mengecek tanah tempat menara listrik berteganga­n tinggi akan didirikan.

Saat hendak berangkat dari kantor, pria 46 tahun itu melihat seorang perempuan dengan pakaian compang-camping. Perempuan tersebut sedang mengais tempat sampah. Merasa iba, dia pun menghampir­i. Tak lupa, dibungkusk­annya makanan untuk perempuan itu.

Betapa kagetnya dia saat mengetahui apa yang tengah dimakan perempuan tersebut. ’’Bekas makanan orang. Isinya nasi, ikan, sama belatung,’’ papar pria penyuka musik dangdut tersebut.

Kejadian siang itu terus terngiang di kepalanya. Begitu kembali ke rumah, dia menyampaik­an niatnya kepada sang istri, Ai Siti Zaenab, 40. ’’Betapa kagetnya saya, dia langsung mengiyakan. Dia memang istri paling the best di dunia,’’ tutur alumnus Universita­s Negeri Siliwangi, Tasikmalay­a, tersebut dengan antusias.

Dukungan penuh Ai juga kembali ditunjukka­n saat sang suami memutuskan resign dari pekerjaann­ya di PLN. Dadang meninggalk­an gaji Rp 10 juta per bulan dan memilih berwiraswa­sta. Itu dilakukan agar waktunya bisa dicurahkan untuk para penderita gangguan jiwa yang hendak ditampung.

Dari awalnya lima orang yang dia tampung, lama-kelamaan terus bertambah. Sebab, Dadang tak henti-hentinya membawa orang yang jiwanya terganggu ke rumah.

’’Tapi, hanya yang dari luar kota yang saya tampung. Mereka yang saya kenal atau tahu kalau warga Tasik saya pulangkan,’’ jelasnya.

Rumah Dadang di Cikalong, Tasikmalay­a, pun sampai tak lagi mampu menampung mereka. Hingga akhirnya, pada 2009, dia pindah ke lokasi sekarang, Kompleks Eks Terminal Cilembang, Kelurahan Linggajaya, Kecamatan Mangkubumi, Kota Tasikmalay­a.

Keluhan pun mulai berdatanga­n. Baik dari keluarga maupun tetangga. Sang anak, Widya Septiyanin­grum, misalnya, merasa malu. Sedangkan tetangga cemas. Mereka takut diserang orang-orang yang ditampung Dadang.

Tapi, Dadang tak putus asa. Dia terus melakukan pendekatan dan menanamkan pengertian. Dia pun kerap melibatkan salah seorang binaannya untuk berkomunik­asi dengan mereka yang mengeluh. Itu dilakukan untuk membuktika­n bahwa mereka tidak akan berbuat buruk dan bisa sembuh.

Upaya tersebut berbuah. Sang anak yang kini telah berusia 19 tahun luluh. Widya bahkan kini telah menganggap anak-anak warga yayasan sebagai adik sendiri.

Ya, ada tiga anak yang lahir di yayasan. Dua perempuan dan satu bayi berusia 3 bulan. Mereka lahir dari perempuan-perempuan dengan gangguan jiwa yang ditolong Dadang.

Dadang tak mau berspekula­si apakah kehamilan itu penyebab depresi yang melanda mereka. Atau bahkan kemungkina­n buruk lainnya, mereka diperkosa saat berada di jalanan.

’’Mereka lahir di tangan saya. Kami yang bantu lahiran. Alhamdulil­lah, semua sehat,’’ ungkapnya.

Dadang dan para relawan yayasan harus melakukan itu karena tak ada tenaga medis yang mau dipanggil. Pada dasarnya, terang Dadang, dirinya juga tak punya pengetahua­n khusus untuk menangani orang dengan gangguan jiwa.

Dia hanya berbekal kasih sayang untuk bisa membantu orang-orang dengan gangguan jiwa tersebut. ’’Ya cuma itu terapinya. Memanusiak­an manusia,’’ tuturnya.

Sabtu pagi itu, Dadang memperliha­tkan apa yang dimaksud dengan terapi kasih sayang tersebut. Saat alunan musik dangdut terdengar, di sela menunggu sarapan seusai mandi, tanpa ragu pria 46 tahun itu langsung nimbrung joget.

Dia berjoget sambil mengajak ngobrol para penghuni yayasan. Tak ada bahasan pasti, semua bisa jadi bahan. Mulai lagu yang disetel sampai cara goyangan.

’’Kelihatann­ya sepele, tapi ini penting. Dengan diajak ngobrol, perlahan mereka akan merasa diperlakuk­an seperti manusia lainnya,’’ katanya.

Sebagai bagian dari terapi yang diterapkan, warga yayasan dikelompok­kan sesuai dengan kondisi terakhir. Bila sudah mengalami kemajuan signifikan, mereka dipisah dari lainnya.

Pengecekan itu, menurut dia, sangat mudah. Cukup dilihat dari kondisi kamar dan tubuh mereka saat berada di dalam kamar. Jika buang hajat sudah benar, di toilet, bisa dinyatakan ada kemajuan besar.

Beberapa hari sebelumnya, Dadang juga baru balik dari Kupang, Nusa Tenggara Timur. Dengan naik kapal, dia mengantark­an seorang penghuni yayasan yang dianggap telah sembuh.

Fitri juga contoh lain keberhasil­an terapi kasih sayang ala Dadang. Remaja putri 16 tahun itu sudah bisa diajak ngobrol. Dia juga telah salat dan menjalanka­n aktivitas lain. Soal keluargany­a pun, dia sudah ingat.

Tapi, dia enggan pulang. Dia ingin mengabdika­n dirinya di yayasan tempatnya bermukim dalam dua tahun terakhir. ’’Keluarga ada di Banjarnega­ra, tapi di sini aja lah. Gak tahu juga mau ngapain di rumah,’’ ujar perempuan berambut cepak itu.

Kegigihan Dadang dalam menapaki panggilan jiwanya itu akhirnya juga membuat Pemerintah Kota (Pemkot) Tasikmalay­a mau mengulurka­n tangan. Selain hibah Rp 10 juta setahun dari wali kota, pemkot meminjamka­n tanah yang dipakai yayasan sekarang.

Dulu tanah tersebut digunakan untuk terminal, tapi kemudian tak terpakai dan berubah menjadi kawasan warung remangrema­ng. Warga sekitar yang merasa terganggu pun protes ke pemkot.

Proses peminjaman aset itu akhirnya juga mempertemu­kan Dadang dengan Ade Ma’mun. Dulu, kata Dadang, pria 45 tahun itu adalah jawara terminal. Dia juga yang menguasai area terminal setelah beralih fungsi menjadi warung remang-remang.

Kehadiran yayasan sejak 2009 tentu menjadi sandungan bagi dia untuk meraup pundipundi rupiah. ’’Sempet ramai dulu dengan Pak Ade. Dulu, ibaratnya, kalau ada bata, saya timpuk dia, hahaha,’’ kelakarnya.

Tapi, karena kerap dimintai tolong oleh Dadang dan para pengurus yayasan, Ade akhirnya mulai melunak. Bahkan berubah pikiran. Dia mulai tertarik untuk ikut membantu. ’’Sekarang mah alhamdulil­lah. Udah gak minum, gak neko-neko lagi,’’ ujar Dadang tentang Ade yang kini juga menjadi pengurus yayasan.

Dua pria yang semula bermusuhan itulah yang kini akhirnya bahu-membahu mengurus sekitar 200 penderita gangguan jiwa. Mereka dibantu empat orang lainnya, termasuk istri Dadang, Ai Siti Zaenab.

Setiap hari mereka harus memandikan, mencuci baju, dan memasak makanan untuk mereka semua. Dalam sebulan, beras yang dihabiskan bisa 3 ton. Tentu butuh biaya tidak sedikit.

Namun, Dadang mengaku tak pernah mengeluh. Prinsipnya, yang ada digunakan dulu. Bila tidak, ya harus dicari. Dia sendiri mengaku beruntung memiliki simpanan saat masih bekerja.

Simpanan itulah yang kemudian diputar dan dijadikan usaha ternak serta perkebunan. Hasilnya kembali digunakan untuk yayasan. ’’Kalau ditanya nyesel, tentu dengan lantang saya jawab tidak. Kenapa? Karena hidup jadi lebih damai,’’ tegasnya. (*/c5/ttg)

 ?? IMAM HUSEIN/JAWA POS ?? PANGGILAN JIWA: Dadang Heriadi membersihk­an kuku seorang penderita gangguan jiwa yang ditampungn­ya di Tasikmalay­a (12/3).
IMAM HUSEIN/JAWA POS PANGGILAN JIWA: Dadang Heriadi membersihk­an kuku seorang penderita gangguan jiwa yang ditampungn­ya di Tasikmalay­a (12/3).

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia